Mohon tunggu...
Y. P.
Y. P. Mohon Tunggu... Sales - #JanganLupaBahagia

Apabila ada hal yang kurang berkenan saya mohon maaf, saya hanya orang biasa yg bisa salah. Semoga kita semua diberikan kesehatan dan kesejahteraan. Aamiin.

Selanjutnya

Tutup

Money

Layanan Prima Namun Kinerja Keuangan Memburuk

6 Agustus 2017   14:43 Diperbarui: 6 Agustus 2017   14:57 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oke sedikit OOT dari trending topic yang banyak ditulis belakangan ini. Sebab saya sudah bosan nulis yang bertemakan penurunan daya beli. Ujung-ujungnya dikomentari dengan bumbu - bumbu politik. Saya mau bahas tentang berita trending yang lain dari sudut pandang saya secara pribadi. Berita tentang Singapore Airlines (SIA) yang menawarkan opsi cuti diluar tanggungan kepada pegawainya.

Dilansir dari businessinsider diberitakan bahwa sebagian crew cabin Singapore Airlines harus menggantung seragam mereka efektif per September 2017 selama 3 bulan lamanya. Berapa sih potensi kerugiaannya secara angka? Kalau dilihat di straitstimes seorang junior cabin crew bisa menghasilkan sekitar 4.000 dollar dalam sebulan. Berarti kalau crew cabin tersebut harus cuti tanpa gaji selama 3 bulan dia berpotensi kehilangan 12.000 dollar dalam 3 bulan mendatang. Nah bila itu sampai terjadi mungkinkah akan menurunkan daya beli disana? Ah kenapa jadi bahas daya beli lagi ya?

Btw, berdasarkan peringkat Skytrax Siangpore Airlines (SIA) tahun 2017 berhasil naik satu peringkat dari peringkat 3 menjadi peringkat 2 persis dibelakang Qatar Airways. Adalah sebuah prestasi yang bagus bukan? Tentu tidaklah mudah untuk menaikkan peringkat pada persaingan global antar perusahaan penerbangan. Hanya perlu diteliti lebih lanjut, berapa besar "pengorbanan" yang terjadi untuk menaikkan peringkat ini. 

Saya agak kurang setuju jika penurunan prestasi keuangan ini dikait-kaitkan dengan pesawat LCC atau Low Cost Carrier karena pada dasarnya Singapore Airlines ini memiliki anak usaha Scoot yang sudah beroperasi sejak 2012. Sedikit bergeser kita lihat juga Garuda Indonesia yang tahun 2017 ini berhasil naik peringkat dari 11 menjadi 10. Berdasarkan berita kompas.com semester 1 tahun 2017 Garuda Indonesia rugi Rp 3,66 Triliun. Terlepas dari kasus mantan dirut Garuda yang sebelumnya diberitakan, ini menjadi tantangan berat bagi Dirut Garuda yang baru yang juga mantan bankir yaitu Pahala Mansury. Garuda juga memiliki anak perusahaan bernama citilink yang melayani penerbangan segmen LCC.

Memang bisa diteliti lebih dalam masing-masing Airlines akan memberikan jawaban yang berbeda mengapa mereka merugi di tahun ini, disaat peringkat layanan mereka justru naik. 

"Kalau dilihat dari profit, semester I belum menguntungkan. Kendala Kami masih biaya fuel (bahan bakar). Untuk semester I naiknya 36,5 persen dibandingkan tahun lalu," ujar Pahala saat konferensi pers di Kantor Garuda Indonesia Pusat, Tangerang, Kamis (27/8/2017). 

Kalau yang jadi kendala adalah kenaikan harga bahan bakar, mengapa tidak dinaikkan saja harga tiket nya? Supaya tidak terjadi kerugian karena kenaikan harga Avtur. Logika sederhana nya kan begitu, hal itu nampaknya urung dilakukan karena persaingan di bisnis ini sudah sangat ketat. Seperti simalakama, naik harga tiket tidak terbeli jika tidak naik perusahaan merugi. 

Sudah saatnya perusahaan sedikit mengabaikan fokus mereka pada "service excellence" beserta peringkatnya dan lebih fokus pada menjawab kebutuhan pelanggan dan segmentasi market yang lebih tajam. Perusahaan harus bisa mengukur garis antara kebutuhan masyarakat, harga, dan batas kenyamanan yang masih bisa ditolerir oleh pelanggan. 

Contohnya begini, dengan komposisi kursi yang ada sekarang tingkat keterisian penumpang Garuda adalah sebesar 73,3 (sumber). Bila jumlah kursi ditambahkan lalu harga tiket diturunkan bisa jadi tingkat keterisian akan naik. Apalagi jika penurunan harga tiket tersebut mendekati batas atas harga tiket pesawat LCC. Pelanggan pasti akan lebih memilih pesawat bergengsi seperti Garuda Indonesia jika kondisi tersebut terjadi. Apalagi ada program loyalty reward dari Garuda berupa Garuda Miles. Hal tersebut diharapkan mampu mendongkrak laba dan meningkatkan daya saing dalam industri yang sudah sangat ketat ini.

Selain itu juga resiko operasional yang timbul juga sangat berpotensi menekan keuntungan perusahaan. Dalam hal ini sudah saatnya Singapore Airlines dan utamanya Garuda Indonesia melakukan perombakan pada Group manajemen resiko mereka. Membuat new culture dan mengetatkan audit pada perusahaan. Hal tersebut harus dilakukan serempak, artinya perbaikan dari sisi internal perusahaan dan perubahan strategi penjualan keluar. 

Dalam menghadapi persaingan industri yang sudah sangat ketat ini, perusahaan penerbangan tidak bisa menggunakan analisa lama dan pola pola manajerial yang lama. Harus ada gebrakan baru yang ultra fleksiblel menyesuaikan pasar yang dinamis. Harus rajin-rajin mencari insight dari pelanggan dan menyiapkan strategi yang sangat jitu untuk melawan pesaing dan mengeksekusinya dengan baik. Sebab terbukti peringkat layanan yang baik tidak berbanding lurus dengan provitabilitas, tetapi layanan yang standar dan kadang kurang baik seringkali justru memenangkan pasar karena lebih menjawab kebutuhan pelanggan akan transportasi yang murah dan aman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun