Kalau anda beli kue, bermacam ragam modelnya. Maklum, yang namanya dagangan harus terlihat menarik dan indah sehingga pembeli tergiur dan tergoda. Anak-anak kita yang sering jajanan, biasanya tidak lebih dulu mempersoalkan enak atau tidaknya kue, tapi yang mereka lihat terlebih dahulu adalah bungkusan yang menarik.
Apalagi anak kita sudah tau bahwa kue itu didukung hadiah. Contohnya, ada namanya kue cinta, rasa kuenya tidak enak sama sekali, tapi anak-anak sering memburunya karena ingin mendapatkan uang yang ada di dalamnya.
Kalau disurvey semua bentuk barang jual beli saat ini  sama konsepnya; mengedepankan tampilan yang huh dan wow. Urusan kualitas barang, itu nanti. Di dunia otomotif juga demikian, coba lihat mobil dengan produk baru sekarang, bodinya luar biasa menggoda, tapi daya tahannya sangat lemah.
Mobil model dulu kalah model, tapi daya tahannya kuat. Apakah ini juga dapat digolongkan pada dunia terbalik? Mungkin, karena memang kondisinya sudah terbalik; dulu kalah model, tapi menang dari daya tahan. Sekarang menang model tapi kalah daya tahan.
Fenomena ini ternyata merambah ke semua aspek kehidupan. Minsalnya pendidikan, banyak yang sudah bergelar magister, doktor, bahkan profesor. Tapi kalau dibanding-banding kualitasnya, orang-orang dulu yang terkadang hanya strata satu, tapi ilmunya luar biasa, setara atau bahkan lebih dari profesor di bidangnya. Ini juga tidak dapat dipungkiri, dulu strata satu ditempa dengan sangat luar biasa. Dulu strata satu masih langka, sama dengan langkanya orang yang berpendidikan strata tiga saat ini.
Kualifikasi pendidikan saat ini mungkin lebih didorong oleh tuntutan pemerintah yang menetapkan kualifikasi pendidikan sebagai syarat. Mereka tidak melihat dan mementingkan kualaifikasi pendidikan terlebih dahulu, bukan skill dan kemampuannya. Padahal kualifikasi pendidikan tidak menjamin seseorang memiliki kemampuan yang dapat diandalkan di bidangnya.
Saya pernah mendengar cerita dari Ibu Moon Cahyani, dari Kementerian Koordinator Pengembangan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), saat berdiskusi di STIT Al-Washliyah Aceh Tengah, bahwa di Papua ada orang yang ahli dalam mengidentifikasi secara akurat dan tepat di mana tempat lobster.
Ilmu ini bukan diperoleh dari bangku kuliah, tapi berdasarkan pengalamannya. Karena keahliannya, profesor dan para peneliti sering mencari dia untuk mendapatkan pengetahuan tentang cara mengidentifikasi lobster. Kalau dibanding, orang yang belajar kepada dia adalah orang yang berpendidikan tinggi, sementara dia sendiri sekolah dan mendapatkan pengetahuan berdasarkan pengalaman.
Kalau begitu, kita ini jangan tertipu oleh tampilan, tapi lihatlah isi. Jangan lihat orang hanya dari seberapa tinggi pendidikannya, tapi seberapa mampu dia menguasai bidang yang ditekuninya. Dan pesan pentingnya adalah tidak usah mengedepankan tampilan dari isi. Untuk apa terlihat bagus, menarik, namun kenyataannya tidak demikian. Lebih baik terlihat biasa, lalu ketika dilihat lebih dalam ternyata luar biasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H