" Maksudnya aku dan mas Fadil harus  tunangan dulu?"
      "Ehm.... Ya, boleh juga." Aku bingung memilah kalimatku.
Tentu saja bukan itu yang kuinginkan karena tak mungkin aku sanggup melihatnya dengan lelaki lain. Sebenarnya kali ini aku sangat berharap Sahira tahu isi hatiku.
      " Oke Mas dokter. Terima kasih banyak ya sarannya." Ia meneguk es jeruk dan menghabiskan seluruh sisa di gelasnya dan pamit untuk pergi.
      "Kok dokter sih?" Sahutku berusaha menahannya.
      "Ya kan dokter cinta." Ia menyunggingkan senyum terindah dan mataku takjub dibuatnya.
"Aku duluan ya Mas, udah kesorean ini. Kali ini aku yang bayar. Jangan menolak, please!"
      Aku terus memperhatikan Sahira, jemari lentiknya mulai mengemasi barang- barang yang tercecer di meja dan memasukkannya ke dalam tas. Dia beranjak dari kursi menuju kasir dan berbicara sebentar dengan seorang pelayan. Hatiku tak rela melepasnya berjalan keluar.
Belaian angin sore mengibaskan kerudung biru mudanya. Aku terus menyaksikan kepergian Sahira dari tempat dudukku. Tak lama kemudian, mobilnya melaju dan menghilang. Â Â
Sejak saat itu harapanku padanya semakin besar. Kupikir keluarga Fadil akan tetap bersikukuh agar Fadil melanjutkan studinya. Kupikir Sahira juga akan tak sabar menungguinya. Â Tapi ternyata aku keliru. Sahira memang kembali datang, tapi dengan membawa undangan pernikahan.
***