Mohon tunggu...
Johansyah M
Johansyah M Mohon Tunggu... Administrasi - Penjelajah

Aku Pelupa, Maka Aku Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cermin

26 Juni 2020   10:02 Diperbarui: 26 Juni 2020   10:05 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap hari kita berhadapan dengan cermin untuk memastikan semua kondisi fisik yang sering menjadi pusat perhatian, terutama wajah, apakah sudah terlihat rapih. 

Terkadang tidak tau kalau di hidung kita ada upil, lalu ketika berdiri di hadapan cermin baru kelihatan. Kalau kaum ibu, tidak diragukan lagi, biasanya untuk meratakan bedak dan merapikan dandanannya selalu harus berada di depan cermin dalam waktu yang relatif lama dibandingkan kaum bapak.

Cermin memang dibuat untuk mempermudah manusia untuk melihat aspek-aspek fisik empiris yang berada di depannya. Bagaimana pun hebatnya mata, tidak bisa memandang keseluruhan tubuh tanpa bantuan dari cermin. Cermin akan menunjukkan apa adanya dari wajah kita atau bagian tubuh lainnya tanpa ada rekayasa.

Kalau cermin digunakan untuk mereflesikan secara empiris bentuk fisik seseorang, lalu media apa yang digunakannya untuk melihat kondisi psikis dirinya sendiri? 

Pasti dirinya sendiri yang tau. Tapi, sering kali seseorang tidak objektif ketika menilai dirinya sendiri. Pernyataan-pernyataan yang dia keluarkan seputar dirinya cenderung berupa hal-hal yang baik, sementara yang buruk dia sembunyikan. 

Ini menunjukkan bahwa meski manusia secara batin mengetahui sendiri apa dan bagaimana dirinya, tetapi tidak dapat menjadi cermin untuk menunjukkan siapa dia sebenarnya.

Lalu siapa cermin pribadi seseorang? Cerminnya ada pada orang-orang sekitarnya. Orang-orang sekitarnyalah yang mampu menunjukkan apa adanya kepribadiannya setelah mereka berinteraksi, melihat, dan mendengar beragam informasi tentang orang tersebut. 

Orang sekitarnya kemudian akan memberikan penilaian bahwa dia berkarakter seperti apa; jujur, santun, tanggung jawab, berani daan seterusnya. Atau dia berkarakter licik, picik, pelit, diktator, munafik, dan seterusnya.

Penilaian orang sekitar kita adalah cermin yang merefleksikan kepribadian kita sesungguhnya. Benar seratus persen tentu tidak, tapi ketika mayoritas mengatakan bahwa pribadi seseorang itu baik, maka itulah dia yang sebenarnya. 

Atau mayoritas mengatakan pribadi orang itu tidak baik, maka itulah dia yang sesungguhnya. Yang sebagian kecilnya, memang ada yang menilai tidak sama, itu mungkin karena salah paham, atau ada hal-hal yang dia tidak senangi dari pribadi orang tersebut. 

Dan tentu, terkadang ketika seseorang berbuat baik saja masih ada yang menilai macam-macam, apalagi memang berbuat jahat. Walau begitu, kalau memang dasarnya baik, maka itu yang tetap muncul ke permukaan pribadi seseorang.

Bagaimana dengan orang-orang yang berpura-pura baik (pencitraan) dengan berbagai cara dan bisa saja dia menutupi kejelekannya? Ya, selama orang belum tau 'kartu as'-nya, dia aman. 

Tapi, kalau orang lain mengetahui rahasia siapa dia sesungguhnya, dengan serta-merta gugur dan tidak bernilai lagi semua kebaikan yang dia lakukan sebelumnya. Jadi, kebaikan itu tidak bisa direkayasa selamanya.   

Manusia yang pura-pura baik itu sama seperti manusia yang berwajah bopeng tapi menggunakan topeng. Dia menyembunyikan wajah sebenarnya dan menampilkan wajah palsu. 

Secara batin, orang yang berpura-pura baik ini biasa dilatarbelakangi oleh motivasi dan ambisi tertentu. Misalnya ketika dia mencalonkan diri sebagai kepala daerah, agar terpilih dia berusaha untuk terlihat baik; rajin shalat jamaah, rajin sedekah, rajin blusukan dan sebagainya, padahal sebelumnya tidak begitu.

Bagaimana pun hebatnya rekayasa pribadi untuk menampilkan yang baik-baik saja, cermin asli kepribadian kita tetap ada pada orang lain di sekitar kita. 

Jadi berhentilah untuk mendeklarasikan diri baik, biarlah orang-orang di sekitar yang memberi penilaian apa adanya terhadap kita. Lagi pula untuk apa susah payah agar diakui baik kalau memang kita tidak baik. Lebih baik berusaha agar kita benar-benar berubah menjadi baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun