Mohon tunggu...
Johan Rama
Johan Rama Mohon Tunggu... -

"Hendak menggaruk tidak berkuku"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sebelum Mencoblos, Samakan Persepsi Soal "Caleg Baik"!

26 Maret 2014   01:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:29 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tanpa mengesampingkan takdir tuhan, di era demokrasi ini nasib kita sebagai WNI amat ditentukan oleh gerak perpolitikan nasional. Artinya, suka tak suka, kehidupan kita di tahun-tahun mendatang sedikit banyak akan dipengaruhi oleh tindak-tanduk para pemenang pemilu legislatif nanti.

Di satu sisi kita patut berlega hati, sebab hasil pemilu 2014 bukanlah suratan takdir yang hanya bisa diterima pasrah. Dalam pemilu ini kita justru berkesempatan untuk memilih sendiri sosok-sosok pemimpin negeri, dan dengan begitu memilih sendiri jalur nasib yang akan kita tempuh.

Tapi di sisi lain, pantas juga jika kita merasa waswas. Nyatanya, sejak reformasi 1998 lalu pemilu belum berhasil melahirkan pemimpin yang mampu mendewasakan taraf kehidupan bangsa. Alih-alih mewujudkan harapan baik publik, kelihatannya pemilu malah kerap menjadi alat para politisi “jahat” untuk mengeruk harta dan kuasa pribadi semata. Mengingat buruknya sejarah politik nasional itu, apakah sekarang kita masih punya alasan untuk mengharap perubahan lewat pemilu 2014?

Menurut majalah Tempo alasan untuk berharap itu masih ada, meskipun sedikit. Setelah menjalankan berbagai jajak pendapat, observasi lapangan, sekaligus diskusi dengan tim ahli, Tempo menemukan kenyataan bahwa masih ada orang-orang “baik” yang tercatat dalam daftar caleg kita (Tempo, “Bukan Caleg Dalam Karung”, 24 Maret 2014). Dari sekitar 6000 caleg yang berkompetisi di pemilu nanti, masih ada 11 “caleg baik” yang layak disemati harapan publik.

Taufik Basari (NasDem), I. G. Agung Putri Astrid Kartika (PDIP), Maman Imanulhaq (PKB), Binny Bintarti Buchori (Golkar), Nur Amalia (NasDem), Sofyan Tan (PDIP), Intim Solachma (PDIP), Idham Arsyad (PKB), Josrizal Zain (Demokrat), La Ode Ota (PDIP), dan Ali Husin Nasution (PKS) adalah nama terang dari “caleg-caleg baik” tersebut.

“Caleg-caleg baik” ini datang dari beragam latar belakang dan partai politik. Sekalipun begitu, ada karakter tertentu yang membuat mereka terbilang sama-sama “baik”. Mereka adalah pribadi yang menjunjung tinggi HAM, memiliki semangat pro-lingkungan, serta berkomitmen penuh untuk melawan korupsi. Dan yang terpenting, “caleg-caleg baik” ini bukan pengumbar jargon semata. Masing-masingnya memiliki riwayat kerja pengabdian yang telah terbukti berkontribusi positif bagi kehidupan publik luas.

Taufik Basari, misalnya. Aktivis HAM ini telah berkali-kali melakukan advokasi terhadap sesama orang “baik” yang mengalami perlakukan buruk dari rezim kekuasaan korup. Pembelaannya terhadap Bibit-Chandra terkait kriminalisasi pimpinan KPK adalah contoh kasus yang populer. Di lain pihak, ada pula Nur Amalia, advokat dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang telah berhasil membela hak-hak masyarakat adat di wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Ada lagi Idham Arsyad, aktivis di Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang berani menengahi sengketa lahan antara petani dengan perusahaan, dengan keberpihakan yang jelas pada masyarakat desa.

Dengan demikian, wacana yang dilontarkan Tempo tentang “caleg-caleg baik” ini menjadi tidak penting jika dibaca sebagai sebuah “promosi”. Ia justru bernilai sebagai sebuah dorongan, agar kita tak terlanjur putus asa terhadap nasib bangsa. Meski tak banyak, di luar sana masih ada orang-orang “baik” yang bisa dipercaya untuk merancang masa depan Indonesia. Hanya saja, kita sebagai pemilih juga harus bisa memastikan bahwa kita tak lagi bodoh. “Caleg baik” adalah caleg yang reputasinya bersih dan punya segudang pengalaman kerja nyata. Kalau cuma bisa bagi-bagi uang dan sembako saat kampanye, bukan “caleg baik” itu namanya, tapi “caleg tragis”. Demi penguatan masa depan Indonesia, persepsi ini tentu harus ditegakkan benar!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun