Mohon tunggu...
Johansyah M
Johansyah M Mohon Tunggu... Administrasi - Penjelajah

Aku Pelupa, Maka Aku Menulis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Main, Jangan Sampai Nangis!

4 April 2020   18:23 Diperbarui: 4 April 2020   18:31 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masing-masing kita punya pengalaman di rumah. Apalagi saat stay at home di situasi ancaman virus corona (vicor) sekarang ini. Anak-anak yang ngumpul di rumah, main bersama. Ada yang diam, ada juga yang usil main kejar-kejaran. Kalau Dibilang mereka cuek. Ya sudah, akhirnya sampai puncaknya juga, ada yang bunyi seperti suara kereta digas, si anak nangis. Paling kita orangtua bilang; 'kan, apa bapak bilang, jangan main rebutan, akhirnya nangis'. Terkadang ada juga yang tidak sabar, datang 'orang ketiga tunggal'-nya. Kita juga dulu waktu kecil sama seperti mereka kan?

Kebiasaan bermain ternyata juga bukan kebiasaan anak-anak kita. Mereka yang sudah besar, bahkan orangtua pun masih suka bermain. Kalau kita pergi ke warnet, coba perhatikan apa yang dilakukan oleh anak-anak? Mereka main games. Ada yang main game bola, perang, dan game-game lainnya. Ada satu tempat perkumpulan para kaum bapak di dekat wilayah saya, setiap hari banyak orang yang berkunjung ke tempat tersebut. Saya penasaran dan sempat bercerita dengan orang di sekitar tersebut. Rupanya tempat itu dijadikan sebagai tempat perjudian.

Kalau kita jalan-jalan sore di beberapa perkampungan, ada satu pemandangan unik di gardu atau pos jaga, di mana kaum bapak berkumpul di sana, ada yang sedang merokok, ada yang jongkoh, ada yang terlihat menunggu. Rupanya main domino. Di rumah sendiri, kita juga sering mengisi waktu dengan bermain facebook maupun whatsapp, tidak terasa waktu terus berjalan, bahkan ada yang lupa kalau dia sedang memasak. Atau bahkan ada yang lupa bahwa waktu shalat sudah lewat.

Ternyata pengalaman kita atau anak-anak kita adalah sebuah fenomena menarik yang kita jalani dalam kehidupan. Apa yang kita lakukan dalam hidup? Salah satunya adalah 'bermain'.

Kita lalai dalam permain dunia yang penuh dengan dinamika, godaan harta, tahta, dan wanita yang memabukkan.

Memang sih, dunia ini diciptakan untuk panggung permainan. Tapi di sela itu, kita harus ingat bahwa ketika kita berada di zona permainan tersebut, jangan sampai lupa waktunya untuk pulang.

Apakah salah hidup mewah? Tentu tidak.

Tapi kemewahan bukan tujuan akhir hidup. Katakanlah Jeff Bezos, pendiri Amazon. Tercatat dalam rentang waktu 2018, 2019, dan 2020 sebagai orang terkaya dunia. Kekayaannya mencapai USD 111 milyar di tahun 2020 ini. Atau kalau di Indonesia ada nama Budi Hartono, pemilik Group Djarum, yang kekayaannya mencapai USD 15,3 atau setara Rp. 229,5 trilyun.

Sepintas oke sajalah. Tapi kebanyakan orang akan tenggelam dalam permainan dunia. Kekayaan akan mengubah karakter yang rendah hati menjadi sombong, taat ibadah menjadi malas ibadah, diperbudak harta, dan terus terlena dalam mengumpulkan harta. Kekayaan materi ini akan menggiringnya pada ambisi tahta. Ingin jadi bupati, gubernur maupun presiden. Tentu, kalau dia maju percaya dirinya tinggi karena dia memiliki modal besar. Suara rakyat hanya sebungkus nasi, katanya.

Setelah sukses mendapatkan tahta, biasanya diikuti lagi dengan ambisi lain, yakni wanita. Satu istri tidak cukup. Dibutuhkan pendamping-pendamping lain yang dapat memuaskan syahwat. Makanya kalau orang kaya yang bertahta itu biasanya memiliki banyak istri. Di antara contohnya adalah Kaisar Kanxi dari Dinasti Qing yang kabarnya memiliki selir sebanyak 3.000 orang.

Dalam sejarah hidup manusia, permainan-permainan dunia yang beraneka ragam itu pada waktunya akan berakhir. Dan betapa banyak permainan duniawi itu yang berakhir dengan kepiluan. Orang-orang yang hidup diliputi kemewahan merasakan penderitaan di akhir hayatnya. Persis seperti teori bermainnya anak-anak tadi. Puncak bermainnya adalah menangis karena ditegur pun tetap bermain, akhirnya menangis. Game dunia juga demikian, jika orang terlalu larut dalam permainan tersebut, maka pada akhirnya akan berujung penyesalan dan penderitaan.  

Tidak salah apa yang dikatakan Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddiman, di mana salah satu teori sosiologi yang dia ajukan adalah bahwa setelah masa kejayaan, sebuah peradaban akan mengalami masa keruntuhan. Teori ini sangat kuat dan akurat, di mana kita menyaksikan masa kejayaan dan keruntuhan terjadi di semua peradaban, tidak terkecuali Islam. Ada masa-masa kemunduran, ada pula era keemasannya. Manusia secara individu juga demikian dalam menjalani hidup, dia akan melewati fase kejayaan dan kemunduran.

Satu-satunya cara yang dapat menyadarkan manusia dari gemerlap permainan dunia adalah mengingat kematian. Ini akan mengendorkan tancap gas kita untuk terus mengejar dunia, agar tidak terlena dalam permainannya. Bahwa kematian akan menghentikan semuanya. Oleh sebab itu, sebelum kematian menghentikannya, kita diharapkan sadar dari awal agar kehidupan ini tidak berakhir dengan tangis penyesalan.

Pertanyaannya (mungkin orang bilang bodoh), berapa yang kita butuhkan untuk dibawa mati? Semuanya akan jadi warisan belaka. Paling-paling, kita tercatat dan di kenal kaya. Itu saja. Tidak lebih. Jika kita Islam, paling uang yang kita bawa hanya sedikit saja dalam bentuk kain kafan. Bagi ahli waris paling nantinya akan memasangi keramik di kuburan kita.

Saya belum pernah dengar bahwa kuburan orang kaya itu digalinya luas, atau di gali seukuran bangunan rumah. Tidak ada, ternyata ukuran kuburan antara si kaya dan si miskin, si pintar dan si bodoh, si pejabat dan staf, si petani dan pengusaha, semuanya sama. Kalau nasib, tergantung kepada apa yang kita perbuat di dunia. Mainlah, tapi jangan sampai menangis. Nikmati dunia, tapi jangan sampai tenggelam dalam permainannya. Agar kamu tidak menyesal nantinya. Semoga bermanfaat. Amin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun