Mohon tunggu...
Yohanes Arkiang
Yohanes Arkiang Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Pembungkus Embun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menolak Pembunuhan Karakter oleh Acara Televisi yang Tidak Edukatif

17 Juli 2018   23:21 Diperbarui: 18 Juli 2018   02:15 997
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: dev.duniaku.net)

Sebelum masuk ke pembahasan, saya ingin jelaskan mengapa saya menempelkan foto acara Rumah Uya pada beranda tulisan ini. Acara ini merupan salah satu acara tv dengan rating tinggi di Indonesia. Kita semua mungkin pernah menonton acara yang dipandu Uya Kuya ini dan tahu apa isi dari acara ini. Klimaks dari acara ini sendiri berisi pesan moral yang bermanfaat sehingga selalu luput dari teguran KPI.

Sayangnya acara yang ditayang di Trans 7 ini, dinilai terlalu mengintervensi urusan pribadi orang. Mengurusi rumah tangga orang. Si pemandu acara dan kru menghakimi pihak yang bertikai dan membongkar kebusukan pribadi seseorang. Lantas dipecahkan masalahnya dengan sangat mudah.Tentu ini menjadi polemik dan menurut saya tak layak dikonsumsi publik.

Namun jarang ada yang tahu kalau acara ini merupakan hanya sebuah settingan alias bohongan. Hal ini saya dapatkan dari beberapa sumber yang membeberkan beberapa bukti bahwa acara ini hanyalah sebuah settingan.

Di atas merupakan salah satu contoh acara yang hemat saya tidak layak dipertontonkan kepada publik Indonesia. Masih banyak lagi acara-acara tv saat ini yang mengedepankan rating atau kuantitas dibandingkan kualitas tayangan. Sebut saja, acara katakan putus, tercyduk, pebuker, dan banyak lagi. 

Persaingan dunia ekonomi masih menjadi faktor utama abainya kualitas dari sebuah acara tv. Sebab, semakin tinggi rating, iklan akan semakin banyak masuk dan tentu pendapatan sebuah stasiun tv akan bertambah. Silogisme ini yang menyebabkan hilangnya kualitas sebuah acara tv.

Media akan menjaring penonton dengan menyuguhkan acara hiburan yang notabene disukai oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Masyaratakat sekarang menyukai suatu acara tv, yang dilihat adalah hal  apa yang menarik, kemudian apa yang sedang viral, dan apa yang menyentuh hati. Sementara itu hal yang kerap ditinggalkan penonton adalah kualitas dari segi edukatif, moral dan manfaat lainnya.

Lalu apa peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selaku regulator tayangan-tayangan televisis Indonesia? KPI yang didirikan tahun 2002 ini mempunyai tugas, kewajiban, fungsi dan wewenang sebagaiaman yang tercantum dalam UU no. 32 tahun 2002.

Dalam UU tersebut KPI mempunyai wewenang :

  1. Menetapkan standar program siaran (SPS).
  2. Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran (P3).
  3. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran.
  4. Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran.

KPI telah menetapkan standar siaran, membuat regulasi dan mengawasi setiap siaran. Seprti yang saya dapatkan dari pelbagai sumber banyak sekali acara tv yang telah mendapat teguran KPI. Namun karena demi rating tinggi rupanya acara-acara itu masih saja nongol di tv dengan formula yang berbeda sehingga luput dari teguran KPI lagi.

Meskipun KPI mempunyai batas-batas wewenang dan mengedepankan kebebasan pers, stasiun tv yang menyiarkan acara-acara tak mendidik tetap saja tidak bisa dibiarkan. Hal ini menurut saya dapat merusak dan mencederai karakter anak bangsa.

Masyarakat milenial Indonesia sekarang sulit sekali terlepas dari kata 'viral'. Apa pun yang sedang hangat terjadi di muka publik, akan menjadi topik pembicaraan di mana-mana dan bahkan diekspose ke media sosial. Mulai dari sinetron hingga ke acara yang bertajuk reality show menjadi konsumsi publik.

Hal ini sangat berdampak terhadap karakter dan budaya bangsa Indonesia. Di mana-mana, anak-anak remaja hingga SD mulai mengikuti adegan-adegan atau pun skenario sinetron. Semua orang dibodohi oleh kebohongan  acara-acara reality show dan mendoktrin pemikiran khalayak penonton. Artis-artis pun agar tetap terkenal terus mencari sensasi di sana-sini.

Generasi apa ini? Sikap selektif dan kritis anak bangsa dibunuh oleh gemuruhnya acara-acara tak berkualitas di tv. Tidak ada pilihan lain selain tv yang paling murah dan terjangkau. Alih-alih supaya dikenal publik, banyak orang menjadi bodoh dengan bertingkah aneh agar masuk tv. Sayangnya itu merupakan definisi baru tentang prestasi. Seorang bisa masuk tv dan terkenal adalah sebuah prestasi. Setidaknya itu yang terjadi saat ini.

Hemat saya, ini harus segera diakhiri secepatnya. Pembunuhan karakter ini harus dihentikan. Kita sudah terjebak. Sulit keluar dari situasi seperti ini sekarang.

Pemerintah seharusnya bertindak. Namun tentu kita sebagai anak bangsa harus sadar akan apa sedang kita alami sekarang. 

Menurut saya, mari kita mulai mengedepankan budaya membaca. Untuk bangsa yang besar ini pelaku penyiar seharusnya sadar bahwa keberadaan media televisi sangat berpengaruh besar bagi bangsa ini. Sehingga seharusnya memberikan tayangan-tayangan yang bermanfaat bagi anak-anak bangsa. Agar menjadi bangsa yang maju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun