Mohon tunggu...
Yohanes Arkiang
Yohanes Arkiang Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Pembungkus Embun

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Fenomena Sandiwara Uno dan Prabowoisme

12 Februari 2019   22:25 Diperbarui: 13 Februari 2019   09:15 1199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Situasi perpolitkan Indonesia kian meresahkan. Ruang publik diwarnai maraknya konten tak bermutu bertajuk politik seperti hoaks dan saling pamer sensasi antarkubu politik.

Para pecandu kekuasaan terus berupaya merebut elektoral dan legitimasi publik dengan cara yang tak wajar. Para politisi ini betul-betul mempraktikan politik ala Niccolò Machiavelli yaitu menghalalkan segala cara, bahkan berani menyentuh daerah paling sensitif dalam dinamika masyarakat; SARA, untuk meraup suara sebanyak-banyaknya.

Dari fenomena politik itu munculah terminologi, frasa, atau istilah di permukaan publik untuk menyebut segala bentuk pergerakan tubuh figur politik dan kemudian dijadikan agenda politik.

Situasi ini tak lain adalah sebuah agenda menuju pilpres, April 2019 mendatang. Dua kubu capres dan cawapres saling serang di media sosial dan televisi dengan konsep politik entertaint.

Seiring itu, kedua calon presiden dan wakil presiden pun masing-masing mendapat julukan baru yang disematkan oleh lawan politiknya.

Pada tulisan ini saya hanya menyorot julukan "Sandiwara Uno" untuk menyebut Sandiaga Uno dan istilah ideologi baru, "Prabowoisme", untuk menyebut (istilah saya  propaganda) Prabowo Subianto. 

Frasa "Sandiwara Uno" muncul saat Sandiaga sering berkampanye di ribuan titik di Indonesia. Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini dituding kerap memberikan informasi yang tidak masuk akal atau tidak benar kepada publik.

Wakil ketua TKN Joko Widodo - Ma'ruf Amin, Abdur Kadir Karding menyebut Sandiaga Uno sering bicara tanpa data.

"Pak Sandi sudah berapa kali berikan statement tanpa data; soal tempe setipis ATM, harga nasi ayam di Jakarta lebih mahal dari Singapura, lapangan kerja dibilang susah, kan tidak juga, masyarakat krisis, krisis apanya? Tidak ada tuh," kata Karding  dilansir dari CNN.com.

Tidak hanya itu, pada debat capres-cawapres putaran pertama 17 Januari 2019 lalu, Sandiaga Uno memberikan statement soal seorang nelayan bernama Najib yang dipersekusi. Namun belakangan, penyataan pengusahan kaya itu menuai polemik dari khalayak warganet.

Menyusul penyataan Sandiaga, ketua Cyber Indonesia, Muannas Alaidid melaporkan Sandiaga Uno ke kepolisian Karawang dengan berbagai bukti terkait keadaan nelayan Najib sebenarnya.  

Yang terbaru tersiar di media sosial adalah soal cuitan twitter Sandiaga Uno tentang seorang petani bawang bernama Subhan yang mengaku berutang 15 juta di sebuah bank bahkan hingga menggadai rumah orang tuanya. Dalam cuitannya Sandiaga Uno merasa trenyuh mendengar keluhan Subhan yang bercerita sembari menahan air matanya itu.

Namun beberapa jam setelah video keluhan Subhan itu beredar melalui akun twitter Sandiaga Uno, lantas mendapat renspon menohok dari publik. Beredar kabar bahwa Subhan yang berdialog dengan Sandiga Uno di video tersebut ternyata adalah seorang mantan komisioner KPU kabupaten Brebes, Jawa tengah.

Sementara itu Calon Bos Sandiaga Uno, Prabowo Subianto tak luput dari semprotan pihak lawan maupun masyarakat yang melek politk. Pasalnya Prabowo dinilai kerap meresahkan masyarakat tiap pidatonya.

Beberapa hari belakangan ini muncul istilah baru untuk menyebut tubuh politik Prabowo; Bowoisme. Istilah Bowoisme ini berawal dari tulisan Ketua DPD Golkar DKI Rizal Mallaranggeng yang dimuat di laman Qureta.com dengan judul "Rocky Gerung, Kembang, dan Bowoisme".

Dalam artikel yang dimuat pada 11 Februari itu, Rizal mendefinisikan bahwa Bowoisme adalah cara berpikir Prabowo dalam memandang situasi Indonesia.

"Paham ini adalah polesan baru dari paham yang sudah usang, yang banyak diikuti oleh kaum nasionalis dan kaum sosialis pada tahun 1950-an," Tulis Rizal. 

Selanjutnya Rizal menjelaskan pola pikir Prabowo yang dinilainya sempit.

"Paham ini beranggapan bahwa ekonomi negeri kita didominasi asing, kita dipaksa untuk tergantung pada mereka, kekayaan alam kita “dicuri”, dan karena itu kita tidak kunjung maju, tidak kunjung bisa berswasembada pangan, dan sebagainya," kata Rizal dalam artikelnya. Satu hari setelah artikel itu dimuat telah dilihat 108.364 kali dan dibagikan sebnyak 28.9k.

Baik "Sandiwara Uno" maupun Bowoisme, keduanya telah ramai dibicarakan. Alhasil, kedua istilah itu digunakan oleh kubu Joko Widodo - Ma'ruf Amin guna melengkapi amunisinya dalam menyerang penantang.

Namun perlu diperhatikan bahwa saat kubu petahana menyerang dengan materi itu, kompetisi pun semakin intensif dan bahkan menggiring masyarakt untuk saling sindir. 

Jokowi dinilai tidak tepat memposisikan dirinya sebagai calon presiden atau sebagai presiden. Pasalnya belakangan tiap pidato Presiden pada beberpa kesempatan dinilai menyindiri atau menyerang balik penantangnya dalam ajang pilpres. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun