Sedangkan generasi ketiganya dari tahun 1979 hingga tahun 2011. Saat pembangunan yang ketiga lainnya ini, selain diperluas ukurannya, bangunannya mengalami perubahan menjadi semipermanen.
Ketika Operatie Kraai, pada 9 Januari 1949 di Desa Pedekik terjadi perang antara kompeni dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) yang dibantu masyarakat Pedekik, Bantan Tua dan Pasukan Sabilillah dari Selatbaru.
Mengutip Riza Pahlefi dalam bukunya 'Bengkalis Negeri Jelapang Pagi', Pasukan Sabilillah dibentuk Penghulu (Kepala Desa) Selatbaru kala itu, Ahmad Dasuki.
Pertempuran sengit yang terjadi di tengah gulita malam tersebut disebut Perang Pedekik. Pemimpin Pedekik ini adalah (di antaranya) H.R. Soebrantas, yang kala itu berpangkat Letnan Dua.
Selain tembak menembak dan karena posisi antara kedua pasukan sangat pendek, perang jarak dekat pun tak bisa dielakkan.
Pasukan Belanda dengan sangkur terhunus dan TRI bersama rakyat dengan parang di tangan, saling serang-menyerang dan berbalas-balasan untuk bunuh membunuh.
Perang Pedekik ini dikenal juga sebagai Perang Sosoh.
Mengutip educalingo.com, bersosoh artinya berperang; perang. Berperang serang- menyerang dengan hebatnya.
Dalam Perang Sosoh di Pedekik tersebut, Masjid Pedekik menjadi markas Laskar Sabilillah.
Digantinya nama Masjid Pedekik menjadi Masjid Sabilillah, antara lain untuk mengenang peristiwa Perang Sosoh pada 9 Januari 1949, di mana masjid ini juga menjadi salah satu saksi perjalanan sejarah kemerdekaan ibu pertiwi nan abadi.
Yakni, sebagai markas Pasukan Sabilillah melawan tentara Belanda yang ingin merebut kembali kemerdekaan Indonesia melalui Operasi Gagak atau Operatie Kraai di sejumlah wilayah di tanah air, termasuk di Pulau Bengkalis, Kabupaten Bengkalis.Â