Saya kira predikat surganya usaha rintisan atau biasa disebut startUp sudah valid untuk disematkan pada negara kita. Hal tersebut juga diakui oleh pendiri Gojek, Nadiem Makarim dalam sebuah pernyataan dalam acara The Economist Indonesia Summit 2018 di Hotel Shangri La , Jakarta. (sumber)
Nadiem mengatakan bahwa Go-jek, perusahaan rintisan yang dia buat tidak akan mampu bertahan kalau tidak dibangun di Indonesia. Nadiem juga memprediksi, apabila Go-Jek didirikan dan beroperasi di Amerika Serikat, maka paling lama mereka hanya bisa bertahan selama enam bulan. Pada kenyataannya Go-Jek yang didirikan tahun 2010 itu sudah 8 tahun bertahan.
 Bahkan bisnisnya terus berkembang dan kini sudah memiliki 18 jenis layanan. Mulai dari jasa pengantaran, jasa pengiriman, belanja, hingga bersih-bersih rumah bahkan pijat pun ada.
Apakah bisnis go-jek berjalan mulus tanpa hambatan? Saya kira tidak demikian. Mengingat sempat terjadi gesekan-gesekan di lapangan yang disebabkan berbagai hal. Salah satu contohnya adalah masalah regulasi perizinan.
"Seperti dikabarkan sebelumnya, pada Kamis (17/12/2015) malam Kemenhub menerbitkan Surat Pemberitahuan Nomor UM.3012/1/21/Phb/2015 yang isinya melarang kendaraan bermotor roda dua milik pribadi dijadikan angkutan umum." (sumber)
Disinilah peran pemerintah dibawah kepemimpinan Bapak Jokowi untuk menengahi semua pihak. Di satu sisi masyarakat berkeberatan jika layanan ojek online dilarang karena dinilai sangat membantu.Â
Selain itu ada banyak orang yang menggantungkan hidupnya dari bermitra dengan perusahaan ojek online. Disisi yang lain, ada perusahaan yang lebih lama eksis mulai tergerus bisnisnya. Bahkan terancam merugi karena pengahasilan berkurang sedangkan biaya yang harus dikeluarkan untuk izin dan sewa terus meningkat. Belum lagi soal biaya operasional.
Apakah hanya berlaku untuk perusahaan rintisan digital?
Kita ambil contoh rintisan perusahaan kuliner yang didirikan oleh Rex Marindo dan kawan kawan. Perusahaan itu bernama Cita Rasa Prima Group. CRP Group adalah perusahaan rintisan yang menaungi beberapa merek usaha kuliner. Debut pertama CRP Group dimulai sejak tahun 2013.
Dengan modal Rp 100 juta, mereka nekat meninggalkan bisnis konsultan dan banting setir menjadi tukang nasi goreng. "Waktu itu pikiran kami sederhana. Makanan apa yang pasti orang Indonesia makan. Yang terlintas pertama kali ya nasi goreng," kata Rex.
Kini perusahaan ini sudah memiliki 115 gerai diseluruh Indonesia. Dan 70% dari gerai tersebut adalah Warunk Upnormal. Satu cabang Warung Upnormal biaya franchisenya bisa mencapai lebih dari Rp 4 miliar. Anda bisa bayangkan sendiri kira-kira berapa omset yang didapatkan oleh perusahaan yang belum ada 10 tahun berdiri.
Indonesia memang market yang menggiurkan dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara, dan juga semakin menjamurnya smartphone dan koneksi internet di seluruh Indonesia. Hal ini menjadi daya tarik yang kuat untuk berinvestasi di Indonesia.
Namun sebagai rakyat Indonesia, kita tidak boleh lengah dalam persaingan pasar yang semakin terbuka. Jika tidak pandai bersaing, kita hanya akan menjadi konsumen dan bukan produsen yang menghasilkan keuntungan yang maksimal untuk negeri kita.Â
Kita juga harus menjaga iklim investasi ini tetap kondusif dengan menjaga persaudaraaan, solidaritas dan toleransi. Apabila negara kita banyak kerusuhan, keributan, perpecahan yang ada hanyalah kesengsaraan. Bangunan bangunan megah simbol ekonomi maju akan menjadi puing-puing. Serta kota-kota kita yang cantik akan menjadi kota mati.
Mari bersatu padu, bangun Indonesia demi masa depan kita dan anak cucu kita hingga kiamat nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H