Mohon tunggu...
Joy Johari
Joy Johari Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Seorang Guru SD

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Keberdaan Kompasiana Sangat Disayangkan

30 Oktober 2011   04:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:17 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah cukup lama terbitnya PP No. 70 tahun 1991 tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomor 4 tahun 1990 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, mewajibkan tiap-tiap Provinsi memiliki Perpustakaan Daerah. Bahkan dalam perkembangannya perpustakaan di Indonesia semakin melembaga sampai tingkat kabupaten/kota, pun ada perpustakaan daerah. Lebih spesifik lagi, tanpa keterikatan dengan Undang-Undang tersebut, perpustakaan melengkapi setiap lembaga sekolah dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Namun sudahkah masyarakat Indonesia menjadi masyarakat pembaca? Sudahkah anak-anak kita gemar membaca? Sudahkah di kalangan khusus guru Indonesia membaca menjadi suatu kebutuhan (kegemaran)?

Untuk menjawabpertanyaan-pertanyaan di atas, mungkin akan lebih bijaksana kalau berdasarkan data empiris/hasil penelitian. Namun tanpa data empiris dan mungkin terdengar ekstrem, penulis berani mengatakan “belum”. Mengapa? Entahlah. Akan tetapi jika kita perhatikan, loker koran/pedagang koran yang berjejer di pinggir jalan perkotaan begitu sepi dari pengunjung/pembeli setiap paginya. Yang terlihat hanya satu dua orang yang membeli, itu pun orang-orang tertentu. Sehingga seringkali menurut pengakuan pedagangnya, koran yang dijual sampai sore hari tidak habis terjual. Padahal stock yang ia sediakan tidak mencapai 200 eksemplar per nama koran/tabloid. Kemudian contoh fenomena khusus yang ada pada pelajar, dapat saya tunjukkan bahwa baik di SD maupun di sekolah lanjutan (Penulis pernah mengajar di SMP) setiap hari perpustakaan sekolah kurang pengunjung.

Fenomena yang diungkapkan di atas tidak bermaksud penulis menjadikannya sebagai fakta untuk menggeneralisasi - mudah-mudahan itu tidak ada korelasinya. Tetapimemang, kondisi minat baca masyarakat Indonesia dari waktu ke waktu masih tetap menjadi polemik. Masyarakat bangsa ini sudah mengklim dirinya sendiri bahwa budaya bacanya sangat rendah. Namun seakan akan pemerintah kehabisan akal untuk mengubah masyarakatnya menjadi masyarakat berbudaya baca tinggi seperti yang diberitakan, di Jepang, misalnya. Padahal semua sadar, budaya baca masyarakat merupakan simbol tingginya budaya suatu bangsa. Banyak faktor penyebabnya, namun usaha peningkatan minat dan gemar membaca harus terus-menerus digalakkan melalui berbagai cara. Dan, pada tingkat SD adalah salah satu sarana yang sangat potensial untuk melakukan itu. Lalu apa sebenarnya tujuan upaya meningkatkan minat baca sehingga begitu “kamenah-menah” (Jawa: terlalu diupayakan) pemerintah? Karena mensejahterakan rakyat adalah kewajiban pemerintah. Salah satunya adalah peningkatan minat dan gemarmembaca untuk menjadikan kebiasaan, keterampilan dan kepandaian sebagai kebiasaan dan kegemaran. Sehingga tercipta masyarakat membaca menuju masyarakat pembelajar yang pada gilirannya menjadi masyarakat yang madani (maju dan sejahtera).

Kiat-kiat meningkatkan minat baca tentu saja suatu hal yang tidak mudah dan tidak sederhana. Banyak faktor yang menghambatnya. Penghambat itu anatara lain adalah pertama, budaya lisan, masyarakat masih lebih senang mendengarkan ceramah daripada membaca sendiri. Kedua, kemajuan teknologi, di samping mendukung juga dapat menghambat. Tayangan TV lebih menarik daripada bacaan. Ketiga, pembangunan tidak merata, pembangunan yang tidak merata pada bidang-bidang terkait, hanya terpusat di kota-kota sehingga mengurangi kesempatan memperoleh bahan bacaan bagi masyarakat yang jauh dari kemajuan (termasuk warnet). Keempat, transportasi, ekonomi dan sebagainya. Namun sekali lagi, upaya ke arah pembudayaan gemar membaca harus terus dilakukan baik melalui kelembagaan maupun perorangan atau kelompok (kalau di Banten semisal “Rumah Dunia” yang didirikan dan dipimpin oleh Gol A. Gong).

KIPRAH KOMPASIANA

Bukan tidak mungkin kita dapat membaca atau berlangganan koran atau majalah Jurnal terbitan mana pun. Bukan tidak mungkin pula kita dapat mengirimkan tulisan kita ke berbagai redaksi koran/tabloid/majalah.Namun seperti yang kita tahu, hanya aktivitas membacalah yang tidak pernah gagal kita lakukan asal kita mau. Akan tetapi mengirimkan sebuah tulisan ke suatu redaksi media cetak, tidak setiap orang sukses dimuat di media tersebut. Kalau tidak dikembalikan mungkin seketika itu juga sudah berada di tempat sampah.

Lalu media alternatif apa lagi yang dapat digunakan oleh para penulis pemula dan masyarakat pada umumnya untuk sekedar menyalurkan hasrat menulis dan hasil tulisannya itu terbaca orang? Ya, benar jawabannya adalah internet. Tapi media sosial di internet kan banyak, mana yang paling refresentatif untuk kita gunakan? Face book, twitter, messenger, blog, atau apa? Setelah dibanding-bandingkan, ternyata yang paling tepat adalah blogshop di KOMPASIANA.

Kompasiana sudah banyak membantu pemerintah dalam kewajibannya untuk mencerdaskan bangsa. Kompasiana berperan besar dalam menciptakan masyarakatpembaca dan atau penulis. Namun SANGAT DISAYANGKAN, media sosial (kompasiana) hasil ide yang cerdas ini tidak dapat menjangkau seluruh masyarakat Indonesia, termasuk siswa SD di daerah-daerah. Penggunanya adalah mereka kalangan menengah ke atas dan yang sudah tidak gaptek. Pembacanya pun para kompasianer itu sendiri yang jelas-jelas tidak diragukan lagi bahwa mereka adalah insan pembelajar dan malah mampu berbagi. Namun justru mereka yang mesti menjadi sasaran, tak pernah menyentuhnya. Karena untuk menyentuh ini harus ada prasyarat penunjang, yakni melek IT, dan memiliki komputer serta modem/wearles.

Namun yang tak kalah pentingnya adalah para kompasianer yang berprofesi guru di sekolah lanjutan. Kompasianer ini sangat mungkin dapat mengarahkan anak didiknya untuk membaca tulisannya di kompasiana terutama tulisan dalam bentuk fiksi (puisi, Cerpen, atau dongeng), baik dalam rangka terkait dengan tugas maupun sekedar upaya mengarahkan agar mereka gemar membaca. Dan nurturant effect yang diharapkan, juga mereka termotivasi untuk belajar dan mendalami ICT. Yang pada gilirannya akan menimbulkan kegemaran membaca, syukur-syukur menjadi penulis mengikuti langkah-langkah gurunya. Lagi-lagi ini adalah peran kompasiana secara tidak langsung.

MENGAPA MEMBACA?

Semua anak-anak yang duduk di kelas empat, misalnya, apabila ditanya mengenai penting tidaknya membaca, pasti mereka jawab “penting”. Apalagi kalauyang ditanya orang dewasa! Tapi apakah jawaban tadi menjadi jaminan bahwa orang tersebut adalah orang yang senang membaca? Tentu saja sama sekali tidak. Kecuali pertanyaannya diganti dengan “Berapa kali Anda membaca dalam sehari?” Atau “Berapa jam Anda membaca dalam sehari?” dan sebagainya.

Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa seseorang yang tidak senang membaca bukan berarti ia tidak memahami pentingnya membaca. Berarti modal pemahaman pentingnya membaca sudah mereka miliki. Pada kaitan inilah kompasianer guru dapat memerankan diri menjadi agen of change yang mengubah kultur masa bodo siswamenjadi kultur selalu serba ingin tahu (intellectual curiosity). Tentunya dengan melalui pendekatan teknis dan non teknis yang dilakukan kompasianer guru, antara lain : kompasianer guru hendaknya terus membangun trust (kepercayaan) dari segi layanan. Meningkatkan kualitas dalam memberikan layanan secara cepat, tepat dan sesuai minat, mutlak harus dilakukan. Karena trust sangat tergantung kepada citra dari layanan dan informasi. Artinya, kegiatan layanan dan “mutu informasi” dari kompasianer guru menjadi barometer keberhasilan meningkatkan animo pembacanya. Dengan trust ini postingan kompasianer guru,kehadirannya akan selalu ditunggu-tunggu oleh siswanya.

Yang jelas dari membaca kita dapat memperoleh dan menangkap, artinya mengerti maksud apa yang dibaca dan menjadikan bahan tambahan pengetahuan. Bila bertambah pengetahuan akan bertambah gagasan-gagasan yang ada dalam pikiran. Dan pada gilirannya gagasan-gagasan tersebut dapat dimanfaatkan untuk melakukan sesuatu.Bukankah negeri ini membutuhkan warganya yang dapat melakukan sesuatu? Bukankah guru juga semakin dituntut untuk memiliki excellence competence ? Berbuatlah sesuatu sekecil apa pun daripada tidak sama sekali. Dan, Kompasianer guru yang punya sumberinformasi tugasnya menyampaikan informasi itu kepada yang paham pentingnya membaca, namun belum gemar membaca, dengan cara antara lain seperti yang disebutkan di atas. Semoga…

(Serang, 29 Okt. 2011)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun