Mohon tunggu...
Johansyah M
Johansyah M Mohon Tunggu... Administrasi - Penjelajah

Aku Pelupa, Maka Aku Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tetap Puasa, Meski Sudah Berbuka

3 Mei 2020   14:44 Diperbarui: 3 Mei 2020   14:53 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lega rasanya ketika serinai berbunyi. Saat-saat yang dinantikan untuk berbuka puasa pun tiba. 

Dulu tahun 80-an di Kelupak mata (sebuah perkampungan kecil di Aceh Tengah), di mana belum ada listrik, biasa digunakan lonceng sebagai penanda telah tibanya waktu berbuka puasa. Bismillah, Allahumma laka shumtu..., kita pun berbuka puasa dengan aneka menu yang sudah dipersiapkan. Nikmat sekali rasanya, karena dari pagi, siang, hingga sore kita mengendalikan diri untuk tidak makan dan minum.

Benar sekali bahwa kita telah berbuka puasa. Tapi ingat, di saat puasa dari makanan dan minuman sudah kita akhiri, puasa harus tetap dilanjutkan. Bukan makan minum tentunya, tapi membuat indera, pikiran dan hati kita untuk tetap berpuasa. Seharusnya begitu, orang yang berpuasa itu hanya terbebas dari puasa makan minum, tapi puasa lain sejatinya tetap dijalankan dengan istiqamah.

Indera, pikiran dan hati, berusaha dipertahankan agar tetap dalam keadaan berpuasa. Artinya indera, pikiran dan hati tetap kita kendalikan dari ragam kemaksiatan, atau hal-hal yang tidak bermanfaat. Dengan ungkapan lain, hanya fisik kita yang dipersilahkan berbuka puasa, sementara bagian lain, terutama hati, kita pertahankan tetap berpuasa.

Pernah ada kejadian dan ini lazim terjadi di sekitar kita. Manakala ada seorang tetangga yang menghina tetangganya. Tetangga yang dihina ini sabar dan tidak mau melayani ocehan tetangganya tadi. 

Rupanya dia pernah mendengarkan ceramah yang mengatakan; 'puasa itu adalah tameng. Maka janganlah dia berkata kotor (jorok) atau melakukan tindakan bodoh. Jika ada orang yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya, maka katakan; 'sesungguhnya aku puasa'. (HR. Bukhari no. 1894).

Persoalannya, dia memahami hadits dalam ceramah tadi terlalu sederhana. Kalau di siang hari kita harus bersabar terhadap hal-hal yang dapat memancing kemarahan. 

Selepas berbuka kembali seperti biasa. Benar saja, setelah berbuka puasa, orang yang dihina tadi pergi ke rumah tetangga yang menghinanya, lalu mengatakan; 'sekarang apa maumu, kenapa kamu mengatakan begini dan begitu. Kenapa tadi saya diam? Itu karena tadi puasa. Sekarang akan saya ladeni apa pun kemauan kamu'. Lalu terjadilah keributan dan percekcokan, karena dia emosi dan menyimpan rasa dendam yang ditahan siang harinya.

Terkadang kita juga sering melihat sekolompok orang yang berkumpul setelah berbuka puasa pada malam hari. Mereka tidak bertarawih melainkan berkumpul untuk sekedar cerita-cerita, nonton bareng, atau membual tentang hal yang kurang bermanfaat. Padahal kalau puasanya mau maksimal, dia harus membarenginya dengan ibadah shalat tarawih sehingga kecil kemungkinan untuk melakukan hal yang sia-sia.

Pola puasa seperti ini masih banyak dianut oleh orang di sekitar kita. Puasa hanya di siang hari. Tapi setelah berbuka puasa dia bebas melakukan apa saja. Mulutnya tidak dikontrol, telinga tidak dijaga, pikiran dan hatinya juga tidak dikendalikan untuk memikirkan dan merasakan hal-hal yang bernuansa maksiat.

Metamorfosis ruhiyah itu tidak akan terjadi secara sempurna jika orang yang berpuasa hanya mampu menahan lapar di siang hari. Dia tidak mampu membuat diri berpuasa pada malam hari, dan abai dengan amalan-amalan yang dianjurkan untuk dikerjakan pada malam harinya. Maka tidak mengherankan, jika di syawal nanti dia tidak menunjukan perubahan apapun. 

Semua masih tetap seperti yang dulu. Kalau kesetiaan terhadap pasangan, cocok kita katakan; 'aku masih seperti yang dulu'. Tapi sebagai alumni ramadhan nanti, kiranya kita malu seperti yang dulu, tapi harus 'bukan seperti yang dulu lagi'. Orang yang berpuasa harus menunjukkan perubahan perilaku ke arah yang lebih baik.

Inilah yang pantas diwaspadai dan disadari oleh orang yang berpuasa. Ketika di siang hari kita berjuang keras mengendalikan semua sifat buruk, termasuk amarah, sejatinya setelah berbuka puasa pun kita tetap mengendalikannya. Tidak mentang-mentang telah tiba waktunya berbuka puasa, lalu kita pun bebas kembali melakukan apapun. 

Justru terkadang, ujian sesungguhnya itu ketika telah berbuka puasa. Apakah setelah berbuka, lalu kita bebas makan dengan porsi yang berlebih? Lalu perilaku buruk yang sering dilakukan, kemudian bebas kita lakukan? Tentu tidak demikian. Inilah yang kemudian coba dikendalikan.

Dari dimensi waktu, puasa itu kalau ibarat kartu paket bersifat unlimited edition, tidak ada batas waktu dan harus bersifat total. Puasa sepanjang hari? Ya, tidak ada istilah berbuka puasa sebenarnya untuk hal-hal terkait puasa ruhiyah. Memang tidak membatalkan puasa lagi ketika seseorang melakukan seperti cerita di atas. 

Siang dia menahan diri, malamnya meluapkan rasa marah. Atau siangnya sabar, malamnya seperti tidak sadar (kesurupan), marah-marah, dan lain sebagainya. Tapi sikap seperti ini semua tidak akan pernah menjadi process perfect dalam upaya menjalani tahapan mencapai metamorfosis ruhiyah.

Ini artinya, salah satu modal yang dibutuhkan dalam menjalani metamorforsis ruhiyah adalah keistiqamahan dalam berpuasa secara perilaku. Salah satu titah-Nya ditegaskan; 'maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertaubat bersama kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesunggunya Dia Maha Melihat atas apa yang kamu kerjakan' (QS. Hud: 112). 

Dalam sebuah hadits, sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah Saw tentang satu perkataan yang dia tidak akan bertanya kepada seorang pun. Rasulullah Saw pun menegaskan; 'istiqamahlah' (lihat HR. Muslim no 38).

Istiqamah adalah syarat utama mencapai kesuksesan. Maka istiqamah untuk mengendalikan diri secara ruhiyah dalam puasa akan mengantarkan seseorang pada puncak metamorfosis ruhiyah-nya. Saat di siang hari dia menjaga pandangan Di malam harinya juga dia tetap menjaga pandangan dari tontonan yang sia-sia. Begitu juga dengan mulut, tetap dia kunci untuk mengeluarkan kalimat-kalimat yang kotor. Begitu seterusnya.

Seorang yang dikenal disiplin pada sebuah instansi bukanlah disebabkan aturan yang mewajibkannya untuk hadir setiap hari jam 8.00 WIB. Namun ketika tidak diwajibkan dia datang seenaknya, apalagi kalau atasan lagi bertugas keluar daerah. 

Dia yang disiplin itu adalah tidak bergantung pada aturan yang mewajibkannya atau karena atasan. Kedisiplinan itu muncul dari kesadaran dirinya sehingga dalam situasi dan kondisi apapun dia tetap mampu disiplin. Begitu juga dengan ibadah puasa, pengendalian diri kita tidak karena siang hari puasa, akan tetapi di setiap waktu kita mampu mengendalikan diri, walaupun sudah berbuka puasa.

Ketakwaan itu tidak mengenal batas waktu dan tempat, kapan dan di mana pun. Kata Rasulullah Saw, bertakwalah kamu di mana pun berada. Inilah yang kita latih di bulan penuh berkah ini. 

Belajar istiqamah sepanjang hari menjalankan ibadah puasa, terutama memuasakan ruhani, meski secara fisik kita telah makan dan minum di saat tibanya waktu berbuka puasa. Semoga bermanfaat. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun