Sebagai angkutan umum, pada tahun 1990-an hingga tahun 2020, becak masih menjadi "raja jalanan" di ibu kota Kab. Bengkalis.
Akan tetapi dan meskipun sama-sama didayung, becak di Kabupaten Bengkalis tak sama dengan yang dimaksudkan di KBBI. Juga berbeda dengan becak India, Pakistan, Bangladesh atau Tiongkok yang posisi pengemudinya berada di depan.
Tempat duduk becak di Kabupaten Bengkalis tidak di depan atau belakang. Namun di samping kanan pengemudi seperti bentor atau betor dari Sumatra, khususnya Sumatra bagian utara.
Pada tahun 2005 s.d. akhir tahun 2010-an, misalnya. Becak hias merupakan salah satu "peserta wajib" yang ikut memeriahkan peringatan Hari Jadi Bengkalis yang diperingati setiap tanggal 30 Juli.
Begitu pula saat perayaan Tahun Baru Cina. Ketika Imlek, utamanya pada petang hari tertentu, ratusan becak berseliweran di jalan-jalan utama kota Bengkalis. Membawa warga daerah ini yang merayakannya berkeliling kota. Biasanya sebuah keluarga.
Pokoknya, di dua momen tersebut, penarik becak di tempat ini laksana mendapat "durian runtuh". Kebanjiran order. Dapat rezeki nomplok.
Law of supply and demand (hukum penawaran dan permintaan) dalam ilmu ekonomi berlaku. Pendapatan mereka ikut terdongkrak.
Pun di pelabuhan Bandar Sri Laksamana. Pada jam-jam kapal tiba, baik itu dari Dumai, Selatpanjang, Batam maupun Pekanbaru, berpuluh-puluh penarik becak sudah menanti kedatangan penumpang yang memerlukan jasa mereka.
Kini "raja jalanan" itu mulai terpinggirkan. Masa keemasan tersebut kian hari makin pudar. Tergerus kemajuan. Ditinggalkan masyarakat. Tak lagi menjadi idola seperti dulu.
Semakin banyaknya kendaraan bermotor roda 2 pribadi, becak motor dan layanan tukang ojek, membuat becak dayung "menghilang".