Mohon tunggu...
Yohanes Arkiang
Yohanes Arkiang Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Pembungkus Embun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perokok Pandai Mengalihfungsikan Barang dengan Kreatif

27 Desember 2019   09:48 Diperbarui: 27 Desember 2019   09:49 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ajiraksa.blogspot.com

"Merokok merupakan cara terbaik menenangkan hidup", kata teman saya yang sehari-hari sering datang merokok di kos saya. "Hidup itu hampa tanpa rokok". Kira-kira merokok merupakan proses paling sakral bagi penganutnya.

Saya adalah seorang mahasiswa semester 3 di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta; kampus cerdas dan humanis. Saya datang jauh-jauh dari Manggarai---sebuah daerah dengan alam eksotisnya di Flores bagian barat---mencari ilmu ke tanah Jogja demi cita-cita dan masa depan bangsa.

Saya lahir dari keluarga pensiunan perokok. Ayah saya berhenti merokok sejak saya berumur 1 tahunan dan semua saudara saya bukanlah perokok. Oleh karena itu, sejak kecil saya tidak pernah menyentuh barang sakral itu. Namun pada lain sisi, sejak kecil juga saya telah mengonsumsi asapnya hampir tiap hari. Bagaimana tidak, hampir semua manusia yang saya jumpai tiap hari adalah perokok kelas berat.

Entah kenapa, sampai saat ini saya masih bertahan untuk tidak merokok, lagian menikmati asapnya sudah cukup melelahkan. Saya tidak pernah bermasalah dengan perokok dan bahkan saya senang memiliki teman-teman perokok, karena mereka bisa tiba-tiba saja menjadi seorang filsuf, ketika berdiskusi tentang kehidupan sembari menunaikan rokoknya.

Hingga pada suatu saat, saya hidup di kos.

Akhirnya saya tahu, bahwa perokok itu sangat kreatif dan inovatif. Mereka mampu mengonstruksi sebuah imajinasi ke dalam bentuk tindakan yang konkrit.

Begini, di kos saya, tidak tersedia asbak; sebuah alat suci yang sering dilupakan. Teman-teman saya yang perokok biasanya menggunakan kotak rokok untuk mengganti asbak. Biasanya juga saya menyediakan alat sederhana untuk melayani abu-abu kehidupan mereka.

Seiring perjalanan waktu, teman-teman saya ini mulai menunjukan sikap kreatif dan inovatifnya di kos saya. Saat berlangsungnya sebuah diskusi yang alot dan panjang---katakanlah begitu---salah satu dari mereka, dengan sangat kreatif, mengalihfungsikan sebuah gelas minum saya untuk dijadikan asbak. Tidak sampai di situ, teman-teman yang lain juga, dengan kesadaran penuh, membuang hajat batang rokoknya di asbak yang berbentuk gelas minum itu.

Di sini saya bingung, namun tidak tahu bingung apa. Sebab mereka adalah cerdikiawan yang sedang menikmati sebuah titik kehidupan. Saya terima itu semua dengan tidak marah dan dendam.

Ketika gelas yang tadi saya pensiunkan dari fungsinya sebagai gelas minum, rupanya teman-teman saya ini tidak puas. Satu per satu semua gelas di kos saya beralih fungsi menjadi asbak rokok.

Entah apa yang ada dalam imajinasi mereka. Bagi saya, gelas yang sudah diisi abu rokok telah menjadi haram. Tidak mungkin saya gunakan lagi. Entahlah. Saya masih terima itu semua dengan tidak marah dan dendam.

Saya kira hanya sampai di situ, ternyata dengan sangat inovatif, semua yang berbentuk tabung di kos, mereka gunakan untuk asbak rokok. Bahkan sesekali buku-buku saya yang berserakan menjadi tempat mendaratnya abu rokok. Nasib saya memang sial. Setelah mereka merampas udara, mereka mulai merampas hal material.

Bagi saya, membelikan asbak untuk mereka juga berlebihan, karena benda itu juga tidak akan berfungsi dengan baik. Gelas-gelas yang sudah jadi asbak saja sering dilupakan, bisa dua kali rugi saya.

Untuk menemukan solusi atas persoalan itu sangat sulit. Saya sudah sering menegur dengan cara halus dan kasar, namun jawaban seorang perokok selalu menenangkan hati dan saya selalu kalah. Ya, sudahlah.

Menurut saya aktivitas merokok tidak masalah dan tidak usah diperdebatkan lagi dalam soal gaya hidup dan ekonomi. Merokok ialah aktivitas sakral. Itu definisi finalnya. Namun yang menjadi persoalan adalah, aktivitas sakral itu dapat merugikan orang lain saat melangsungkan ritualnya.

Ya, namanya juga ritual, masak dilarang, bisa masalah besar tuh. Memang sikap saya sebagai nonperokok selalu toleran terhadap mereka, namun sebaliknya perokok justru bersikap sebaliknya kepada saya. Atau apakah mereka paham bahwa toleransi dalam hidup merokok itu perlu?

Saran saya untuk semua para penganut rokok di Indonesia, terkhusus mahasiswa, kalau berkunjung atau sedang berkumpul bersama teman-teman nonperokok, kalian harus membawa asbak sendiri.

Asbak itu bisa terbuat dari apa saja. Kalian kan kreatif dan inovatif, masak tidak sempat memikirkan jambang bagi abu rokok kalian saat berada di tempat bebas abu rokok, seperti kos teman dan lain sebagainya.

Asbak itu satu kesatuan dari batang rokok itu sendiri apabila sedang berada di kos teman nonperokok. Setidaknya perokok selalu memproduksi dua hal yang berpengaruh, yaitu asap dan abu.

Asap rokok kalian bebas menggunakan udara bersih untuk membuangnya, tetapi setidaknya, abunya jangan buang di sembarang tempat. Kalian bisa mengalihfungsikan barang yang memang sudah tidak berguna  Manfaatkanlah jiwa kreatif kalian untuk menciptakan asbak portabel dan sejenisnya agar aktivitas sakral itu dapat berlangsung  dengan damai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun