Mohon tunggu...
Johansyah M
Johansyah M Mohon Tunggu... Administrasi - Penjelajah

Aku Pelupa, Maka Aku Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebab Covid, Kita Jadi Pendidik

11 April 2020   17:48 Diperbarui: 11 April 2020   17:42 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak cara pandang manusia yang berubah tentang berbagai persoalan kehidupan di situasi pandemi Covid-19 ini. Salah satunya adalah persepsi kita tentang guru atau pendidik semenjak pemerintah mengeluarkan kebijakan meliburkan sekolah dan meliburkan seluruh aktivitas kantor, perusahaan dan lain-lainnya. 

Kita  dirumah saja; belajar di rumah, kerja dari rumah, ibadah di rumah dan seterusnya di rumah. Dari itu para orangtua pun memikirkan cara bagaimana melaksanakan proses pendidikan dilibur panjang yang tak dirindukan ini. Kini, lembaga formal lumpuh dan satu-satunya wadah untuk menyelenggarakan pendidikan adalah keluarga.

Ini artinya orangtua harus siap menjadi pendidik. Mereka harus belajar mengerjakan tugas-tugas yang selama ini dibebankan pada guru di sekolah. Pengalaman baru menjadi pendidik? Tidak juga. 

Sebab selama sebenarnya orangtua itu memang pendidik, pengasuh, pembimbing, dan sahabat bagi anak-anaknya. Bahkan masyarakat sekitar yang dewasa, tidak lain adalah para pendidik yang memiliki tugas dan tanggung jawab bersama. 

Hanya saja, selama ini ketika ditanya apa profesi kita? Mungkin ada yang jawab buruh bangunan, tukang jual sayur, pengusaha, petani, nelayan, dan sebagainya. Satu-satunya yang berani mengakui bahwa profesinya guru adalah mereka yang beraktivitas mengajar di lembaga-lembaga pendidikan formal, baik PAUD, Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), menengah, dan seterusnya. Memang ketika bicara profesi, salah satunya adalah profesi pendidik (guru) di sekolah. Pendidik lebih identik dengan guru daripada orangtua, dan lembaga pendidikannya adalah formal, bukan informal. 

Lalu bagaimana menyelenggarakan pendidikan di rumah. Apa materinya, bagaimana metodenya, apa saja medianya? Apakah harus mempersiapkan ruang khusus pembelajaran? 

Pertama, tentu orangtua tidak perlu terlalu gusar. Umumnya selama libur sekolah, sistem pembelajaran diarahkan ke pembelajaran online. Masing-masing guru di sekolah memberikan tugas dan arahan melalui hp tentang materi yang harus dikerjakan anak kita. 

Maka dalam hal ini, orangtua cukup mengarahkan dan memfasilitasi. Dan karena sifatnya online, kalau bisa diawasi. Artinya, intenet khusus digunakan untuk belajar, bukan untuk yang lain.

Kedua, terlepas dari materi yang diberikan guru, tentu orangtua juga harus mempersiapkan kurikulum pendidikan darurat selama covid ini. Apa saja materinya? Tentu tidak perlu bingung juga. 

Kembangkan kurikulum yang menjadi ciri khas pendidikan informal. Apa itu? Materi-materi pendidikan yang lebih dititikberatkan pada penumbuhan budaya dan karakter anak. Maka materi intinya adalah agama, pengembangan bakat, penguatan nilai-nilai kearifan lokal, dan kesehatan.

Materi agama meliputi akidah, akhlak, dan ibadah. Tujuan yang ingin dicapai dari materi agama ini bagaimana selama mereka berada di rumah memiliki rasa kesadaran beragama yang tinggi. 

Dua hal saja yang didisiplinkan untuk menumbuhkan keberagamaan yang kuat pada diri anak. Yakni bagaimana agar anak disiplin mendirikan shalat yang lima waktu dan diajarkan al-Qur'an (bagi yang menganut agama lain menyesuaikan tentunya).

Untuk pengembangan bakat, orangtua cukup berusaha semaksimal mungkin menyediakan fasilitas yang memadai bagi anak. Kalau yang hobi melukis, usahakan lengkapi alat lukisnya. 

Kalau ada yang hobi musik, maka belikan alat musiknya. Intinya usahakan segala keperluan mereka dapat disediakan. Tentu lebih mantap lagi kalau orangtua memiliki pengetahuan dan menguasai apa yang menjadi bakat anak, sehingga dia dapat mengembangkan bakat si anak secara maksimal. 

Materi selanjutnya adalah pengembangan dan penguatan nilai-nilai kearifan lokal. Umumnya di rumah kita berkomunikasi dengan bahasa daerah masing-masing dan menerapkan pola-pola umum yang berkembang dalam budaya kita. Kecuali mereka yang nikah silang mungkin sudah tidak lagi berkomunikasi dengan bahasa daerah. Salah satu kekhasan kearifan lokal adalah kaya akan nilai-nilai. Maka inilah yang coba dikuatkan dan digunakan menjadi pendekatan metodologis selama penyelenggaraan pendidikan di rumah masing-masing.

Adapun materi yang terakhir berkaitan dengan kesehatan. Orangtua harus memberikan kesadaran pada anak akan pentingnya hidup bersih dan sehat dalam upaya mencegah penularan covid-19. Bahkan lebih dari itu, orangtua harus menyadarkan anak bahwa tanpa corona pun kita harus menerapkan pola hidup bersih dan sehat. Bagi keluarga yang muslim dapat memberikan contoh pola hidup bersih dan sehat ini melalui materi agama seperti thaharah, wudhu, dan lain-lainnya.

Ketiga, proses pembelajaran tentu harus menggunakan pendekatan dan metologi. Untuk lingkup pendidikan informal, metode yang paling mumpuni ada dua; yakni uswah (keteladanan), serta habituasi (pembiasaa). Materi agama seperti dalam mengajarkan ibadah shalat, tidak mungkin diajarkan melalui metode ceramah atau diskusi, kecuali sekedar memperkenalkan teorinya sekilas. Selanjutnya orangtua harus mempraktikkan bagaimana kaifiyah shalat, agar anak dapat menyaksikan dan mengikutinya.

Dalam berkomunikasi juga demikian, usahakan orangtua dapat menggunakan bahasa-bahasa yang halus dan santun. Ini juga sangat berpengaruh pada penumbuhan karakter anak. Terkadang ada orangtua yang berbicara kasar pada anaknya. Dia merasa bangga ketika anaknya menakuti dia. Ini adalah pola komunikasi keluarga yang buruk antara orangtua dan anak.

Pembiasaan untuk hal-hal yang positif dan bermanfaat adalah hal yang sangat mendasar dalam keluarga. Kebiasaan baik yang dibangun dalam sebuah keluarga sejak kecil, itu akan membekas dan berpengaruh pada diri anak hingga mereka dewasa. Misalnya kebiasaan orangtua yang rajin bersilaturrahmi dengan tetangga dengan cara ikut aktif dalam berbagai kegiatan di kampungnya. Banyak sedikitnya anak akan terbawa dengan kebiasaan ini. Demikian halnya dengan kebiasaan buruk, tentu kita tidak menginginkannya.

Terakhir, banyak pelajaran berharga yang kita peroleh dari covid ini, terutama terkait dengan pendidikan dalam keluarga. Selama ini banyak yang tidak pernah merasakan bagaimana sulitnya menjadi seorang guru, kini kita bisa merasakannya. Ternyata menjadi guru itu susah. Selain itu, ternyata banyak di antara kita selama ini yang terlalu banyak menghabiskan waktu bersama sahabat maupun teman kerja. 

Terlalu sedikit waktu yang kita sisihkan buat anak-anak kita. Kita berpikir cukup mememenuhi kebutuhan fisik mereka, padahal yang lebih mereka butuhkan adalah kebutuhan psikis; perhatian, curahan kasih sayang, dan pendampingan.

Barang kali inilah satu hikmahnya, kita menyadari akan pentingnya keluarga. Kenapa kita merasa jenuh berada di rumah saja? Itu tandanya kalau selama ini kita lebih banyak beraktivitas di luar rumah. Sekarang suka tidak suka, kita harus belajar banyak tentang peran dan tanggung jawab orangtua dalam mendidik anak, dan kita harus belajar menjadi sosok pendidik sejati bagi anak-anak kita. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam bishawab!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun