Mohon tunggu...
Kavya
Kavya Mohon Tunggu... Penulis - Menulis

Suka sepakbola, puisi dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Selamat Malam, Jokpin

28 April 2024   00:17 Diperbarui: 6 Juli 2024   11:58 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di sebuah kafe bersama Jokpin (Foto : Dok.Yo)

Selamat malam, kang Joko Pinurbo

Baru sekarang bisa membalas suratmu untukku. Surat yang kau tulis di kata pengantar untuk buku puisiku yang pertama "Di Lengkung Alis Matamu". Surat bertajuk "Surat Malam Untuk Yo" itu kau tulis pada 6 November 2006.

Ada sedikit salah cetak pada buku itu.  Namun jelas itu tak seberapa artinya dibandingkan dengan salah cetak dalam hidup. Salah cetak yang sudah coba kita perbaiki satu demi satu, perlahan dan kadang terkesan lembat tapi tetap kita perjuangkan.

Seperti kau katakan saat berbicara dalam peluncuran buku itu, 25 November 2008 (tanggal yang sengaja kupilih karena bertepatan dengan ulangtahun ibuku), "Jangankan di buku, kadang hidup kita juga sering salah cetak."

Kita sering berkirim kabar. Menjemputmu di Gambir saat hendak tampil di Sastra Reboan, di Raminten saat mengajakmu ngopi dan tentu saja ngudud (merokok), atau saat dirimu datang saat kuundang untuk menyaksikan sastrawan yang tergabung di e-Sastera Malaysia.

Tapi kita tak pernah berbicara tentang puisi. Apalah artinya diri ini, lelaki yang tertatih mencari remahan kata-kata, dibandingkan dirimu yang sudah mengibarkan celana ke segala arah. Menanggalkannya di jendela dan sudut-sudut hati.

Joko Pinurbo saat berkunjung ke kantor Batam Pos (Foto : Dok.Yo)
Joko Pinurbo saat berkunjung ke kantor Batam Pos (Foto : Dok.Yo)

Kita lebih sering berbagi cerita tentang keluarga, tentang perempuan yang terperangkap puisi, dan perempuan itu pun menjerat kita. Juga bersama menertawakan kehidupan dan hidup, seperti tentang penyair yang tak jarang terantuk kebutuhan sehari-hari. Ah, bukankah kita juga mengalaminya, bagian dari mereka juga, dengan kegagapan yang sama?.  

Ada saat kita berbincang bersama beberapa teman penyair, saat engkau menginap di rumahku. Ada Dedy Tri Riyadi, TS Pinang, Cak Bono dan Gita Pratama.

Tapi kita tak bersedih saat terantuk berbagai masalah. Kita menjadi lebih kuat, dan tak memucat menghadapi hari esok yang sering masih entah.

Seperti pernah kau tuliskan dalam "Puisi Kesedihan": kesedihan bisa digunakan/ untuk menggarisbawahi kebahagiaan.

Satu hal yang mudah ditangkap darimu : sederhana. Seperti kata-kata yang kau pungut di pelataran kehidupan. Kesederhanaan kata-kata yang kemudian menjadi tikaman perasaan. Entah mengernyitkan dahi atau terpingkal usai membaca puisimu.

Kata-katamu selalu sederhana, Bahasa sehari-hari. Tidak menukik, bersilat kata atau memakai idiom biar kelihatan serius atau keren. Seperti itu juga keseharianmu.

Kesederhanaan itu yang meruntuhkan sekat penyair senior dan anak bawang alias pemula. Sekat yang sangat terasa bagi para pemula seperti aku. Sekat yang kemudian membuatku kemudian membuat panggung bagi semua : Sastra Reboan.

Mereka yang pernah bertemu denganmu merasakan keakraban, sekaligus bisa mencuri aura kepenyairanmu. Seperti saat aku ajak dirimu bertemu dengan teman-teman komunitas Bunga Matahari, atau kau berbicara di malam-malam yang pengap di Warung Apresiasi, Bulungan, Jakarta Selatan.

Tanpa sekat itu yang aku rasakan ketika kita diundang penyair Hasan Aspahani untuk mengisi acara di Bintan Art Festival, Januari 2007. Saat kita menanti pesawat di Bandara Soekarno-Hatta, aku ajak ke kafe, kau mengeluarkan makian khas Jogja saat melihat harga secangkir kopi.

Hasan juga mengundang kita ke kantor redaksi Tribun Batam usai kita tiba di Batam. Malamnya, usai acara, dia menemani kita ngobrol di lobi hotel bersama Butet Kartarajasa.


Ibadah

Dalam kekangan waktu dan salah cetak hidup, kau terus melesat dengan menunaikan ibadah puisi. Ibadahku bolong, tapi tetap dijalani. Puisi masih lahir di tengah komedi kehidupan.

Pernah aku sapa, dirimu sedang mengisi ibadah di sebuah kota di Kalimantan. "Aku kirim biskuit untuk dicoba,semoga renyah," katamu saat itu.

Namun, selalu kutangkap kesedihanmu. Seolah tak pernah habis meski berbatang rokok sudah tergeletak tak berdaya di asbak. Kesedihan yang juga milik banyak orang yang tak sempat dijadikannya puisi.

Di sebuah kafe bersama Jokpin (Foto : Dok.Yo)
Di sebuah kafe bersama Jokpin (Foto : Dok.Yo)

Banyak hal belum sempat kita bincangkan, seperti biasanya saat malam mulai merayap menjemput sepi.

Lalu kesedihan itu tiba, meski aku tahu kita tak pernah bisa melawan waktu. Kau pergi lebih dahulu, terbaring diam di Rumah Sakit Panti Rapih, Jogja pukul 06.03. Pagi di Jogja dengan sisa dingin, dan celana yang belum kering di jemuran. Kabar pun semerbak berdatangan : Joko Pinurbo Berpulang.

Kau pergi lebih dahulu setelah memperbaiki banyak salah cetak dalam hidup. Aku dan teman-teman penyair, juga penggemarmu, akan terus mencoba menutupi salah cetak itu.

Pergimu juga menyisakan satu buku yang belum sempat aku mintai tandatanganmu. "Kepada Cium" yang di dalamnya ada namaku, sebagai tukang jepret untuk fotomu.

Aku pun belum sempat menjawab apa yang kau tulis dalam pengantar di buku puisiku :

"Yo, aku mengerti bahwa puisi bukan sekadar kata-kata. Salah satu salah kaprah kita, para penyair, ialah bahwa kita suka memaksa kata-kata untuk mampu menyatakan semua yang ingin dikatakan hati dan pikiran kita (dan itulah sebabnya, sajak-sajak kita, para penyari, sering terkesan cerewet dan sok tahu). Meminjam kata-kata dalam sebuah sajak Toto Sudarto Bachtiar, "kata-kata tidak cukup buat berkata". 

Pada akhirnya yang tertinggal dari pusi mungkin bukan lagi kata-kata, melainkan apa yang telah digoreskan atau ditorehkan kata-kata. Ah, di akhir gelisahku malam ini, aku terpikat pada sajak pendekmu "Puisi Bagimu".

sajak-ajakku tergeletak di meja
terisak tanpa kata

Selamat malam, Yo. Selamat datang di dunia penulisan sastra. Kalau pun tidak berniat menjadi seorang petarung atau petualang, kau dapat menjadi seorang pencinta yang keras kepala."

Aku cuma ingin mengatakan, dalam keterlambatan dan isak yang membisu, bahwa aku telah memilih menjadi petarung yang keras kepala.

Selamat malam, Jokpin. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun