Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengatakan bahwa penderitaan warga miskin di Jakarta lebih berat dari warga kaya. Hal ini disebabkan karena biaya air untuk keperluan sehari-hari, warga harus merogoh kocek yang tidak sedikit. Apalagi jika dibandingkan dengan penghasilan mereka setiap bulan.
Berikut adalah kutipan pernyataan Gubernur Jakarta Anies Baswedan dalam sebuah artikel di Kompas.com
"Its more expensive for poor family than wealthy family. Cost of living air lebih mahal. Karena itu, menjadi orang miskin di Jakarta itu lebih mahal dibandingkan menjadi orang makmur. Ini fakta. Makanya kenapa kita ngotot dengan program ownership rumah, program DP 0 persen dan lain-lain. Kita mendorong orang untuk punya rumah. Bukan ada rumah tapi sewa," kata dia.
Dari pernyataan tersebut jelas bahwa dia baru menyoroti beban biaya air bersih. Dari artikel yang sama saya mendapat info bahwa di Jakarta Barat dan Jakarta Timur setidaknya dibutuhkan biaya sebesar Rp 20.000 per hari untuk memenuhi kebutuhan air bersih.
Jika fokus pada masalah tersebut, menurut saya yang harus diperbaiki adalah tata kelola distribusi air bersih di Jakarta. Solusi down payment 0 persen untuk warga miskin adalah solusi yang kurang membumi. Bahkan cederung agak kurang nyambung dengan permasalahan air bersih.
Saran saya sebaiknya bapak berkonsultasi dengan pakar tata kelola air di Universitas ternama di Indonesia. Lakukan penelitian dan uji lapangan dan cari solusi terbaik. Buat program dan anggaran biayanya secara detail dan laksanakan program dengan segera.
Bilamana perlu bapak bisa bekerjasama dengan kementrian PUPR. Siapa tahu justru bapak akan mendapat support lebih dari kementrian PUPR. Misalnya bapak diberi anggaran lebih untuk perbaikan tata kelola air bersih. Mungkin juga bapak dikenalkan pada ahli-ahli bangunan dan tata kota yang selama ini bekerjasama dengan kementrian PUPR.
Bila memaksakan program DP 0 persen bagi saya bapak hanya mengejar realisasi janji politik yang belum tentu menyelesaikan permasalahan di akar rumput.
Bahkan dari pemberitaan sebelumnya justru biaya sewa rumah susun sederhana naik 20 persen. Hal itu sudah pasti semakin memberatkan warga yang kurang mampu yang tinggal di rusun sewa sederhana. Sumber
Dibenak warga secara umum bila mendengar kata DP 0 persen yang dibayangkan tentu adalah rumah tapak. Dengan harga tanah yang sangat tinggi di Jakarta, berapa lama rumah tersebut akan lunas dibayar oleh warga bila pendapatan mereka kurang dari 1 juta per bulan? Bukankah hal itu justru semakin memberatkan beban hidup mereka? Sudah biaya air mahal, ditambah lagi dia harus membayar cicilan rumah.
Kalau dibuat rumah susun, sudah pasti setiap bulan ada biaya perawatan gedung. Untuk warga kurang mampu seharusnya rumah susun itu dibantu pemerintah untuk perawatan maupun renovasi. Sehingga warga kurang mampu cukup membelinya dan membayar air dan listrik saja. Hal itu akan sangat membantu warga. Terlebih jika bapak tidak ingin rumah susun itu disewakan seperti yang dilakukan gubernur pendahulu bapak yaitu pak Ahok.
Prioritas kedua yang seharusnya bapak kejar adalah penciptaan lapangan kerja baru dengan penghasilan minimal UMR. Upayakan warga dengan penghasilan kurang dari 1 juta untuk menempati posisi tersebut. Sebagai pemimpin tertinggi Jakarta seharusnya bapak tidak sulit untuk mencari detail data warga dengan penghasilan kurang dari 1 juta per bulan.
Bila penghasilan warga yang dibawah 1 juta perbulan itu berhasil dinaikkan menjadi minimal UMR DKI Jakarta, niscaya hal itu lebih bermanfaat dan memudahkan bapak dalam melaksanakan program-program dalam janji politik bapak. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H