Mohon tunggu...
Budi Setiyawan
Budi Setiyawan Mohon Tunggu... -

Pekerja di Dinas ESDM Prov. Jateng

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Merapi, Sebuah Miniatur Hidup

12 Oktober 2011   09:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:03 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

30 Januari 2006

Tuhan mempunyai kehendak baik bagi setiap orang, dan Tuhan meninggalkan banyak pertanda sebagai permata yang mampu memberi petunjuk hidup apabila kita berani menggali dan mencarinya.

Tuhan juga memberikan kehendak bebas untuk memilih. Segalakontrol dan kendali atas apa yang akan diputuskan ada di tangan pribadi manusia. Apabila manusia kehilangan kontrol atas dirinya maka hidupnya akan dikendalikan oleh nasib.

Kalimat yang selalu ku ingtat dari sebuah buku best seller “The Alchemist” karya penulis Brasil “Paulo Coelho” aku tidak hanya membacanya tetapi mengalaminya di Merapi, gunung yang sungguh cantik dan membuat rindu untuk di daki.

Akhir-akhir ini cuaca sangat buruk. Hujan, badai, angin kencang terjadi, hampir di seluruh wilayah negeri ini. Tak heran banyak bencana alam terjadi akibat gejala alam dan cuaca yang buruk. Banjir, tanah longsor angin ribut yang terjadi di penjuru tanah air selalu menjadi berita utama di mass media.

Tim sudah rindu untuk menapaki jalan menuju sebuah puncak gunung; Merapi. Malam 1 Suro, moment yang tepat. Pada saat malam 1 suro, hampir seluruh puncak gunung di Jawa selalu dipadati pendaki. Ada diantara mereka yang hanya sekedar main dan berpetualang, namun ada juga pendaki-pendaki spiritualitas, dimana mereka mendaki karena mempunyai ujub khusus yang harus didoakan dipuncak. Dan tim kami termasuk pendaki yang naik kepuncak gunung hanya ingin sekedar berpetualang, bertemu dengan pendaki lain dan berekreasi. Di gunung kami bisa bertemu dengan banyak sahabat, mereka juga pendaki. Di moment ini, kadang jumlah pendaki mencapi ribuan orang. Malam 1 suro juga menjadi malam yang sakral bagi penduduk di sekitar pegunungan. Saat malam satu suro ini, mereka bersedekah kepuncak gunung. Berharap agar tahun depan ada banyak berkat yang dikirimkan Tuhan kepada mereka. Hal inilah yang menjadi daya tarik bagi kami untuk mendaki pada malam satu suro.

Awalnya dari tim yang berminat banyak sekali. Kami memutuskan menggunakan sepeda motor untuk mencapai base camp Merapi jalur Selo. Waktu pelaksanaan pendakian yang kurang baik rupanya penyebab dari banyak anggota yang mengundurkan diri. Tentu ada alasan klasik yang lain: tidak punya duit, tidak dapat boncengan, tidak enak badan dan cuaca buruk membuat nyali mereka menjadi ciut dan harus menunggu waktu untuk dapat mendaki puncak garuda yang sungguh monumental. Walaupun banyak yang mengundurkan diri, tim memutuskan untuk berangkat.

Sebelum berangkat, kami merasa tidak bersemangat, salah satunya karena banyak teman yang telah memutuskan untuk mengundurkan diri. Alasan lain ada banyak titipan baik dari orang tua, kerabat dan saudara, agar kami berhati-hati, karena memang cuaca sangat buruk. Semakin ragu lagi ketika akan berangkat, hujan mengguyur dengan deras, sedangkan kami akan naik sepeda motor dengan medan pegunungan yang berkelok dan licin. Bagaimanapun situasinya pada saat itu ada 12 orang berkumpul dan siap berangkat. Tepat jam 6 sore selepas shalat magrib kami berangkat menuju base camp Merapi, jalur Selo. Ada sesuatu yang harus kami beli: seperti gas, dan harus sewa tenda dome 1 lagi agar seluruh anggota tim bisa masuk tenda ketika cuaca buruk. Perasaan semakin ragu ketika pelayan toko peralatan gunung berkata bahwa gunung Merapi dinyatakan siaga 1. Ada kabar juga bahwa akibat hujan deras, mengakibatkan longsoran di lereng selatan merapi.

Anggota yang masih yunior atau belum mempunyai banyak pengalaman pendakian mulai ragu dan takut, tetapi kami selalu memberi semangat “santai saja, nanti kalau cuaca buruk ya kita camp, soale dari sejak eyangbuyut, Merapi selalu seperti itu”. “Kendali kontrol ada di tangan kita kok”. Akhirnya perjalanan kami lanjutkan walau kami dipenuhi dengan ketakutan dan keraguan.

Dalam perjalanan ketika memasuki kabupaten Boyolali, tepatnya di kecamatan Mojosongo, salah satu kendaraan teman kami, rantainya putus. “pertanda”, salah satu teman mengatakan demikian, kemudian yang lain “hust, jangan clometan!, kita harus berpikir positif!”

Setengah jam rantai itu dibenahi, akhirnya tersambung, dan perjalanan dilanjutkan.

Lepas dari pusat kota Boyolali, kami harus mencari jalur jalan menuju Selo. 15 menit kemudian kami memasuki daerah Kecamatan Cepogo, dimana kecamatan ini dijadikan tempat transit Bus yang mengangkut penumpang menuju Kecamatan Selo. Dari cepogo menuju Selo medan perjalanan akan semakin sulit, ada jalan menikung dan naik dengan tajam. Kepiawaian untuk memindah gear sepeda motor diuji disepanjang route.

Sekitar jam 9 kami sampai di base camp. Base camp sudah dipadati ratusan pendaki. Dan jumlah pendaki tahun ini menurun dari tahun-tahun sebelumnya. Ketika coba kami tanyakan mengapa jumlah pendaki menurun di tahun ini pada pihak karang taruna yang mengelola pendakian, jawabnya adalah “cuaca buruk”. Kami terdiam, hati kami terasa sepi, dan tidak ada senyum lagi, setiap orang yang kami jumpai selalu berkata “cuaca buruk”. “okelah kita istirahat di base camp dulu, nanti malam jam 10 kita mulai mendaki” waktu istirahat kami gunakan sebaik mungkin. Ada sebagian anggota tim yang makan, tidur, dan membenahi packing tas agar nyaman jika dikenakan.

“Aku baru kali ini mas mendaki gunung” seorang adik kelas memulai pembicaraan. Udara sangat dingin dan untuk mengusir kedinginan itu kami pesan 2 gelas kopi jahe. “Merapi gunung yang cantik, pemandangannya indah. Di puncaknya jika cuaca baik dan cerah, kamu akan melihat gunung merbabu disebelah utara, gunung lawu di sebelah Timur dan sundoro – sumbing di daerah barat laut. Dan harusnya kamu bersyukur bisa mendaki gunung ini” kataku.

“ Banyak orang mengatakan untuk pemula apa tidak sebaiknya mendaki ke Merbabu atau ke Lawu dulu mas?”

“Yah, itu kan kata kebanyakan orang, lantas kenapa kamu mau ikut mendaki ke Merapi?”

“hm… kemarin saya menunggu event ke Merbabu, namun tawaran duluan ke Merapi”

“apa yang kamu pikirkan sejak kamu berangkat?”

“Takut, cemas, soalnya ini pendakian saya yang pertama”

“Kalaupun engkau hari ini mendaki ke Merbabu, engkau juga akan merasakan itu kan?”

“Ya”

Saya pun merasakan kecemasan yang dia rasakan, namun aku dapat menutupinya. Aku pernah mendaki gunung ini sebanyak 7 kali, 4 kali jalur Deles; jalur Selatan dan 3 kali jalur Selo, dan ini pendakianku ke Merapi yang ke-8. Sesekali ku sruput kopi ku yang masih panas, dan aku dapat merasakan kehangatan yang mengalir dari tenggorokan, dada hingga perutku.

“Lantas apa bedannya antara perasaanmu mendaki di Merbabu dan Merapi?”

“yang membedakan : ”kata orang”: tentang status merapi sekarang dan cuaca yang rupanya kurang bersahabat”

“. Kalau pun kondisi genting, di Selo ini ada pos pengamatan Merapi, pasti sudah ada larangan pendakian. Dan untuk masalah cuaca, memang kita tidak bisa mengendalikannya, namun kita bisa mengendalikan diri kita. Untuk apa dipaksakan jika memang sudah tidak memungkinkan. Kita bisa berhenti dan camp, dan kita dapat mendakinya lain waktu. Jika engkau takut dan ragu, engkau boleh tinggal di basecamp ini, dan itu salah satu bentuk kendali diri”

“Ah, enggak lah, ngapain. Sama saja aku kalah sebelum bertanding. Aku mempercayai orang lain juga. Jika meraka berani melakukan pendakian dan yakin akan berhasil kenapa aku tidak?”

“Ha…keputusan yang cerdas”

Sorot matanya menggambarkan antusias dan semangat untuk mewujudkan mimpinya. Ia anak yang loyal dengan perjuangannya, tergambar dari setiap semangat dalam mewujudkan keinginannya. Bukan soal ambisi atau kepuasan diri, namun ini sebuah komitmen.

“mengapa kamu ingin mendaki ke puncak gunung?”

“Aku ingin tahu, sama halnya dengan milyaran orang seusiaku yang punya penasaran pada sebuah puncak gunung. Disanalah ada mimpi yang sulit dijelaskan”

Kalau hanya ingin tahu, kamu dapat mencari informasi dari banyak pendaki, ada apa di atas sana, bahkan sekarang internet dapat memberi informasi sebanyak yang kamu inginkan”

“Bukan itu maksudku…hm…maksudnya saya ingin tahu dan ingin merasakan sendiri bagaimana rasanya menuju titik tertinggi dari sebuah perjuangan”

Kabut semakin tebal. Kadang – kadang turun hujan – hujan kecil akibat kabut tebal ini. Kami sempat berunding dengan anggota tim; apakah perjalanan akan dilanjutkan. Kami sadar bahwa jarak pandang tidak lebih 10 meter. Akhirnya tim memutuskan untuk berangkat. Saya selaku yang dituakan juga memberikan pertimbangan, jika akhirnya cuaca buruk, maka nanti camp saja.

Sebelum berangkat, kami membuat lingkaran kecil, dan menyerahkan perjalanan ini kepada Tuhan, dengan doa yang universal, mengingat anggota tim tidak semuanya seiman. Motivasi petualangan ini baik, Tuhan akan melindungi perjalanan ini; itu keyakinan tim. Tim juga memohon pertolongan Tuhan, untuk menjaga dan mengingatkan agar kami tanggap pada pertanda sehingga mampu mengontrol diri disaat-saat harus membuat keputusan penting. Sebagai orang muda, terkadang lepas kontrol untuk mewujudkan ambisi diri. Terkadang juga inkonsisten atas komitmen-komitmen yang telah dibuat bersama.

Langkah pertama dari ribuan mill perjalanan pun dimulai. Memasuki wilayah perladangan, yang medanya menanjak, licin namun tidak begitu sulit. Kami istirahat setelah sampai di tempat pengamat cuaca merapi. Medan berikutnya memasuki kawasan hutan. Ada 2 jalur dan hal ini membuat bingung tim, yaitu jalur inti/ pokok dan yang kedua adalah jalur Kartini. Filosofis tentang penamaan jalur ini memang belum kami pahami. Tetapi menurut kata pendaki, jalur inti ini lebih pendek, namun membutuhkan stamina yang luar biasa karena jalannya menanjak. Pendaki yang suka tantanganlah yang sering memakai jalur ini. Jalur kartini mempunyai karakter lebih landai, dengan medan tanah liat dan sedikit lebih memutar dan dibutuhkan konsentrasi yang tinggi untuk melewati jalur ini karena sebelah kiri jalur sebelum sampai titik pertemuan jalur kartini dan jalur inti merapi merupakan jurang yang curam dan licin. Apabila hujan, sering adalah longsoran.

Tim memutuskan untuk mengambil jalur kartini, mengingat anggota tim adalah pelajar, dan ada satu orang cewek. Walau cukup berbahaya, lewat jalur kartini tidak membutuhkan stamina ekstra dibandingkan jika melewati jalur inti.

Masalah baru datang, kami bingung menentukan mana arah ke jalur kartini. Sehabis lepas dari pos pengamatan cuaca dan memasuki kawasan hutan harusnya mengambil jalur ke-kiri. Pada pendakian sebelumnya, kami masih melihat adanya papan penunjuk yang bertuliskan “jalur Kartini” tetapi tahun ini, papan itu sudah tidak ada lagi. Anggota tim mulai dengan Perdebatan kecil untuk mengambil keputusan. Lagi – lagi saya diingatkan oleh satu hal, bahwa kendali ada ditangan diri, dan tetaplah mencari pertanda, disanalah Tuhan membantu. Saya memberikan masukan, “dari pada kita gambling, mendingan kita lewat jalur yang sudah terpasang penunjuk medan, yang dipasang oleh kelompok pecinta alam lain”. Tim setuju, pada waktu itu kami mengikuti penunjuk medan yang dibuat oleh KSR PMI Kabupaten Boyolali. Medan ini, memang terasa berat. 3 jam perjalanan, stamina anggota tim sudah mulai menurun. Ada yang ketiduran ketika istirahat sebentar, ada yang sering terpeleset, karena konsentrasinya berkurang dan ada yang selalu mengeluh, karena medanya cukup sulit, berbatu, terjal dan licin. Banyak pendaki yang juga menggunakan jalur ini, itulah yang membuat tim merasa tenang. Di sepanjang perjalanan, ketika pendaki bertemu, mereka menyempatkan diri untuk berkenalan, dan saling memberikan semangat dalam suasana persahabatan sejati. Kami tidak merasa sendiri. Mereka sangat toleran. Apabila mereka ingin mendahului, kami mempersilahkan, tetapi jika kami ingin mendahului, mereka juga memberikan jalan, walau jalanya cukup sempit dan sulit mereka membantu dengan memberikan penerangan senter yang mereka milki atau mengayunkan tangan mencoba meraih tangan pendaki lain agar tidak terjatuh. Tangan Tuhan berkarya lewat tangan-tangan mereka.

Langkah kami sudah gontai. Udara semakin dingin. Kabut semakin tebal, dan hujan rintik-rintik yang disebabkan oleh kabut tebal mulai turun. Tangan dan pipi sudah terasa kaku. Sebelum sampai di pathok 2, tempat pertemuan jalur Kartini dan inti, kami memutuskan camp. Ada tanah yang cukup luas untuk 2 tenda, dan kami menggunakan lahan itu. Salah satu hal yang menurut saya suatu kesalahan adalah: lokasi tersebut ternyata jalan pendaki, dan bukan tempat camp. Kami sadar betul bahwa ini sebuah kesalahan dan demi ego, tanpa memperhatikan perjalanan pendaki lain yang terganggu dengan adanya tenda yang dirikan. Anehnya tidak ada pendaki yang protes dengan keberadaan tenda kami, justru ketika mereka harus melompat, melewati jalan sempit disebelah tenda. Mereka menyapa dan mengatakan “permisi maaf mengganggu”. bukankah kami yang mengganggu perjalana mereka? Tuhan mengingatkan lagi untuk saling toleran kepada sesama.

Dua buah tenda didirikan. 1 tenda untuk kapasitas 2 orang dan tenda satunya kapasitas 4 orang. Jumlah tim kami 12 orang. Dengan kondisi seperti ini, harus berpikhir, bagaimana agar seluruh anggota tim masuk kedalam tenda. Karena udara dingin, dan perut lapar, menjadi bebal-lah otak ini. Untuk mempermudah tim di bagi menjadi dua masing-masing 4 orang dan 8 orang. Kami menaruh tas di luar antar tenda dengan ditutup mantol agar tidak basah. Dengan serba terbatas tentu tidak senyaman tidur di rumah apalagi hotel berbintang. kami harus tidur posisi udang, dengan kaki di tekuk dan badan menyamping. Satu orang membuat gerakan, tentu memaksa orang lain bergerak pula. Tim bisa tidur baru jam setengah 4, dan bangun jam 7 pagi. Ada anggota tim yang tidak bisa tidur sama sekali karena memang tempatnya sempit. Bisa masuk ke dalam tenda dan tidak kehujanan saja kami sudah cukup bersyukur.

Kami merindukan fajar pagi, seperti halnya pelaut karam yang merindukan fajar di ufuk timur ketika pagi menjelang. Anggota tim mulai aktifitasnya ada yang memasak air, membuat kopi, mie instan. Hal yang saya kagumi, tim sangat kompak, dan saling toleran. Tim pun makan bersama Nampak kompak kalau sedang makan bersama. Untuk menghibur diri, antar anggota tim bercanda dan saling ledek satu dengan yang lain. Ini menjadi hiburan yang cukup menarik, dan tidak ada satu orangpun yang tersinggung dengan ledekan dan cercaan yang saling dilontarkan, karena kami sadar, bahwa ini hanya merupakan canda yang sifatnya menghibur.

Karena lokasi ini merupakan jalur, maka di sela tenda selalu dilewati pendaki lain. Mereka hangat dan ramah dengan kami. Mereka menyapa dan kadang ada pendaki yang singgah sebentar ditenda untuk bercanda dan berkenalan. Pendaki yang melewati tenda selalu bercerita “kabut cukup tebal, jalur tidak terlihat, maka kami putuskan turun, demi keselamatan”. Ada satu rombongan pendaki yang pada waktu itu sampai puncak, dan mengatakan “lebih baik turun, medanya tidak terlihat, dan hal ini bisa menyesatkan. Pasar bubrah kondisinya mengerikan, sangat gelap”

Jam 8 pagi tim berunding untuk memutuskan langkah, dan tim sepakat jika 2 jam lagi, cuaca tidak berubah, maka diputuskan untuk turun, tetapi jika berubah kearah yang lebih baik, perjalanan akan dilanjutkan menuju puncak Merapi.

Tuhan mengabulkan doa kami, setengah jam kemudian, kabut tertiup angin, mentari pun terlihat, sinarnya membuat tubuh kami terasa hangat. Disebelah barat samar-samar terlihat gunung Sumbing, dan di sebelah utara adalah gunung Merbabu. Waktu yang tepat untuk packing karena jam 9 anggota tim akan memulai perjalanan menuju pasar bubrah.

“bagaimana puncak”, Tanya kami pada pendaki lain yang sedang turun, dan lagi-lagi jawabnya sama “kabut tebal, mengerikan, tidak tahu kalau sekarang. Mas-mas ini kalau mendaki hati-hati saja”. Walaupun mereka mengatakan seperti itu, awalnya kami tidak takut, karena sekarang keadaanya lain, langit telah terbuka dan kabut tidak ada lagi. Harapan besar untuk memenangkan perjuangan ini. Disepanjang perjalanan pemandangan yang indah ini kami abadikan dalam sebuah foto.

Kami berpikhir, medan kepuncak sangat berat, dan terjal. Samahalnya dengan pendakian sebelumnya, tim akan transit dan meletakkan barang – barang di pasar bubrah dan membawa bekal secukupnya untuk dibawa kepuncak. Perjalanan sampai ke puncak kira-kira 1 jam. 30 menit di puncak sangat cukup mengingat bau belerang yang menyengat,. Total perjalanan sampai ke pasar bubrah lagi 2 jam.

Petualangan yang menantang pun dimulai menapaki jalan mendaki menuju puncak. 12 anggota tim yang salah satunya cewek ada 2 orang sahabat yang tidak ikut, karena memang kondisi tubuhnya tidak fit, dan yang satu takut masalah kabut tebal. Untuk antisipasi, agar tetap bisa kontak tim menggunakan peluit untuk bisa kontak tentang keberadaan dengan teman yang berada di bawah. Rupanya arah puncak yang berada disebelah barat dapat dijadikan pedoman navigasi. Di separo perjalanan, kabut mulai menyelimuti namun tidak begitu tebal. Dalam kondisi seperti ini, walaupun sudah tidak bisa melihat camp di pasar bubrah tim masih yakin untuk dapat sampai di puncak garuda. Medanya cukup sulit, terkadang kami menginjak batu-batu lepas, dan batu itu menggelinding ke bawah. Akan sangat berbahaya, jika batu lepas yang terinjak adalah batu besar dan menimpa pendaki lain atau salah satu anggota tim itu sendiri. Untuk itu di sepanjang lokasi ini harus berhati-hati. Satu orang jalan, yang lain mengamati, setelah itu teman lain menyusul, apabila ada batu lepas yang terinjak, kami harus segera berteriak “awas batu lepas flying rock!!!”, agar konsentrasi teman dan anggota tim lain terpusat pada batu itu dan bisa menghindarinya. Medan tanjakan atau kemiringan lereng mencapai 70. Melalui tanjakan ini harus berhati-hati, bukan hanya batu lepas namun lebih pada material longsoran, jalan licin yang dapat menyebabkan tim bisa celaka terjatuh ke bawah, dan hancurlah tubuh terseret batu-batu yang tajam.

Kabut itu bertambah tebal dan mulai turun hujan. Semakin mencekam ketika jarak pandang kurang lebih 10 meter. Kami memutuskan agar anggota tim yang berjumlah 10 orang tidak tercecer. Hujan bertambah lebat, dan terlihat ada aliran air dari puncak gunung. Walau aliran tersebut tidak begitu besar tim mengkhwatirkan aliran fluida ini mampu mengerosi pasir , batu, kemudian longsor, bagaimana nasib kami? Tim mulai ragu dan diselimuti oleh rasa ketakutan. Sampailah tim di kawah mati. Jarak pandang sudah benar-benar dekat anggota tim bergandengan tangan, karena memang benar-benar sudah tidak terlihat dengan jarak lebih dari 5 meter, hal ini menghindari agar anggota tim tidak terpencar dan tersesat. Salah seorang anggota tim yang berada di paling atas mengatakan “suhu naik, udara nampak hangat”. Ini pengaruh uap air, akibat air hujan meresap ke bawah dan mengenai batu panas yang terintrusi magma, dan air itu dikeluarkan kembali dalam bentuk uap air, sehingga uap ini nampak hangat. Ini mungkin gejala alam yang wajar di Merapi, namun cukup mengerikan juga ketika ada aliran air dari atas terasa panas menyentuh kaki kami. Gas belerang juga semakin menyengat, kami sempat batuk-batuk, mata kami terasa pedih, dan gas tersebut sifatnya asam ketika menyentuh lidah kami. Conon tanda – tanda gunung merapi yang meletus adalah meningkatnya gas belerang, dan banyak hewan yang turun kebawah, karena suhu diatas panas. Mengingat hal ini, kami ketakutan bukan main dan memutuskan untuk turun kebawah, dari pada kami menjadi kurban kecelakaan gunung. Akhirnya tim memutuskan untuk turun dengan cepat. Kami bingung memutuskan jalan turun, karena medan turun jalurnya tidak begitu nampak. Alur liar dan jalur tidak bisa dibedakan. Kami merasa lebih aman lewat aliran air karena batuan yang kami injak lebih kompak. Kami terus turun kebawah membawa kecemasan dan ketakutan. Tim mencoba kontak dngan teman yang ada dibawah. Kami mendengar bunyi peluit dari bawah, dan itu peluit teman kami. Namun 10 anggota tim tersebut bingung dari arah mana bunyi peluit itu kanan jalur turun, atau sebelah kiri? Dalam kecemasan yang dapat dilakukan hanya turun kebawah tanpa mempedulikan apakah jalur ini salah atau benar. Kami mencoba kontak dengan teman kami di bawah, namun sudah tidak bisa mendengar suara peluit tersebut. Kami kehilangan kontak. Bahkan kami berphikir teman-teman yang dibawah ketiduran, atau memang sengaja mengujikami. Kami bertambah emosi hingga diantara kami yang berteriak memanggil histeris minta tolong, namun juga tidak ada jawaban. Kami putus asa. Kami sudah berjalan kebawah lama sekali, sesuai perkiraan waktu harusnya kami sudah sampai camp di pasar bubrah. Rupanya medan yang kami lalui semakin berbeda. Kami sudah tidak melihat tanda jejak pendaki lain seperti adanya sampah, karena para pendaki biasanya membuang sampah sembarangan di sepanjang route perjalanan, maupun sandi batu yang ditumpuk pendaki sebagai tanda bahwa hal tersebut adalah jalur. Ada banyak cerita yang mengatakan, bahwa banyaknya kecelakaan gunung terjadi akibat para pendaki yang turun, salah jalan dengan medan tidak terlihat karena kabut, akhirnya pendaki tersebut masuk jurang. Teman kami ada yang mengusulkan agar kami statis atau diam jangan bergerak semakin turun, yang ditakutkan nanti kami masuk jurang. Kami yakin 10 meter kearah bawah adalah jurang yang sangat curam, karena kami mendengar suara air terjun, dan salah satu teman kami melihat, bahwa 10 meter di bawah sana adalah tebing jurang yang curam, namun tertutup kabut. Kami semua diam dan beristirahat. Salah satu langkah dalam survival adalah stop atau berhenti. Tim mulai berphikir, kompas kami buka, melihat arahnya tidak salah memang harus ke arah timur, namun mengapa kami tidak juga menemukan camp di pasar bubrah? Anggota tim yang lain mulai menghitung perbekalan yang ada, jika akhirnya tersesat apa yang bisa dilakukan untuk tahap selanjutnya. Air tinggal sedikit tetapi tidak masalah, karena kami bisa minum air hujan. Makanan habis, pakaian pelindung semuanya sudah basah. Salah satu hal berbahaya yang bisa membunuh hanya psikis yang menyebabkan psikosomatis, atau penyakit psikis karena ketakutan yang kemudian menyerang fisik seperti paru-paru, sakit kepala, dan jantung, atau hipotermia mengingat pakaian sudah basah, udara dingin, kabut sangat tebal, dan angin bertiup kencang. Semua anggota tim diam tidak ada perdebatan. Suasana hati menckam, dan semakin menyesal ketika teringat pesan banyak pendaki, bahwa cuaca di puncak benar-benar buruk. Hati kecil yang sudah ciut bergeming “saat ini pasar bubrah dan Merapi benar-benar menjadi gunung yang sangat mengerikan, layaknya malaikat maut yang siap membinasakan kapan pun”. Jika terserang hipotermia, dengan apa kami bisa menghangatkan diri maupun teman kami. Sampai saya berpikhir, andaikan sekarang Tuhan mengambil nyawa saya, tidak menjadi masalah, saya akan mati dan terbebas dari permasalahan di dunia ini, tetapi jika yang mati adalah teman saya yang masih muda, dimana mereka putra satu-satunya yang menjadi harapan bagi keluarga? Hari-hari kedepan tentu menjadi hari kecaman bagi yang masih hidup. Saya menyesal, dan saya merasa, justru sekaranglah saya kehilangan kontrol atas diri saya. Tuhan sebenarnya sudah menolong saya, membantu saya, dan roh kudus sudah mengingatkan saya lewat banyak pendaki. Tetapi saya malah menganggap para pendaki tersebut tidak punya nyali. Sekarang hati kami merasa sekarat ditempat ini. Saya membayangkan ada 10 in memoriam yang akan dibangun di tempat ini dan konyol. Otak saya beku, sulit rasanya untuk berpikhir positif, yang kami pikirkan hanyalah maut.

Tahapan dalam survival adalah STOP, “ P adalah Praying, kita berdoa saja mas” kata salah seorang rekan, dia adik yunior yang tergabung dalam tim ini. Padahal arti sebenarnya adalah Plan, dimana kita harus membuat rencana. Melihat keluguan adik-adik kami yang masih muda, terkadang saya menyesal mengajak mereka sampai ketempat ini. Dengan tubuh yang gemetar kedinginan dan lemas, saya mengumpulkan mereka. Saya mencoba tersenyum, menenangkan mereka. Jika air mata ingin mengucur dari mata ini, segera saya melihat ke atas, agar masuk kembali kedalam kelopak mata. Saya tidak ingin nampak sedih, dilihat adik-adik satu tim pendaki, saya ingin tetap tegar, walau kondisinya sulit.

“Amin. P adalah Praying. mari kita berdoa”. Saya mengajak mereka berdoa. Kami menundukkan kepada, dalam hati saya hanya mengucap, “Tuhan cahaya hatiku, jauhkanlah aku dari kegelapan, amin”. Setelah saya mengucapkan kata amin dan selesai, mujizat Tuhan datang, langit terbuka terang, dan kami dapat melihat bahwa di utara kami ada gunung, dimana penduduk asli menamainya gunung Gajah Mungkur, karena mirip gajah yang nampak dari belakang. Kami juga melihat barometer merapi, tandanya: sekarang kami berada di sebelah selatan camp. Dan benar, depan kami kira-kira 10 meter adalah jurang dalam, yang mengarah ke daerah Delas, kabupaten Klaten, yang sebelumnya diberitakan oleh harian lokal longsor, dan lahar dingin mengalir lewat jurang ini. Tanpa buang-buang waktu kami lari menuju camp, dan kami terus berteriak, teman kami yang dibawah, segera membunyikan peluit. Akhirnya kami bertemu. Bertemunya kami di tempat camp bukan berarti mara bahaya sudah tidak mengintai jiwa kami. Dengan lirih sahabat kami mengatakan “ salah satu teman kita mengalami sesak nafas, dia merasa lemas dan sekarang di dalam tenda”. Saya segera lari melihat keadaanya dan benar, ia sudah mulai mengigau, ia terus berteriak kalau dadanya sesak, dan merasa udara sangat dingin sehingga dia sulit bernafas. Beberapa kali ia mengatakan “mengapa kalian meninggalkan saya sendiri”, kami segera memberikan pertolongan. Sial! Tabung oksigen yang sudah kami rencanakan untuk dibawa, tertinggal di rumah. Kami memberikan pertolongan secara konvensional. Untuk mengembalikan kesadaranya, dengan menghangatkan tubuhnya, memberi minuman yang mengandung ion yang dibutuhkan tubuh. Memberi makan yang hangat sebagai sumber tenaga. Kami tempelkan koyo di saluran pernafasan agar bisa terbuka lega. Untung kami bawa tenda 2, rekan-rekan yang sudah basah kuyup segera saya suruh ganti baju dan masuk tenda satunya untuk menghangatkan diri, mereka mulai memasak mie, dan air untuk menghangatkan badanya. Pada saat-saat genting ini, kami didatangi pendaki dari Delanggu Klaten, ia menanyakan keberadaan temanya yang naik ke puncak apakah kami melihatnya, karena sudah 3 jam belum turun. Kami bilang tidak tahu, setelah itu dia pergi dan cari bantuan ke POSKO SAR Merapi. “Aku merasa hancur, pikiranku semakin melayang yang tidak – tidak. Bagaimana jika teman kami akhirnya terkena hipotermia dan tidak sembuh? Waktu itu sudah jam 3 sore, bagaimana jika kemalaman? Padahal adik-adik kami yang lain besok harus kembali belajar? Bagaimana jika saya juga terserang hipo sepeti teman ini, atau mungkin yang terserang teman-teman yang laianya? Hati ini diliputi rasa ketakutan yang dalam. Sesekali aku ingin berteriak kencang, mata ini menebal, rasanya tidak bisa membendung air mata kesedihan dan penyesalan; “andaikan kami mendengarkan apa kata orang tentang cuaca buruk si tempat ini”. Tetapi saya harus tetap tegar di depan adik-adik saya. Mereka harus tetap tenang dan seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Padahal yang sebenarnya terjadi, kondisinya sangat buruk. Hujan, kabut tebal, jarak pandang 5 meter. Jangankan membayangkan rumah kami atau base camp, saya tidak yakin bisa lolos dari pasar bubrah, karena kami tidak tahu harus berjalan kearah mana? Kami takut jurang. Kami takut salah mengambil langkah sama seperti ketika kami turun dari puncak ke bawah.

Saya pergi agak jauh ada sebuah batu besar, saya sembunyi sejenak, dan pada saat itulah saya keluarkan air mata ini, dalam hati saya berkata : “ Lindungi kami Tuhan, jangan binasakan kami. Amin.”

Setelah kami packing, kami mulai berjalan perlahan. Sesekali saya mengecek kesehatan semua anggota regu termasuk teman kami yang baru saja terserang hipo. Dalam kondisi cuaca buruk, hampir semua anggota tim kedinginan, karena tidak punya jaket dan penghangat badan lainnya. Baju dan jaket kami basah. Mereka nampak pucat, dan saya baru sadar bahwa mereka mungkin merasakan sama yang aku rasakan. Mereka nampak sedih. Ketika dalam perjalanan mereka hanya diam, dan ragu untuk melangkah. Langkah mereka pelan. Dari wajah mereka terpancar wajah-wajah putus asa. Mereka hanya terus berjalan mengikuti langkah ku yang mereka percaya sebagai leader tim. Padahal setiap langkah yang saya ambil penuh keraguan, karena jalur tidak nampak sama sekali. Jarak antar anggota tim sangat rapat, kami takut terpencar dan masuk jurang. Kira-kira 100 meter kami berjalan, teman kami mulai ragu terhadap langkah yang aku ambil ia berkata “kita salah lagi, harusnya kita menuju utara, bukan ketimur.” Aku berhenti, aku memastikan bahwa “6 kali sudah aku mendaki lewat jalur ini, bukan ke utara melainkan ke arah timur” kataku. Perdebatan kecil pun terjadi, semakin kami berdebat, wajah-wajah adik-adikku anggota tim semakin pucat pasi. Akhirnya perdebatan kami hentikan. Ada petunjuk, disebelah timur kami kira – kira 15 meter aku melihat tenda dome warna biru. Ternyata tenda dome biru itu milik pendaki dari Delanggu. Tenda itu kosong, 4 personilnya belum turun, padahal sudah 4 jam mendaki ke puncak. Sedangkan 1 personilnya mencari bantuan ke Posko Sar Merapi. Pikir saya, kalau berjalan kearah tenda itu atau ke arah timur, pasti saya akan menemukan pintu keluar dari pasar bubrah menuju jalur ke base camp. Akhirnya kami putuskan untuk lurus mengikuti arah tenda tersebut dan benar, kami sampai pintu keluar pasar bubrah. Di pintu itu ada in memoriam peringatan, seorang pendaki yang benama Sumarno, yang meninggal ditempat ini akibat hipotermia karena terserang badai pada bulan maret 1999. saya sempat memandang batu nisan itu dan berkata “lindungi kami Tuhan”. Sampai di jalur inti ini, walau hati sudah tenang, kami tetap was-was, saya meminta semua anggota tim untuk mencari tanda medan yang dibuat oleh KSR PMI kab Boyolali. Angin yang membawa kabut bertiup kencang, tubuh kami merasakan terpaan angin ini. Saya terus berdoa kepada Tuhan dan sesekali saya bernyanyi lagu-lagu taize “penuhi kami ya Tuhan dengan damai-Mu, penuhi kami ya Tuhan Aleluia”. Semua ini kulakukan agar aku tidak merasa tegang. kami harus berjalan melewati punggung gunung, sampai masuk hutan. Selama kami berjalan di punggung gunung, kami terus merasakan terpaan angin yang kencang. Kami tidak bisa berjalan cepat, karena teman kami masih belum fit setelah terkena serangan hipo. Saya benar-benar pasrah, tidak ada yang bisa aku lakukan kecuali berdoa. Aku ingin merokok untuk menghangatkan badan ku, dan sekedar untuk menenangkan hati, namun semua korek tidak bisa menyala karena basah.

Lolos sudah kami dari jalur maut, kami memasuki hutan, namun kami sadar bahwa jalur yang sekarang kami lewati bukan jalur yang kemarin kami lewati. Tetapi kami merasa tenang di sepanjang jalur ini kami menemukan jejak pendaki, dan nampak ada tanda medan. Kami juga menemukan ladang rumput sejenis King Grass milik warga. Berartitempat ini sering di jamah masyarakat. Ketika mulai masuk hutan, salah satu teman kami kepalanya migrain. Maklum semua baju basah, sedangkan kami harus berjalan. Bahan makanan kami pun habis. Kami benar-benar survive.

Hati kami semakin tenang ketika kami mendengarkan suara Adzan magrib berkumandang “Allahuakbar!Allah maha besar”. Kataku dalam hati. Saya bersyukur, ini semua atas rahmat dan penyertaan Tuhan. Walau demikian perjalanan kami masih kira-kira 1 jam untuk sampai ke base camp. Dan kami harus tetap hati-hati. Dari jauh kami melihat tower tinggi, langit mulai cerah, kami mulai melihat lampu-lampu kota Selo. Puncak merbabu-pun nampak menjulang tinggi. Seakan-akan kami disambut dengan cahaya kemenangan, setelah harus berjuang kurang lebih 24 jam dalam maut.

Jam 7 malam tepat seluruh rombongan masuk base camp. Kami berjumpa dengan warga, kami menyapa dan diapun menyapa kami warga itu berkata : “mas rombongan dari delanggu?” kami menjawab “bukan, kami dari Klaten”. Kemudian dia berkata lagi “berarti yang dari delanggu belum ditemukan. Semoga tidak terjadi apa-apa” saya pun juga mengatakan “semoga. Lindungilah mereka Tuhan, mereka adalah masa depan bangsa ini” karena ada salah satu dari rombongan dari Delanggu ini yang baru kelas 2 SMP.

Sesampai di base camp kami berdiri melingkar. Wajah kami mulai bersinar. Kami bisa terenyum.

“Tuhan mempunyai rencana lain untuk kita.

Andaikan tidak, pasti kita sudah binasa diatas sana.

Kita tidak lepas kontrol, atau tidak mau mendengarkan orang lain. Tetapi sebuah misi dan perjuangan harus dimenangkan.

Tuhan tidak mungkin membiarkan kita binasa, jika kita menaruh harapan pada-Nya dan terus berusaha sampai akhir”

Kami pun menundukkan kepala, berdoa mengucap syukur atas anugrah yang luar biasa ini.

Pasti suatu saat kami merindukan saat-saat seperti ini

Setelah makan malam, jam 8 kami menju kota klaten.

Kami menang!

Dan sampai di klaten dengan selamat jam 10 malam.

Setelah sampai di Klaten, kami mendapat kabar ternyata pendaki dari Delanggu yang di cemaskan hilang sudah pulang dengan selamat bersama pendaki dari Sragen!

Kami membaca koran wawasan, ada sahabat pendaki dari UNSA, meninggal di gunung Lawu, jalur Cemoro Kandang. Dari 4 orang pendaki, 2 orang tewas akibat cuaca buruk. Rest in peace! Salut atas perjuanganmu teman!

Tulisan ini didedikasikan untuk seluruh rekan-rekan pendaki,dengan mengutip tulisan george Mallory : Because it’s there.

The end

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun