Mohon tunggu...
Joy Johari
Joy Johari Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Seorang Guru SD

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

REKRUTMENT ANGGOTA BERAWAL DARI POLEMIK

14 Oktober 2011   20:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:57 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ketika RUU Guru dan Dosen disahkan menjadi UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, seluruh guru Indonesia mendengar dan menyambut dengan penuh harap. Semua menanti salinan UU tersebut karena ingin mengetahui apa isinya. Dan ketika mengetahuinya, kita semua bangga.Karena di sana terdapat pasal yang menyatakan adanya wujud pengakuan guru sebagai tenaga profesi yang selanjutnya dijawantahkan dengan bentuk sertifikat professional dengan reward gaji pokok dilipatgandakan. Implementasi dari pengakuan inilah (perihal sertifikasi) yang lebih menyebabkan UU Guru dan Dosen itu dikenal oleh segenap guru. Sedangkan bahwa UU GD merupakan “Master Piece” (karya agung) hasil perjuangan PGRI, tidak otomatis mereka mengetahuinya. Namun terlepas dari siapa yang memperjuangkan lahirnya UU tersebut, sepatutnya semua guru bersyukur.

Kemudian secara yuridis, sudahkah semua guru di semua tingkatan menjadikan UU tersebut sebagai landasan hukum yang kuat untuk memperjuangkan nasib dan kesejahteraannya?

Tentunya sepanjang guru Indonesia belum semua menjadi anggota PGRI, maka jawabannya juga belum. Walaupun secara defakto semua guru adalah guru Indonesia, akan tetapi hubungannya dengan UU tersebut, PGRI dalam hal tertentu (melalui bargaining tri partit) bisa memiliki posisi men-disclaimer terhadap guru non anggota PGRI.

POLEMIK, TANTANGAN JADI PELUANG

Dalam kurun waktu 5 tahun sejak kelahirannya, Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ternyata belum merevolusioner eksistensi PGRI dari sisi kuantitas keanggotaannya. UU tersebut belum berdampak adanya eksodus dari guru-guru sekolah lanjutan secara otomatis bergabung kepada PGRI. Mereka tetap tak bergeming. Padahal jelas-jelas pada pasal 41 ayat 3 UU Guru dan Dosen dinyatakan, bahwa “Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi”. Apa yang menyebabkan mereka bersikap apriori terhadap produk pemerintah nomor 14 itu, alasannya belum jelas.

Polemik atau image berikut ini sebelumnya oleh penulis dianggap penyebabnya dan dikira betul adanya, yaitu:

Pertama, bahwa PGRI identik dengan guru SD seakan-akan sudah menjadi keputusan bagi kalangan guru sekolah lanjutan. Sehingga mereka masih enggan untuk masuk anggota PGRI. Padahal kalau dilihat dari latar belakang kualifikasi akademiknya, mestinya mereka lebih memiliki mindset (pola pikir) atau perspektif berpikir jauh ke depan. Namun fakta historis menunjukan bahwa sejak founding father PGRI ini menancapkan tonggak di kancah perjuangan NKRI, guru SD-lah yang menonjol berperan.

Kedua, selama ini guru SD menganggap guru SLTP/SLTA bersikap ekslusif dan terkesan ada dicotomi antara status guru SD dan SLTP/SLTA. Sehingga terbentuk image bahwa guru SLTP/SLTA lebih menyandang pamor di atas. Maka seakan-akan terbentuk sikap mental yang tidak kasat mata, yaitu sikap ego yang membayang-bayangi masing-masing pihak (psikologis gap). Sikap diskriminatif pemerintah yang menambah kedalaman jurang kesenjangan ini pun pernah terjadi. Sikap yang dianggap diskriminatif itu adalah perbedaan besaran tunjangan fungsional dan pakaian seragam dinas. Tunjangan fungsional guru sekolah lanjutan waktu itu lebih besar dari guru SD. Sehingga image status guru SD dalam lingkungan kehidupan sosial di masyarakat pun lebih rendah. “Guru SD gajinya kecil”. Pakaian seragam warna kaki ( identik dengan ciri-ciri PNS) yang diwajibkan oleh Pemerintah kepada guru SD, tidak menaikan strata status guru SD. Malah hal ini lebih menambah unsur ekslusif di satu pihak, di pihak lainguru SD dikesankan selalu “manut” alias tak berdaya, dijadikan objek kepentingan apa pun oleh pemerintah (pejabat).

Ketiga, walaupun sumbernya tidak jelas, tersiar issue bahwa sebagian guru “di luar sana” menganggap UU Guru dan Dosen dan sertifikasi guru adalah urusan pemerintah, bukanlah hasil perjuangan PGRI.

Pada kaitan inilah PGRI harus mampu mempersatukan semua guru dalam satu wadah dan menghapus segala image yang menghambat lajukembangnya dunia pendidikan. Sehingga tujuan memajukan pendidikan yang diperjuangkan PGRI tidak bersifat parsial,setengah hati dan dianggap kamuflase.

Secara teknis yang paling strategis untuk melakukan sosialisasi, treatmentdan rekrutment adalah PGRI Cabang. Apa yang akan dilakukan oleh Pengurus PGRI Cabang, tentunya harus dilandasi rasa pengabdian dan integritas yang cukup serta keberanian berkomunikasi dengan mereka yang belum masuk PGRI. Keengganan yang dilandasi bayang-bayang “image” tadi, bukan sikap yang bijaksana. Justru merupakan penghalang yang akan selalu menjadi dinding pemisah. Kalau komitmen pengurus sungguh-sungguh mau berjuang demi kemajuan organisasi dan dunia pendidikan, tidak ada salahnya pengurus melakukan “jemput bola”.

Dalam konteks rekrutment, PGRI sebagai organisasi profesi yang salah satu tujuannya adalah mencerdaskan bangsa, masih perlu dipertajam kualitas komunikasi dan sinergisnya dengan pihak-pihak yang terkait langsung. Guru sekolah lanjutan adalah pihak terkait langsung dengan kegiatan mencerdaskan bangsa yang diperjuangkan PGRI. Unsur sistem pendidikan yang menyangkut tenaga pendidik bukan hanya guru SD. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan yang menggantikan PMPTK itu pun bukan hanya untuk guru SD. Maka dalam kaitan inilah, para pengurus PGRI harus melakukan approach and common touch dalam bentuk apapun kepada mereka. Dan sebaiknya kita yang ada di PGRI, jangan membuat polemik sepihak. Yang terpenting untuk dilakukan sekarang adalah refleksi, introspeksi dan berkontribusi. Mengubah paradigma dan anggapan miring terhadap PGRI, secara internal maupun eksternal adalah tugas pengurus di tiap tingkatan. Dan pengurus PGRI Cabang lebih strategis untuk berbuat ke arah itu dalam artian sebagai fasilitator sekaligus informator. Sebab Pengurus Cabanglah yang terdekat dan bersentuhan langsung dengan konstituen. Dengan demikian diharapkan semua guru di tingkat SLTP/SLTA secepatnya merapatkan diri untuk masuk menjadi anggota PGRI. Sehingga peran PGRI dalam konteks tujuan mempertinggi kesadaran dan sikap guru, meningkatkan mutu dan kemampuan profesi guru dan tenaga kependidikan lainnya berjalan kaffah (menyeluruh tidak sebagian-sebagian).

Jika Pengurus Cabang PGRI menyambangi SLTP/SLTA untuk bersilaturahmi dan mengajak menjadi anggota PGRI, bukanlah suatu dosa. Itikad baik yang didasari rasa kekeluargaan, kebersamaan, dan kesetiakawanan korps (esprit d’corps) ini, tidak bisa diartikan sebagai kehinaan. Kita tidak sedang mengemis. Siapa tahu rumor/polemik yang selama ini terdengar telinga kita, sebenarnya keluar dari prasangka kita saja. Bayang-bayang barzah (pemisah/penghalang) itu harus diputus di sini. Kita jemput bola !

Sikap jemput bola yang penulis maksudkan di atas bukan cuma isapan jempol belaka. Dengan bahasa birokrasi yang sederhana, penulis pernah mengirim surat edaran yang berisi tawaran kepada SLTP dan SLTA yang ada sekecamatan. Alhasil, tidak sampai seminggu, mereka (Kepala Sekolah) menyambut tawaran itu dengan antusias dan penuh sikap familiar. Yang lebih membanggakan lagi adalah: mereka semua menginginkan adanya sosialisasi terlebih dahulu tentang ke-PGRI-an.

Singkat cerita, sosialisasi dilaksanakan dengan nara sumber diambil dari Sekretaris Umum PGRI Provinsi Banten (H.Tb. M. Suherman, S.Pd.,M.Pd.). Dan, berujung pada kesiapan untuk masuk menjadi anggota PGRI melalui RAPRAN (Rapat Anggota PGRI Ranting) Satuan Pendidikan masing-masing.

Ada dua hal yang menjadi catatan dari kegiatan sosialisasi tersebut, yaitu :

a.Jalinan silaturahim tercipta dengan penuh kehangatan, tanpa reserve,

b.Materi yang tersampaikan diikuti dengan penuh antusias dan nampaknya menjadi sesuatu yang sama sekali baru bagi mereka.

Dalam kegiatan sosialisasi tersebut tidak terjadi interaksi yang sifatnya tawar- menawar. Interaksi terjadi sebatas pada pertanyaan-pertanyaan seperlunya yang memang belum dimaklumi oleh peserta.

Dari kesan-kesan itu dapat ditangkap bahwa semua polemik yang menimbulkan image-kontraproduktif selama ini, pada dasarnya tidak betul. Komentar yang menyatakan bahwa “sertifikasi urusan pemerintah, bukan perjuangan PGRI” itu juga sepertinya terungkap dari segelintir orang, tidak bersifat kolektif. Dan statement tersebut bukan sebuah distorsi (pemutarbalikan fakta) untuk sekedar alasan tidak care-nya mereka terhadap PGRI. Namun karena minimnya informasi yang diterima oleh yang bersangkutan.

Mengapa mereka sedari dulu tidak mau masuk PGRI? Mereka sebenarnya ingin diajak oleh kita. PGRI identik dengan guru SD, kitalah yang membentuknya seperti itu. Kita masih cenderung mewarisi tradisi historis turun-temurun dan terlalu asik dengan status quo.

Kehadiran SLTP/SLTA di tiap-tiap kecamatan terjadi tidak bersamaan dengan SD. Bahkan 25 tahun ke belakang SLTP/SLTA belum semua ada di setiap kecamatan terutama di daerah-daerah pelosok. Wajar jika guru SLTP/SLTA ketika hadir di tengah-tengah kita tidak serta-merta masuk PGRI. Sebab ibarat bertamu, mereka tidak etis “slonong boy” begitu saja, di samping tentunya informasi tentang PGRI masih gelap.

Penting tidaknya pembahasan yang berkaitan dengan polemik tadi tergantung dari sudut pandang kita masing-masing. Tapi menurut penulis sendiri hal tersebut mengandung manfaat, sebab dari mengenal karakter yang kita bicarakan, tentunya kita akan memahami duduk permasalahannya yang pada akhirnya bersama-sama menemukan solusinya. Sehingga tantangan bisa menjadi peluang.

Sosialisasi, treatment dan rekrutment yang kita lakukan bukan dikarenakanPGRI masih mengumpulkan kekuatan. Akan tetapi lebih disebabkan karena solidaritas semata untuk kepentingan yang lebih luas. Tanpa kehadiran anggota baru pun potensi PGRI memang sudah kuat dan mapan.

Sumber PB PGRI menyebutkan bahwa Persatuan Guru Republik Indonesia disingkat PGRI, didirikan pada tanggal25 Nopember 1945 dalam Kongres Guru Indonesia di Surakarta Jawa Tengah. PGRI berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai Badan Hukum terdaftar di Departemen Kehakiman berdasarkan Penetapan Menteri Kehakiman tanggal 20 September 1954, Nomor: I.A.5/82/12. Jati diri PGRI adalah unitaristik, indevendent, dan non politik praktis. PGRI bertujuan: (1) mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mempertahankan, mengamankan, serta mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; (2) berperan aktif mencapai tujuan nasional dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk manusia Indonesia seutuhnya; (3) berperanserta mengembangkan sistem dari pelaksanaan pendidikan nasional; (4) mempertinggi kesadaran dan sikap guru, meningkatkan mutu dan kemampuan profesi guru dan tenaga kependidikan lainnya; dan (5) menjaga, memelihara, membela, serta meningkatkan harkat dan martabat guru melalui peningkatan kesejahteraan anggota serta kesetiakawanan organisasi.

Secara organisasional, PGRI memiliki satu potensi yang cukup kuat dalam struktur, kultur, substansi, SDM, dan pengalamannya. Secara struktural PGRI mempunyai jaringan keorganisasian yang berakar sampai lapisan yang paling dasar yaitu tingkat desa. Jenjang kepengurusan terdiri atas: (a) Pengurus Besar untuk tingkat pusat, berkedudukan di Ibukota Negara, berjumlah 21 orang anggota pengurus; (b) Pengurus Provinsi, berkedudukan di Ibukota Provinsi, sebanyak 31 buah masing-masing berjumlah 20 orang anggota pengurus; (c) Pengurus Kabupaten/Kota, berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kotamadya, sebanyak 412 buah, masing-masing 17 orang anggota pengurus; (d) Pengurus Cabang, berkedudukan di Ibukota Kecamatan atau Unit Kerja, sebanyak 4.188 buah, masing-masing 15 orang anggota pengurus; (e) Pengurus Ranting, berkedudukan di unit kerja/desa, sebanyak 68.139 buah, masing-masing 5 orang anggota pengurus. Total anggota PGRI secara nasional kurang lebih 1,6 juta orang. Dalam mewujudkan darma baktinya, PGRI memiliki dan mengelola sejumlah lembaga pendidikan yang berupa: Taman Kanak-Kanak 903 sekolah, SD/SLB 23 sekolah, SLTP/ST 1.829 sekolah, SMU 621 sekolah, SMK 318 sekolah, dan 58 Perguruan Tinggi.

Dalam jaringan internasional PGRI menjalin kemitraan internasional baik bilateral, regional, maupun global. Pada tingkat regional, PGRI menjadi bagian organisasi guru di Negara-negara ASEAN yang tergabung dalam ACT (Asean Council of Teachers). Pada tingkat internasional PGRI menjadi anggota EI (Education International) yaitu persatuan organisasi guru-guru seluruh dunia (sebanyak 346 organisasi guru dari 166 negara, dan menghimpun 29 juta anggota).

Dengan potensi keorganisasian seperti tersebut di atas, maka PGRI memiliki kekuatan yang potensial yaitu sebagai pressure power (kekuatan penekan), thinking power (kekuatan pemikir), dan control power (kekuatan pengendali).

Memang PGRI sudah memiliki potensi kekuatan yang tidak diragukan lagi sebagai pressure power (kekuatan penekan), dan control power (kekuatan pengendali). Namun, PGRI sebagai serikat pekerja berarti anggotanya adalah pekerja yang menjalankan tugasnya atas perintah majikan (pemerintah). Yang seringkali majikan berlaku semena-mena terhadap hak-hak pekerjanya. Di sinilah secara sederhana, kita pahami pentingnya kita masuk PGRI sebagai pendekar para guru. Kita terpaksa harus mengakui bahwa ada PGRI pun pemerintah sudah sewenang-wenang terhadap guru, apalagi kalau guru tidak berserikat. Pemotongan tunjangan sertifikasi guru 1 bulan gaji di tahun 2010, contoh kesewenang-wenangan pemerintah. Menurut survey PGRI: di tahun 2010, 800 ribu guru di 84 kabupaten/kota dari 21 provinsi mengaku tunjangan sertifikasinya dipotong 1 bulan gaji pokok (Radar Banten, 21/02/2011). Siapa yang akan peduli ?

Yang penting lagi harus dipahami oleh guru adalah keberpihakan guru terhadap pasal 41 ayat (3) :”Guru wajib manjadi anggota organisasi profesi”. Menurut alur pikir penulis yang awam tentang hukum, pasal tersebut secara politis adalah pasal yang merugikan majikan (pemerintah). Karena akan semakin memperkuat posisi PGRI sebagai pressure power apabila seluruh guru masuk menjadi anggota PGRI. Logikanya, apa untungnya bagi “majikan” menjatuhkan sanksi atas pelanggaran pasal tersebut. Lalu sudikah guru tak berdaya? Dan, guru yang masih di “luar sana”, di mana hati nuraninya begitu tega mengisap keringat dan darah yang lain?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun