Mohon tunggu...
Johan Rio Pamungkas
Johan Rio Pamungkas Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pembaca dan Penulis. Suka Sastra dan Budaya. http://johanriopamungkas.tumblr.com/

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Perjalanan Menuju Padang Rumput yang Baru (Road To New Wembley)

13 September 2010   23:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:16 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wembley berasal dari derivasi kata Inggris kuno "Wemba" dan "Lea" yang artinya padang rumput yang terbuka. Daerah di London utara tersebut tadinya adalah sebuah hutan yang kemudian ditebang untuk dijadikan pedesaan di bukit yang akhirnya dinamakan Wemba Lea. Menurut para ahli sejarah, pada tahun 1543 hanya ada enam rumah atau dengan kata lain enam keluarga di daerah tersebut.

Namun, lebih dari 400 tahun kemudian tepatnya 467 tahun kemudian, daerah tersebut kini merupakan salah satu daerah aktivitas utama warga London khususnya dan Inggris pada umumnya. Apalagi di pertengahan Juli tahun 2011 nanti daerah tersebut bisa dipastikan akan padat oleh sebuah gelaran akbar. Daerah itu akan melangsungkan sesuatu gala pertandingan para gladiator modern; Final Liga Champions Eropa edisi ke 56 musim kompetisi 2010-2011.

Tepat pukul 01.45 WIB seluruh gladiator tersebut akan memulai perjalannnya. Dari mulai sang juara bertahan Si Ular dari kota Milan;Inter Milan, sampai para debutan macam Tottenham Hotspurs, Hapoel Tel Aviv dan Braga akan bertarung untuk memperebutkan jalan ke arena final digelar.

Liga Champions memang bukan sekadar ajang sembarangan walau dimainkan di tengah pekan. Berbeda dengan cup competitions domestik yang merupakan ajang kelas dua di dalam negeri, Liga Champions bisa dibilang merupakan altar tertinggi dunia sepakbola. Para juara Champions pun selalu mempunyai cerita tersendiri. Tidak usah terlalu mundur ke belakang di awal-awal masa Liga Champions dimulai, cukup melihat dua tahun ke belakang. Mari kita tengok sang pemegang Piala Champions dua tahun belakang tersebut; Inter Milan dan Barcelona. Inter Milan pada musim lalu ditukangi oleh Sang Spesial, Jose Mourinho, yang memainkan sepakbola fisik dan bertahan namun mematikan. Para penikmat sepakbola indah, luwes dan menyerang tentu saja mengkritik sepakbola yang mengedepankan fisik dan pertahanan ini, namun segala macam kritikan maupun saran-saran agar Nerazzura memainkan sepakbola menyerang dengan materi pemain yang memang memungkinkan hal tersebut digubris Mourinho, yang justru menghasilkan Piala Champions dalam genggaman.

Sebelumnya pada musim 2008-2009, Barcelona memainkan sepakbola khayalan, sebuah seni sepakbola fantasi yang diidamkan oleh banyak orang. Sepakbola yang terus menerus menyerang, indah dan berkreasi. Dipuji setinggi langit dan bahkan menghasilkan sebuah rekor baru dalam pencapaian gelar yakni enam gelar dalam setahun, yang Inter kemudian tidak bisa menyamainya karena sudah gagal dalam ajang piala Super Eropa. Selain para juara, bisa kita tarik pelajaran juga dari para debutan di sini. Bagaimana mereka mencoba minimal untuk menjadi kisah Cinderella yang indah ketika bisa berdansa dengan pangeran tapi harus pergi ketika jam 12 tengah malam tepat harus segera pergi meninggalkan istana. Para debutan ini berusaha sangat minimal untuk meraihnya untuk mencoba mengalahkan para jawara-jawara Eropa Daratan.

Akhirnya kita para warga Nusantara yang membentang dari Sumatra sampai Papua hanya bisa melihatnya melalui layar kaca atau membahas pertandingan di warung kopi, tempat kerja dan dengan tetangga atau yang lebih parah saling ejek jika kita mengetahui tim kesayangan teman kantor kita mengalami kekalahan sedangkan tim kesayangan kita menang. Kalau kata Letnan 1 Soerono yang diperankan Zumi Zola dalam film "Merah Putih 1", "Manado perang dengan Jawa, pribumi dengan priyayi, siapa yang menang ? siapa yang menang !!!??? Belanda..." Ya, pada akhirnya sehebat apapun kita berperang kata-kata dengan teman kita, sehebat apapun tim kesayangan kita menangguk kemenangan, pada hakikatnya kita orang Indonesia hanyalah menjadi penonton belaka. Tapi, semoga dari pertunjukan sepakbola Eropa ini mari tarik pelajaran darinya, pelajaran tentang pertandingan sehat, pelajaran tentang disiplin ketat, pelajaran tentang semangat kemudian berusaha agar diri kita menjadi pribadi yang lebih baik dan bahkan lebih jauh, sepakbola kita menjadi lebih baik dan semakin berkembang ke seluruh lini kehidupan negara kita....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun