Seorang teman bercerita tentang pendapat seorang guru besar ihwal menulis. Menurut guru besar ini, menulis tidaklah sekedar mengungkapkan pendapat, harus ada teori berbeda yang ditampilkan untuk memperkaya pendapat kita. Kalau hanya sekedar menulis, mutunya pasti kurang. Begitu pesannya yang saya pahami. Kalau keliru mohon dimaafkan.
Ada juga pendapat lain bahwa tulisan kita sangat di pengaruhi oleh apa yang dibaca. Untuk ini saya sepakat. Dulu sering baca opini di harian kompas, republika, waspada, maupun harian serambi. Ternyata memang memengaruhi gaya bahasa yang saya gunakan ketika menulis artikel.
Tapi ada satu hal yang saya pahami dari beberapa teman; menulis itu sulit. Untuk dapat menulis harus ratusan buku dulu selesai di baca, baru menulis.
Saya pribadi mendukung cara berfikir ini. Tapi, sebenarnya kan bisa saja dibalik. Terus saja menulis. Nanti ketika gagasan kita buntu, baru lihat buku. Dulu ketika menyusun skripsi, prinsip ini yang saya gunakan. Bukan karena sudah baca ratusan buku baru menulis skripsi, tapi menulis terus skripsi sambil terus mencari bahan yang berkaitan.
Lagi pula, bacaan itu kan luas. Kalau kita kembalikan kepada konsep iqra', membaca itu bukan hanya yang tersurat, ada juga yang tersirat. Bahkan menurut Kontowijoyo, diri kita (nafsiyyah) juga adalah objek bacaan. Jagad ini adalah buku yang dibentangkan Tuhan untuk dibaca.
Dulu, saya juga terkendala dalam menulis, terkadang memikirkan apa teorinya. Itu lantaran pemahaman teori dalam benak saya tidak sederhana. Teori itu seolah-olah sesuatu yang mahal, padahal tidak. Ketika saya baca buku Filsafat Ilmu-nya Ahmad Tafsir, ternyata mudah sekali memahami teori. Teori itu ya pendapat yang beralasan, sudah.
Dari situ saya tidak terlalu 'memuja' teori-teori. Kita memiliki hak untuk berpendapat dengan syarat disertai alasan yang logis dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dan kalau mau tulisan ringan, minimal kan bisa menceritakan pengalaman-pengalaman hidup ke dalam bentuk tulisan. Ini siapa yang mau bantah, toh pengalaman pribadi. Jadi teruslah membaca, lalu tulis apa yang kita pikirkan. Menulis bukan sesuatu yang rumit. Tulis saja apa yang menjadi kegelisahan kita.
Yang saya tau, bahwa setiap hari kita memperbaharui status dengan berusaha menampilkan apa yang kita pikirkan. Itu artinya kita berpikir aktif, mengamati, dan memberikan pandangan terhadap situasi tertentu, baik mengenai diri, teman, lingkungan, kesukaan, kegiatan penting, dan sebagainya.
Kalau begitu, tinggal mengemas apa yang kita pikirkan ke dalam bentuk tulisan, dua atau tiga paragraf, itu sudah menjadi tulisan.
Terus terang, saya salut dengan guru (dosen) sekaligus pembimbing saya dulu, al-Mukarram Dr. Sri Suyanta, M.Ag. yang sangat konsisten menulis artikel singkat di facebook. Facebook digunakan untuk media pengembangan diri, dan menginspirasi teman-teman lain agar tergerak untuk manulis. Alhamdulillah saya 'ketularan' cara beliau. Jadi, ayo kita belajar menulis dan menjadikannya kebiasaan.Â