Becak, menurut beberapa referensi, berasal dari bahasa Hokkien: be chia 'kereta kuda'. Namun literatur lain menyebutkan, asal usulnya, bukan dari Cina. Tetapi dari Jepang.
Dan, ide pembuatannya justru dari orang Amerika. Gagasan tersebut muncul tahun 1869.
Menurut KBBI, becak merupakan kendaraan umum seperti sepeda tidak bermotor beroda tiga, bertutup (tutupnya dapat dibuka), satu sadel di belakang, tempat duduk untuk penumpang di depan, dijalankan dengan tenaga manusia (pengemudinya duduk di belakang).
Sebagai alat transportasi, becak merupakan suatu moda transportasi beroda tiga yang umum ditemukan di Indonesia dan juga di sebagian Asia.
Kapasitas normal becak adalah dua orang penumpang dan seorang pengemudi.
Kapan becak masuk Indonesia?
Sama seperti asal mulanya, kapan pertama kali becak masuk Indonesia, juga belum jelas. Perkiraannya, sekitar tahun 1930-an.
Jawa Shimbun terbitan 20 Januari 1943 menyebut becak diperkenalkan dari Makassar ke Batavia pada akhir 1930-an.
Sedangkan Lea Jellanik dalam "Seperti Roda Berputar" menuliskan bahwa becak didatangkan ke Batavia dari Singapura dan Hongkong pada 1930-an.
Begitu pula kapan becak mulai "mengaspal" di jalan-jalan di Kabupaten Bengkalis, juga belum ada catatan resmi. Tak ada yang tahu pasti.
Sebagai angkutan umum, pada tahun 1990-an hingga tahun 2020, becak masih menjadi "raja jalanan" di ibu kota Kab. Bengkalis.
Akan tetapi dan meskipun sama-sama didayung, becak di Kabupaten Bengkalis tak sama dengan yang dimaksudkan di KBBI. Juga berbeda dengan becak India, Pakistan, Bangladesh atau Tiongkok yang posisi pengemudinya berada di depan.
Tempat duduk becak di Kabupaten Bengkalis tidak di depan atau belakang. Namun di samping kanan pengemudi seperti bentor atau betor dari Sumatra, khususnya Sumatra bagian utara.
Pada tahun 2005 s.d. akhir tahun 2010-an, misalnya. Becak hias merupakan salah satu "peserta wajib" yang ikut memeriahkan peringatan Hari Jadi Bengkalis yang diperingati setiap tanggal 30 Juli.
Begitu pula saat perayaan Tahun Baru Cina. Ketika Imlek, utamanya pada petang hari tertentu, ratusan becak berseliweran di jalan-jalan utama kota Bengkalis. Membawa warga daerah ini yang merayakannya berkeliling kota. Biasanya sebuah keluarga.
Pokoknya, di dua momen tersebut, penarik becak di tempat ini laksana mendapat "durian runtuh". Kebanjiran order. Dapat rezeki nomplok.
Law of supply and demand (hukum penawaran dan permintaan) dalam ilmu ekonomi berlaku. Pendapatan mereka ikut terdongkrak.
Pun di pelabuhan Bandar Sri Laksamana. Pada jam-jam kapal tiba, baik itu dari Dumai, Selatpanjang, Batam maupun Pekanbaru, berpuluh-puluh penarik becak sudah menanti kedatangan penumpang yang memerlukan jasa mereka.
Kini "raja jalanan" itu mulai terpinggirkan. Masa keemasan tersebut kian hari makin pudar. Tergerus kemajuan. Ditinggalkan masyarakat. Tak lagi menjadi idola seperti dulu.
Semakin banyaknya kendaraan bermotor roda 2 pribadi, becak motor dan layanan tukang ojek, membuat becak dayung "menghilang".
Saat Imlek 2023 yang jatuh pada 22 Januari lalu, tak ada lagi pemandangan seperti di era 2005 s.d. akhir 2010-an seperti diceritakan di atas.
Setakat sekarang, kalau pun ada yang masih terlihat tetap "mengaspal", bisa dihitung dengan jari. Mungkin kurang dari semua jari di tangan. Itu pun terkadang tanpa pengguna jasa. Hanya pengemudinya saja.
Ke mana becak-becak tersebut kini?
Sebagian bermetamorfosis menjadi bentor. Tapi tak semua. Hanya sebagian. Itu pun lantaran pemiliknya punya modal.
Pemerintah Kabupaten Bengkalis sama sekali tak melarang becak dayung beroperasi seperti di Jakarta karena alasan tidak manusiawi atas dasar Perda 11 Tahun 1988.
Berkaca pada kondisi sekarang, dengan ragam penyebab, seperti tak ada "regenerasi" pengemudinya, suatu saat becak dayung di Kabupaten Bengalis dapat dipastikan bakal benar-benar punah ranah. Tinggal nama nan tak berbekas.
Untuk itu, sebelum ludes, alangkah baiknya jika dari beberapa yang saat ini tersisa satu atau dua unit di antaranya, dijadikan koleksi Museum Sultan Syarif Kasim Bengkalis.
Dan, juga dipajang di kanan-kiri Balai Kerapatan Sri Mahkota Bengkalis. Menjadi bagian dari Wisma Daerah Sri Mahkota sebagai rumah aspirasi. Tentu setelah diperelok dan dilengkapi sinopsis sejarahnya.
Selain generasi mendatang tahu histori keberadaan becak dayung di ibu kota Bengkalis, juga bisa jadi tempat swafoto atau selfie bagi pengunjung museum atau tamu di Balai Kerapatan. Pasti asyik.
Tiga alinea terakhir hanya urun pendapat. Saran atau urun rembuk yang peluangnya untuk diterima atau tak disetujui, sama-sama memiliki probabilitas 50 persen. Fifty fifty.*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H