Mohon tunggu...
Johan Rio Pamungkas
Johan Rio Pamungkas Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pembaca dan Penulis. Suka Sastra dan Budaya. http://johanriopamungkas.tumblr.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menemukan Ibu (?)

1 Mei 2010   16:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:28 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cahaya bulan seperti jemari ibu yang mengusap anak-anak rambutku, yang memelukku dalam dingin dan membelaiku dalam tangis

Sepotong sajak yang pagi tadi kutulis dikertas bekas bungkus gorengan itu masih melekat dalam benakku. Ibu, batinku berulangkali memanggil nama itu. Ada sebuah kepedihan yang aneh, seperti anehnya merasa kehilangan sesuatu jika sesuatu itu tak pernah kita miliki. Bagaimana mungkin merasa kehilangan kalau kita tidak pernah memiliki ?

Begitulah, setiap kali aku mendengar kata “Ibu”, rasa kehilangan yang aneh itu segera menyergapku. Aku kehilangan seorang ibu tapi aku juga tak pernah merasa memiliki seorang ibu. Aku merindukannya sementara aku pun tak pernah bertemu dengannya. Sehingga aku tidak tahu pasti apa arti kata “ibu”.

Seringkali aku berpikir bahwa aku adalah Adam yang lahir tanpa ayah dan ibu. Karena satu-satunya orang yang aku kenal sebagai keluarga hanyalah Pak Seno. Penjaja teh botol itulah yang wajahnya selalu menyapaku sebelum tidur. Seringpula ia berkisah, kisah tentang jaya nusantara lama, atau berdongeng tentang panah-panah sakti arjuna, bercerita tentang bawang merah dan bawang putih, hingga suatu waktu ketika ia berbicara tentang Malin Kundang, kurasakan air mataku mengalir.

“Kasihan Ibu itu, kebaikannya dikhianati anaknya sendiri. Anak yang durhaka itu pun dikutuk jadi batu…”cerita Pak Seno malam itu.

“Tapi Pakde, apa ada ibu yang tega mengutuk anaknya menjadi batu ?”

“Ada Nduk, karena anaknya luar biasa durhakanya seperti Malin yang durhaka itu.”

“Pakde, apa saya anak yang durhaka ?”

Pak Seno menatapku. Aku tahu ia terkejut.

“Kenapa ibuku tidak pernah datang kesini dan menjengukku, apakah aku telah durhaka kepadanya, Pakde ?”tanyaku yang semakin deras mengucurkan air mata.

Pak Seno mengusap air mataku, sementara ia sendiri mulai menangis. Akhirnya saat itu, cerita tentang diriku pun mengalir darinya. Sebuah cerita yang kemudian menjadi sembilu bagi hatiku.

“Kamu harus tabah ya Nduk !”nasihat Pak Seno waktu itu.

Ya, aku harus tabah menerima kenyataan ini. Bahwa aku adalah anak yang dititipkan ketika bayi, aku adalah anak yang dibuang, aku adalah anak haram yang tumbuh dalam belaian jemari kasar pengasuhku, Pak Seno.

Kemudian, setelah itu saat malam aku tidak bisa lagi terpejam, sulit bagiku untuk tidur nyenyak. Dalam tidur aku mencari wajah ibu. Aku ingin merasakan jemari lembutnya membelai tubuhku seperti dalam sajak itu. Tapi yang aku dapati adalah wajah bengis seorang wanita yang dengan tangannya melempar tubuhku, membiarkannya terkapar, tanpa setetes air mata pun mengalir di pipinya !

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Senja hampir habis ketika aku menyusuri jalan sempit menuju rumah. Bau pengap dan busuk selokan adalah sapaan akrab yang selalu menyambutku. Masih banyak koran yang belum terjual hari ini, ya, karena kini semakin banyak orang yang membaca berita lewat internet. Kalau aku hitung-hitung paling aku hanya dapat untung tiga ribu perak. Tapi, Alhamdulillah lah, setidaknya aku bisa membeli nasi dengan lauk tempe-tahu atau dua tempe atau dua tahu. Yang jelas aku tidak ingin lagi bermimpi lagi tentang ibu, tentang tangan yang melemparku atau tentang apapun yang berkaitan dengan ibu.

Aku ingin kembali normal, menjajakan koran, bolos sekolah dan tertawa liar dan lepas di tepi jalan bersama sahabat-sahabatku di jalanan, bersama saudara senasib sepenanggungan di kolong jembatan. Tapi mendadak langkahku terhenti. Di depan rumah banyak orang berkerumun, sebagian memakai kerudung dan berpeci. Kurasakan jantungku berdegup sangat cepat. Apa yang terjadi ? batinku.

“Tong…Tong…”Engkong Haji Naim membangunkanku, wajah simpatiknya membuat aku heran.

Apa yang terjadi?batinku sambil menatap kerumunan orang yang menatapku. Segera aku edarkan pandang, menatap mengelilingi seluruh ruangan yang kini sesak dan aku pun terhenyak. Pak Seno, tubuh lelaki setengah baya itu kini terbungkus kain ! Segera aku berhambur mendekatinya, berusaha membuka semua kain yang membungkusnya hingga sepasang tangan menahanku, lalu menarikku ke belakang. Aku hanya bisa meronta, menjerit-jerit histeris setelah itu kembali hanya gelap yang aku temui.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Suara Adzan sayup-sayup mulai lenyap ditelan angin. Sementara air mataku belum habis ketika satu persatu peziarah mulai pergi. Di atas tanah merah itu aku terisak. Tanganku mencakar-cakar seolah inginmenggali dan membawa Pak Seno kembali ke rumah. “Tuhan, aku tidak pernah kehilangan seorang ibu karena aku tidak pernah memilikinya, tapi kini aku benar-benar kehilangan...”rintihku setengah menjerit.

Ketika itulah aku mendengar dering handphone. Seorang wanita dengan baju hitam-hitam berpayung berusaha tersenyum sambil berusaha mematikan handphonenya. Lama aku menatap wanita itu, cukup cantik meski sebagian kepalanya tertutup kerudung hitam. Dan rasanya aku mengenalnya.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Di rumah Pak Seno segalanya semakin menjadi sunyi. Aku tahu wanita itu terus memperhatikanku dalam kegelisahannya. Tapi siapa peduli ? Aku sedang berduka untuk seseorang yang rela membiarkan dirinya terluka untukku, untuk seseorang yang...

“Hm...boleh saya bicara?” ujar wanita itu dengan suara yang berat. Ia telah melepaskan kerudung hitam dan kacamata hitamnya. Seperti dugaku, aku memang mengenalnya. Wajahnya sering kulihat di layar kaca, di televisi, di beberapa sinetron, dan di infotainment.

“Apakah kamu anak kandungnya Pak Seno?” wanita itu bertanya kepadaku.

Aku menggeleng lemah. Ya, Pak Seno memang bukan ayahku. Ia bukan siapa-siapaku. Seperti aku, beliaupun hidup sebatang kara.

“Kalau begitu, apakah kamu keponakannya atau cucunya?” tanya wanita itu lebih lanjut.

Sama seperti tadi, kali ini pun aku menggeleng. Aku tak tahu kemana arah pembicaraan wanita itu.

“Hm, sebelumnya saya minta maaf, apakah Pak Seno pernah bercerita padamu tentang seorang bayi yang dititipkan padanya, kira-kira lima belas tahun lalu?” pertanyaan ketiga dari wanita tersebut yang cukup menghentakku.

Aku sangat terkejut mendengar pertanyaan itu. Lama kutatap wajah wanita itu kemudian akhirnya aku bisa berkata,”Darimana Mbak, tahu ?”

Wajah wanita itu berubah yang semula tenang dan cukup dingin menjadi kikuk serta bingung. Seperti ada sesuatu yang berat yang hendak diucapkannya, tetapi wanita itu tampaknya masih ragu-ragu akan mengatakannya atau tidak. Aku merasakan itu, aku bisa merasakan degup jantungnya yang berdegup sangat cepat.

“Sayalah wanita yang menitipkan bayi itu lima belas tahun lalu...” kalimat itu meluncur begitu cepat dari bibirnya yang bergetar. Kali ini jantungkulah yang berdegup sangat cepat. Inikah wajah ibu yang selalu kucari dalam setiap mimpi-mimpiku? Inikah seorang ibu yang dengan jemari lembutnya membelaiku lalu menciumiku dengan gemas? Yang matanya selalu menatapku dengan tatapan teduh dan penuh perhatian ? batinku berulang kali sambil menatap wajah wanita itu.

“Ehem, maaf Dik, apa Adik tahu tentang bayi yang ibu titipkan pada Pak Seno itu?”pertanyaan lanjutan dari wanita itu membuyarkan pertanyaan yang sedang melayang-layang di atas pikiranku.

“Bayi yang dulu Ibu titipkan itu...”sahutku bergetar, “Sekarang ada di depan Ibu...Bayi yang dulu Ibu buang itu kini sedang menatap Ibu...Bayi yang dulu Ibu lempar tanpa sesal itu kini sedang berbicara dengan Ibu...Bayi yang dulu Ibu lahirkan lalu Ibu matikan harapan hidupnya itu kini sedang duduk dan diam-diam mengutuk semua yang pernah Ibu lakukan...Bayi yang dulu Ibu terlantarkan itu kini...”

Wanita itu segera memelukku. Air matanya sampai gerimis mengguyur pipiku. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya ingat sepotong sajak yang pernah kutulis. Apakah aku bahagia?Entahlah. Dan hari ini, setelah dua tahun aku diajak wanita itu tinggal di rumahnya yang megah, aku masih belum mengerti arti kata ibu.

“Saya tidak akan pernah memaksamu memaafkan semua yang pernah saya lakukan dan mengakui saya sebagai ibumu. Tetapi saya akan sangat bahagia seandainya kamu mau memanggilku ‘Ibu’.” ujar wanita itu pagi tadi ketika kami sama-sama sarapan.

Sementara aku hanya membatin, ‘Apakah seorang ibu cukup disebut ibu hanya dengan melahirkan tanpa kemudian merawat dan menyayanginya?Apakah seorang ibu layak disebut ibu setelah dengan mudahnya ia meminta maaf setelah lima belas tahun membuang anaknya? Aku tidak pernah kehilangan seorang ibu karena aku memang tidak pernah memilikinya...”

Kemudian, hari-hari berikutnya, aku tetap memanggil wanita itu, “Tante...”.

Srengseng Sawah, 12 Januari 2010/26 Muharam 1431 H.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun