Mengelola klub di Liga 3 memang tidak mudah. Ada aspek pembinaan dalam pengeloaannya. Sponsor pun susah didapat karena daya tariknya memang tidak sekuat Liga 2 apalagi Liga 1.
Kepedulian untuk mengurus dua klub sekaligus, seperti yang dilakukan Eko, butuh "nafas panjang" dan sikap konsisten. Masyarakat setempat bisa menikmati hiburan, sekaligus menumbuhkan kebanggaan terhadap klub lokal.
Namun, dengan menjadi CEO di tiga klub akan mengundang persepsi yang tidak baik, meski orang akan kagum akan kemampuan mendanainya. Di situ ada soal kepantasan dan kepatutan.
Kepantasan jelas dimiliki, karena ini menyangkut logika. Pantaslah dengan adanya dana berlimpah mengurusi tiga klub sekaligus.
Sedangkan kepatutan menyangkut perasaan dan hati. Meski pantas tapi tidak bisa melupakan pandangan masyarakat soal patut. Bisa muncul persepsi miring: "untuk apa mengumpulkan banyak klub yang mempunyai hak suara di kongres PSSI?".
Lebih elok jika Eko Setyawan menaruh orang kepercayaannya di Persibo Bojonegoro dan Persikota Tangerang sebagai CEO. Tidak diborong sekaligus karena akan mengundang sorotan soal kepatutan.
Langkah seperti itu sering dilakukan para pemilik atau pemegang saham mayoritas yang memiliki lebih dari satu klub.
Eko Setyawan bisa belajar dari situ, dan tetap membantu perkembangan sepakbola Indonesia yang masih menyisakan lobang-lobang untuk ditambal. Apalagi dia tak hanya masih muda tapi juga anggota Exco PSSI yang memberi arah bagi sepakbola Indonesia. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H