Oleh: John Ferry Sihotang
Menjelang detik-detik peringatan proklamasi kemerdekaan yang ke-65, negara kita kembali diguncang dengan isu klasik yang berulang: Sakitnya melahirkan kerukunan umat beragama! Negara seolah mandul, tak mampu menjaga konstitusi yang menjadi payung hukum setiap warga negara. Negara tak mampu mengambil sikap dengan kebijakan yuridis baru untuk memelihara kerukunan di negara tercinta ini - yang notabene mengakui perbedaan dan keberagaman, khususnya antar pemeluk agama.
Kasus tuntutan hak jemaat HKBP, tanggal 15 agustus kemarin, menjadi bukti nyata lemahnya negara melindungi rakyatnya. Negara terbungkam menghadapi realita akan maraknya tendensi destruktif sekelompok manusia, yang kerap merongrong kemanusiaan - atas nama Tuhan dan agama. Tak sanggup meredam kaum fundamentalis anti pluralisme agama, yang telah membelenggu yang lain atas nama etos "tanggung jawab" moral untuk "keselamatan" bangsa manusia. Sungguh dilematis bahkan sudah tragis nasib bangsa ini.
Begitu banyak konflik kepentingan publik akhir-akhir ini yang dipengaruhi keragaman cara pandang, yang bersumber dari agama-agama. Agama yang seharusnya menciptakan kedamaian justru mengacaukan kehidupan. Agama yang seharusnya menyumbang inspirasi spritual justru hadir meladeni kebobrokan moral dan kerap tampil jadi mesin perusak yang mengerikan. Agama seharusnya menjadi oase kesejukan bathin justru kini menjadi bahaya laten paling merusak. Menjadi sarang-sarang narsisme berlebihan para penindas sesama manusia. Dan akibat ulah sekelompok oknum ekstremis itu bukan saja mengganggu kelompok lain, tetapi turut serta menghancurkan hakekat agama itu sendiri.
Wawasan beragama sudah jelas termaktub dalam falsafah UUD 1945: "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu" (pasal 29, ayat 2)". Seharusnya itu menjadi pedoman dan arah kita sebagai insan individu dalam komunitas bernegara: dalam kebebasan memeluk agama. Pasal itu jelas menuntut kita untuk saling memberi dan menjamin hak-hak itu, sekaligus menjadi kewajiban kita untuk melindungi hak itu secara kolektif.
Keberadaan agama sebagai salah satu pilar kebudayaan bangsa harusnya menjadi salah satu tonggak dan cita-cita bersama: menuju masyarakat madani (civil society). Menjadi inspirasi dan kontrol terhadap praktek-praktek perumusan dan pelaksanaan hukum yang adil: menghargai manusia serentak dengan hak-haknya sebagai warga negara.
Negara berideologi Pancasila ini - lewat perangkat hukumnya - harusnya berpihak kepada korban-korban ketidakadilan tanpa pandang bulu dari kelompok agama atau etnis manapun berasal, termasuk jemaat kecil HKBP Bekasi itu. Negara harusnya mampu juga mengorganisir tanggungjawab dengan keterlibatan langsung membela korban. Akan tetapi, sepertinya kekuasaan sudah lama berselingkuh dengan agama. Sebab agama pun telah mengaku diri sebagai 'pemilik kebenaran paling absolut'.
Agama perlu dimatangkan dengan akal budi. Agar tak sampai meladeni antusiasme perasaan yang membabi buta. Agar agama tak berbuah kesombongan dan sekadar nafsu kekuasaan. Agar agama menjadikan umatnya semakin manusiawi, dan bukan jadi manusia-manusia ngawur macam mereka yang merasa wakil Tuhan di dunia ini.
Sepantasnyalah keberadaan agama itu perlu dipertanyakan agar tetap dirasakan manfaatnya bagi kehidupan: mampu menyuburkan sisi-sisi terbaik manusia dan menjadi sumber harapan pemeluknya. Agama harus memurnikan diri agar tetap relevan sesuai tuntutan zaman. Kembali kepada esensinya untuk memberi sumbangan yang berdimensi universal: memenuhi tuntutan eksistensi kemanusiaan kita - untuk dimengerti, diakui, dan diterima sebagai insan yang merdeka.***
John Ferry Sihotang,penggiat kuliner teks dan seorang geologist
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H