Mohon tunggu...
Johansen Silalahi
Johansen Silalahi Mohon Tunggu... Penulis - PEH

Saya adalah seorang masyarakat biasa yang menyukai problem-problem sosial, politik, lingkungan, kehutanan. Semoga bisa berbuat kebajikan kepada siapapun. Horas

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Mungkinkan Penerapan Hutan Vertikal di Kota Medan?

12 Maret 2020   15:56 Diperbarui: 12 Maret 2020   16:02 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pendahuluan

Isu lingkungan mendapat perhatian dunia terutama dalam tujuan pembangunan yang berkelanjutan/Sustainable Development Goals tepatnya pada tujuan nomor 13 yaitu mitigasi perubahan iklim dan dampaknya. Hal ini didasari pada dampak lingkungan yang melanda hampir seluruh dunia dan sebagai bagian dari masyarakat dunia tinggal dalam satu planet bumi yang sama. Beberapa kota di dunia tidak mampu lagi menopang kebutuhan manusia sebagai dampak dari pertambahan penduduk yang cukup pesat dewasa ini.

Kota dianggap sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup layak akibat banyaknya lapangan pekerjaan dan lain-lain. Pertambahan penduduk salah satu faktor yang membuat merosotnya kualitas lingkungan terutama diperkotaan. Pertambahan penduduk menyebabkan permintaan akan tempat tinggal, kendaraan bermotor, lokasi ekonomi, pusat perbelanjaan dan lain-lain. Calaza et al., (2018) menyebutkan bahwa hampir 54 persen populasi dunia tinggal di kota akibat dari urbanisasi yang tidak terencana.

Selain hal diatas, kebijakan pemerintah yang hanya berbasis ekonomi menimbulkan dampak lingkungan yang tidak ramah terhadap lingkungan seperti di perkotaan. Pencemaran lingkungan terutama di perkotaan yang tidak disertai tindakan nyata akan berdampak buruk terhadap segala aspek kehidupan.

Pemerintah daerah dituntut untuk kreatif meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) disatu sisi ditangkap oleh pemerintah daerah dengan pembentukan daerah bisnis baru saja karena dengan pembukaan bisnis baru akan memberikan masukan kepada daerah melalui pajak-pajak yang didapat oleh pemerintah. Kenyataan di lapangan dengan keberadaan daerah bisnis baru emang terbukti meningkatkan pendapatan asli daerah tetapi disatu sisi juga menimbulkan permasalahan lingkungan yang ujung-ujungnya menciptakan biaya tambahan untuk mengatasi dampak kerusakan lingkungan tersebut.

Kecenderungan di negara-negara sedang berkembang, pembangunan pusat bisnis kadang kala kurang mempertimbangkan aspek lingkungan. Salah satu permasalahan lingkungan yang kerap ditemukan di perkotaan adalah polusi udara berupa meningkatnya emisi karbon dioksida.

Penelitian Kucherova dan Narvaez (2018) menemukan bahwa kota-kota bertanggung jawab terhadap keberadaan emisi karbon dioksida sebanyak 75 persen dan data menyebutkan bahwa penyumbang emisi utama di perkotaan adalah kendaraan bermotor dan gedung-gedung. Data diatas sangat sesuai juga dengan keberadaan kota-kota besar yang ada di Indonesia dimana tingkat pencemaran sudah sangat mengkhawatirkan.

Beberapa contoh dampak dari pembangunan yang tidak mempertimbangkan aspek ekologi adalah terjadinya longsor, polusi udara, hujan asam, kualitas udara yang buruk dan sebagainya. Salah satu parameter untuk melihat kualitas lingkungan hidup di suatu daerah adalah dengan pengukuran Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH).

Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara

Data Indeks Kualitas Lingkungan Hidup mencakup pada lingkungan udara, air dan tutupan lahan. Data Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Provinsi Sumatera Utara yang mencakup kualitas tutupan lahan, air sungai dan udara pada tahun 2015 s/d tahun 2019 mengalami kecenderungan (trend) tetap (cukup baik/sedang) (KemenLHK, 2019).

Skor Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Provinsi Sumatera Utara  adalah 64,41 yang berarti cukup baik atau sedang. IKLH Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2018 dibagi menjadi IKU, IKA, dan IKTL dengan rincian sebagai berikut: Indeks Kualitas Udara (IKU) Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2018 sesuai dengan data KemenLHK (2018) adalah 85,72 (Baik), Indeks Kualitas Air (IKA) adalah 63,06 (Baik) dan Indeks Kualitas Tutupan Lahan (IKTL) adalah 49,44 (Sangat Kurang).

Berdasarkan data diatas, Provinsi Sumatera Utara mengalami masalah pada semua aspek walaupun secara data baik pada aspek udara dan air kecuali pada tutupan lahan sangat kurang. Indeks kualitas udara secara umum di Provinsi Sumatera Utara termasuk kategori baik tetapi dalam realitanya beberapa kota-kota besar lainnya di Indonesia mengalami permasalahan sehingga perlu dilakukan aksi nyata oleh pemerintah setempat seperti DKI Jakarta, Banten dan Propinsi Jawa Barat. Indeks Kualitas Udara dilihat dari lima pencemar utama yaitu nitrogen dioksida (NO2), karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), bahan partikel dan oksidan/ozon.

Data Indeks Kualitas Tutupan Lahan di Sumatera Utara termasuk dalam kategori sangat kurang (49,44) sehingga sangat rentan dengan dampak ekologi yang akan dihasilkan. Komponen yang dihitung pada IKTL adalah RTH (Ruang Terbuka Hijau), Kebun Raya, Taman Keanekaragaman Hayati, belukar dan belukar rawa dalam kawasan lindung, belukar dan belukar rawa dalam kawasan hutan dan tutupan hutan.

Salah satu contoh kota yang mengalami permasalahan tutupan lahan jika dilihat dari eksisting hutan kota adalah Kota Medan. Data ini sesuai dengan penelitian Silalahi dan Situmorang (2014) yang menyatakan bahwa luas eksisting hutan kota di Kota Medan hanya 0,41 persen sedangkan yang diamanatkan adalah 10 persen dari total luasan Kota Medan.

Tutupan lahan berupa hutan kota/ruang terbuka hijau adalah salah satu contoh nyata yang masih belum memenuhi amanah undang-undang ditemui di Kota Medan akibat kurangnya komitmen dari pemimpin daerah beserta stakeholders akibat pembangunan yang berorientasi kepada ekonomi tetapi dari segi manfaatnya sangat disambut positif oleh masyarakat Kota Medan. Penelitian Silalahi dan Situmorang (2014) menyebutkan bahwa persepsi masyarakat Kota Medan sangat positif terhadap keberadaan hutan kota terutama pemanfaatan keberadaan hutan kota untuk aktivitas olahraga, diskusi, pengenalan fauna, rekreasi dan lain-lain.

Permasalahan Lingkungan Kota Medan

Kota Medan sebagai kota metropolitan di Indonesia mengalami permasalahan lingkungan yang juga dialami kota-kota besar secara umum. Permasalahan yang sangat sulit diatasi di Kota Medan adalah minimnya hutan kota atau ruang terbuka hijau sebagai akibat dari pembangunan yang cenderung kepada pendekatan ekonomi. Selain hal diatas, beberapa permasalahan pada aspek lingkungan adalah kondisi tutupan lahan yang sangat cepat berubah.

Tutupan lahan yang semula adalah ruang terbuka hijau banyak berubah menjadi rumah toko (ruko), rumah kantor, komplek-komplek perumahan, bangunan-bangunan komersil (Handayani, 2006). Selain hal diatas, permasalahan lingkungan yang sering dihadapi Kota Medan adalah banjir, sampah yang tidak teratasi dengan baik, polusi udara akibat kemacetan lalu lintas, sungai tercemar seperti bangkai hewan (babi), suhu panas dan lain-lain. Permasalahan diatas dari aspek keterbatasan lahan dan minimnya kondisi eksisting hutan kota salah satunya dapat diatasi dengan hutan vertikal.

Deskripsi dan Pengertian Hutan Vertikal

Goud et al., (2018) mendefinisikan hutan vertikal sebagai hutan kecil yang dibangun di atas bangunan yang menggunakan lebih sedikit ruang dan memberikan udara bersih dalam jumlah besar dari tanaman yang ditanam. Keberadaan tanaman yang ditanam tentunya membuat gedung atau rumah lebih menarik dan ramah lingkungan dan biasanya ditanam pada media tanah seperti konsep hidroponik.

Konsep hutan vertikal digagas oleh arsitek berkebangaan Italia, yaitu Stefano Boeri dengan rancangannya yang sangat terkenal dan indah di Kota Milan Italia pada tahun 2014 yang bernama Bosco Verticale dengan tujuan mengurangi polusi udara di perkotaan. Berdasarkan referensi ilmiah yang ada, dimungkinkan sangat layak diterapkan di kota-kota besar di Indonesia dengan modifikasi jenis-jenis tanaman sesuai dengan peruntukannya, misalnya jenis tanaman yang sangat baik dalam menyerap karbon dioksida, debu, dan lain-lain.

Contoh Kasus Penerapan Hutan Vertikal

Hutan vertikal kedepannya adalah salah satu alternatif dalam rangka mencapai SDGs dalam rangka mitigasi perubahan iklim dengan model perumahan yang berkelanjutan terutama di kota-kota besar akibat terbatasnya lahan. Contoh hutan vertikal yang sangat terkenal berada di pusat Kota Milan yang mampu menampung sebanyak 900 pohon dan lebih 20.000 tanaman (semak dan bunga) dibangun bersamaan dengan dua menara tempat tinggal setinggi 76 meter dan 110 meter (Kucherova dan Narvaez, 2018).

Dampak yang dirasakan dari hutan vertikal adalah menyerap karbon dioksida dan debu, menghasilkan oksigen dan  membentuk iklim mikro. Dewasa ini kecenderungan hutan vertikal selain di pusat Kota Milan, sudah diterapkan juga di Swiss, Belanda, Belgia bahkan di China. China salah satu negara yang menerapkan hutan vertikal pertama di Asia tepatnya di Nanjing Towers. Hal ini sesuai dengan penelitian Silalahi dan Situmorang (2014) yang menyatakan bahwa akibat keterbatasan lahan dan pertambahan penduduk, model hutan kota yang cocok di Kota Medan adalah model tipe pemukiman dengan penerapan hutan kota privat dengan konsep hutan vertikal sangat cocok diterapkan di Kota Medan.

Beberapa studi menyatakan seperti Dobss et al., (2018) yang menyatakan bahwa hutan kota yang berada diperkotaan dapat memberikan jasa ekosistem yang berkaitan dengan kesejahteraan warga dan menjaga kualitas lingkungan perkotaan dari dampak buruk lingkungan. Salah satu contoh hutan kota di Kota Medan yang sangat diminati masyarakat adalah Hutan Kota Taman Beringin.

Penelitian Silalahi dan Situmorang (2014) menemukan bahwa masyarakat Kota Medan sangat positif terhadap keberadaan Hutan Kota Taman Beringin terutama untuk aktifitas olahraga, rekreasi, pengenalan fauna, diskusi, tempat makan siang, dan lain-lain.

Hutan Vertikal Dalam SDGs

Hutan kota/ruang terbuka hijau sangat mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/ Sustainable Development Goals (SDGs) terutama dalam beberapa aspek. SDGs ini adalah sebagai salah satu komitmen dari Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai solusi untuk menjaga planet bumi dan kemaslahatan manusia. Indonesia sebagai salah satu bagian dari masyarakat dunia yang juga memiliki tanggung jawab dalam mengatasi kerusakan lingkungan.

Salah satu solusi dalam mengatasi masalah dunia (perubahan iklim) adalah pembangunan hutan vertikal di perkotaan. Hutan vertikal di perkotaan sangat cocok diterapkan di daerah perkotaan yang memiliki kendala di keterbatasan lahan sebagai akibat mahalnya harga lahan. Hutan kota/ruang terbuka hijau berdasarkan banyak penelitian dapat dikatakan sebagai benteng pertahanan dalam mengatasi permasalahan lingkungan di perkotaan. Hutan kota juga dalam perkembangannya dapat mengatasi permasalahan dunia yang tertuang dalam SDGs.

Beberapa aspek yang dapat didukung dalam pembangunan hutan kota atau ruang terbuka hijau berupa hutan vertikal menurut Borelli et al., (2018) adalah tujuan ke-3 (Good health and well-being), tujuan ke-8 (decent work and economic growth), tujuan ke-10 (reduced inequalities), tujuan ke-11 (sustainable cities and communities) dan tujuan ke-16 (peace, justice and strong institutions). Keberadaan hutan kota maupun ruang terbuka hijau sangat berdampak kepada banyak aspek berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu sehingga layak dijadikan solusi dalam mengatasi permasalahan lingkungan diperkotaan dengan konsep hutan vertikal.

Penutup

Hutan vertikal menjadi alternatif dalam rangka mengatasi permasalahan lingkungan yang berada di perkotaan. Pemerintah dengan stakeholders dapat membuat kebijakan selain penambahan luasan hutan kota berupa pembuatan hutan vertikal terutama kepada para pengembang perumahan dan masyarakat dalam rangka mitigasi perubahan iklim. Pemberian insentif yang menarik berupa pengurangan pajak terhadap pengembang maupun masyarakat yang menerapkan hutan vertikal menjadi salah satu cara untuk merangsang penerapan kebijakan tersebut.

Hutan vertikal menurut beberapa penelitian dapat menciptakan iklim mikro, menyerap karbon dioksida, debu dan menghasilkan oksigen. Dibutuhkan komitmen yang tinggi dari pemerintah daerah dan stakeholders dalam hal ini untuk mengatasi permasalahan lingkungan melalui pembuatan kebijakan hutan vertikal di kota Medan. Mari kita kawal pemerintah daerah menyudahi kebijakan-kebijakan yang tidak berbasis lingkungan dewasa ini karena lebih banyak mudarat yang didapat daripada keuntungan yang diperoleh.

(* Sudah pernah terbit di Harian Analisa 20 Januari 2020)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun