Mohon tunggu...
Kavya
Kavya Mohon Tunggu... Penulis - Menulis

Suka sepakbola, puisi dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Semilir Angin dalam Kelanjutan Match Fixing yang Melibatkan PSS Sleman

18 April 2024   17:46 Diperbarui: 18 April 2024   17:46 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam konferensi pers di Jakarta, 19 Februari 2023. (Foto : kompas.com)

"Saya pernah katakan, jangan main-main. PSSI sudah berkomitmen dengan Polri. Kami selidiki, ada bukti yang kuat, maka langsung sikat, tidak pandang bulu."

"Jika ingin sepak bola kita bersih, apalagi ini sudah menjadi permintaan dari Presiden Jokowi, maka harus punya nyali untuk berantas suap dan judi di sepak bola."

Pernyataan gagah dan menggebu-gebu itu disampaikan oleh Ketua Umum PSSI Erick Thohir di Jakarta, Kamis, 21 Desember 2023.

Seminggu sebelumnya, 13 Desember 2023, usai penandatangan MoU antara Satgas Antimafia Bola Polri dan Satgas Mafia Independen, Kapolri Listyo Sigit mengungkapkan penetapan Vigit Waluyo sebagai tersangka alam kasus match fixing (pengaturan hasil pertandingan) pada laga Liga 2 2018 antara PSS Sleman vs Madura FC.

"Ada salah satu aktor intelektual pengaturan skor yang mungkin namanya cukup malang melintang di dunia persepakbolaan dengan inisial VW (Vigit Waluyo), ini sudah dikenal dari tahun 2008 dan tak tersentuh hukum. Alhamdulillah ini bisa kita ungkap," kata Sigit.

"Kita temukan ada upaya pengaturan skor agar klub yang akan terdegradasi lolos dan ini sudah didalami secara khusus," tambah Sigit soal peran VW di kasus match fixing Liga 2.

Satgas Antimafia Bola Polri ini dibentuk oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bersama dengan Ketua Umum PSSI Erick Thohir. Pembentukan satgas ini merupakan instruksi langsung dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar persepakbolaan Indonesia bersih dari mafia.

"Saya ingin menambahkan soal status pihak yang terlibat mereka akan dihukum seumur hidup tidak ada di sepakbola. Kalau klub mekanismenya ada di Komdis dan Exco," kata Erick Thohir  .

"Saya mengusulkan mekanisme pengurangan poin dan hukuman lainnya agar klub bisa menjaga permainan di Liga Indonesia agar kompetisi bersih," tambah Erick yang juga Menteri BUMN.

Sedangkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan : "Ada salah satu aktor intelektual pengatur skor yang mungkin namanya cukup malang melintang di dunia pesepakbolaan dengan inisial VW (Vigit Waluyo)."


Divonis

Sidang kasus pengaturan skor yang melibatkan Vigit dan Dewanto bersama 6 tersangka lainnya sudah digelar.

"Kartiko (Mustikaningtyas), Vigit (Waluyo), Dewanto (Rahadmoyo), Ratawi, dan Agung Setiawan (sudah menjalani vonis)," kata Humas PN Sleman, Cahyono saat dihubungi wartawan, 5 April 2024.

Dalam amar putusan majelis hakim PN Sleman, terdakwa Vigit Waluyo dinyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah dalam kasus suap. Vigit yang mantan Manager Deltras Sidoarjo itu kemudian dijatuhi hukuman penjara 5 bulan dan denda sebesar Rp 2 juta subsider kurungan 2 bulan

Sedangkan Dewanto dijatuhi hukuman pidana penjara 3 bulan 15 hari dan pidana denda Rp 2 juta subsider kurungan 1 bulan.

Sementara untuk terdakwa Agung Setiawan dan Ratawi, mendapat vonis pidana penjara masing-masing selama 5 bulan dengan masa percobaan selama 10 bulan.

Satu lagi terdakwa yakni Kartiko Mustikaningtyas dijatuhi vonis penjara 5 bulan dan denda Rp 2 juta subsider kurungan dua bulan.

Menurut Humas PN Sleman, kelima terdakwa yang sudah menjalani sidang vonis tidak mengajukan banding alias menerima keputusan vonis.

Selain lima terdakwa yang sudah menjalani vonis, masih ada tiga terdakwa lainnya, yaitu Antonius Rumadi, M Reza Pahlevi, dan Khairuddin. Ketiganya belum mendapatkan vonis.

Menjelang laga PSS Sleman vs Madura FC, 6 November 2018 (Screenshot via instagram/@madura.fc_official)
Menjelang laga PSS Sleman vs Madura FC, 6 November 2018 (Screenshot via instagram/@madura.fc_official)
Semilir

Dijatuhkannya vonis bagi Vigit Waluyo dan enam terdakwa lainnya sayangnya seperti semilir angin. Berhembus lembut dan melenakan.

Semilir itu membuat kita lupa ada perbedaan besar pada hukuman yang dijatuhkan kepada Vigit dan terdakwa lainnya dalam kasus yang sama yakni match fixing pada 2019. Mereka adalah Dwi Irianto alias Mbah Putih, yang saat itu menjadi anggota Komdis PSSI dan Johar Lin Eng yang Ketua Asprov PSSI Jawa Tengah.

Johar Lin Eng divonis penjara 1 tahun sembilan bulan dalam sidang kasus mafia bola dengan agenda pembacaan putusan di Pengadilan Negeri (PN) Banjarnegara, Jawa Tengah, 11 Juli 2019.

Dalam persidangan Johar terbukti menerima uang sebanyak Rp 200 juta dari terdakwa Priyanto alias Mbah Pri yang menjadi Komite Wasit PSSI Jateng. Uang tersebut digunakan untuk mengkondisikan perangkat pertandingan seperti wasit.

Sedangkan Mbah Putih divonis hukuman penjara 1 tahun 4 bulan, karena terbukti menerima uang sebanyak Rp 61 juta dari Mbah Pri dalam beberapa tahap. Uang tersebut diterima sebagai imbalan untuk memenangkan Persibara dalam Liga 3 Kabupaten Kediri dan Pasuruan.

"Perbuatan terdakwa bertentangan dengan Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Penyuapan juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan pertama," kata majelis hakim saat membacakan vonis untuk Mbah Putih.

Semilir angin juga membuat PSSI terlena sehingga lupa subyek dari perbuatan yang dilakukan oleh Vigit dan Dewanto memberi suap ke perangkat pertandingan. Subyek itu adalah klub, yakni PSS Sleman yang kemudian menjadi juara Liga 2 2018 dan lolos ke Liga 1.

Klub kebanggaan warga Sleman, Yogyakarta itu diduga terlibat dalam kasus match fixing saat mereka masih berlaga di Liga 2 2018, dan kemudian berhasil promosi dan saat ini masih bertahan di Liga 1.


Dari Bukti

Pengungkapan kasus match fixing oleh Satgas Antimafia Bola Polri pada salah satu pertandingan di Liga 2 2018, yakni laga antara PSS Sleman vs Madura FC paa 6 November 2018 tentu bukan untuk pamer bahwa Satgas sudah bekerja.

Langkah tegas itu patut diapresiasi, dan menunjukkan keseriusan pihak kepolisian untuk membantu persepakbolaan Indonesia menjadi lebih baik. Tidak hanya berpidato seperti halnya para politisi, tapi lewat tindakan nyata.

Dalam laga itu, terjadi beberapa kejanggalan. Mulai dari gol pemain Madura FC, Usman Pribadi yang dianulir wasit, lantaran dinilai sudah terperangkap offside terlebih dahulu.

Dari tayangan ulang, sang pemain saat menerima bola sedang dalam posisi onside.

Tak hanya itu, sesuatu yang jarang terjadi muncul dalam laga di Stadion Maguwoharjo itu. Ada pergantian wasit M Reza Pahlevi yang digantikan wasit cadangan Agung Setiawan di tengah pertandingan lantaran Reza mengalami cedera.

Hal ini pun sempat mengundang pertanyaan dan polemik.

Kejanggalan lain, muncuk pada Hingga gol PSS Sleman di menit ke-81 melalui gol bunuh diri bek Madura FC, Muhammad Choirul Rifan yang mencoba menghalau umpan silang pemain PSS Sleman, Ilhamul Irhas.

Tak hanya menahan ketiga tersangka di Rutan Bareskrim Polri, Satgas Anti Mafia Bola juga memberikan rekomendasi kepada Komdis PSSI.

Pertama, mereka merekomendasikan PSS Sleman degradasi secara otomatis ke Liga 2 dan pengurangan poin. Kedua, pengurangan poin kepada Persikabo 1973 karena menerima sponsor judi online.


Ancaman Degradasi

Anggota Satgas Independen Antimafia Bola, Akmal Marhali saat itu juga angkat bicara soal adanya ancaman degradasi kepada PSS Sleman.

Vigit Waluyo saat diumumkan sebagai tersangka (Foto : kompas.com)
Vigit Waluyo saat diumumkan sebagai tersangka (Foto : kompas.com)
Menurut Akmal yang juga coordinator Save Our Soccer, sesuai peraturan yang ada, PSS memang harus didegradasi jika terbukti secara sistematis terlibat dalam manipulasi hasil pertandingan secara ilegal.

"Sesuai Kode Disiplin PSSI Pasal 72 ayat 5, PSS harus turun kasta. Disebutkan bahwa Klub atau badan yang terbukti secara sistematis melakukan konspirasi mengubah hasil pertandingan sebagai mana dimaksud pada ayat 1 pasal 72, dijatuhi sanksi dengan sanksi denda sekurang-kurangnya Rp500 juta, sanksi degradasi, dan pengembalian penghargaan," kata Akmal.

Apakah benar sanksi berupa degradasi bisa dikenakan kepada PSS Sleman, klub yang punya julukan Super Elang Jawa (Super Elja)? Bagaimana soal match fixing itu diatur dalam Kode Disiplin PSSI dan Regulasi Liga 1?.

Perkara suap itu disebut dan diatur dalam Kode Disiplin PSSI 2023, yang disebut dalam Pasal 64 tentang Korupsi.

Dalam pasal 64 poin 1 Kode Disiplin PSSI 2023 tertulis tindakan korupsi itu adalah suap.

Pasal itu berbunyi : "Siapa saja yang melakukan tingkah laku buruk terlibat suap, baik dengan cara menawarkan, menjanjikan atau meminjam keuntungan tertentu dengan memberikan atau menerima sejumlah uang atau sesuatu yang bukan uang tetapi dapat dinilai dengan uang dengan cara dan mekanisme apapun kepada atau oleh perangkat pertandingan, pengurus PSSI, ofisial, pemain, dan/atau siapa saja yang berhubungan dengan aktivitas sepak bola atau pihak ketiga baik yang dilakukan atas nama pribadi atau atas nama pihak ketiga itu sendiri untuk berbuat curang atau untuk melakukan pelanggaran terhadap regulasi PSSI termasuk Kode Disiplin PSSI ini dengan maksud mempengaruhi hasilpertandingan, harus diberikan sanksi."

Ancaman sanksi degradasi disebutkan dalam poin 5 bagi tim yang melakukan suap. Untuk klub non-Liga 1 dan non-Liga 2 didiskualifikasi. Sedangkan untuk tim Liga 1 dan Liga 2 bisa terkena degradasi.

Bunyi lengkap poin 5 itu adalah : "Klub atau badan yang anggotanya (pemain dan/atau ofisial) melakukan pelanggaran sebagaimana diatur dalam ayat (1) dan pelanggaran tersebut dilakukan secara sistematis (contoh: dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa anggota dari klub atau badan tersebut) dapat dikenakan sanksi: A. Diskualifikasi, untuk klub non-Liga 1 dan non-Liga 2, B. Degradasi, untuk klub partisipan Liga 1 dan Liga 2. C. Denda sekurang-kurangnya Rp150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah)."

Sedangkan istilan pengaturan hasil pertandingan alias match fixing disebut dalam pasal 72 Kode Disiplin PSSI 2023

Di Poin 1 disebutkan : Siapapun yang berkonspirasi mengubah hasil pertandingan yang berlawanan dengan etik keolahragaan dan asas sportivitas dengan cara apapun dikenakan sanksi berupa sanksi skors, sanksi denda minimal sekurang-kurangnya Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan sanksi larangan ikut serta dalam aktivitas sepak bola seumur hidup.

Di poin 2 tentang sanksi bagi perangkat pertandingan berupa denda minimal Rp 350 Juta. Sementara itu di poin 3 untuk pemain dengan denda Rp 250 juta, dan poin 4 bagi ofisial atau pengurus dengan denda Rp 300 Juta.

Sedangkan terkait keterlibatan klub, yang bisa berakibat jatuhnya sanksi degradasi, diatur dalam poin 5 yang berbunyi : "Klub atau badan yang terbukti secara sistematis (contoh: pelanggaran dilakukan atas perintah atau dengan sepengetahuan pimpinan klub, dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa anggota dari klub atau badan tersebut) melakukan konspirasi mengubah hasil pertandingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas, dijatuhi sanksi dengan (i) sanksi denda sekurang-kurangnya Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dan (ii) sanksi degradasi, dan (iii) pengembalian penghargaan."

Lebih Ngeri

Meski sanksi yang didapat klub sudah terbilang berat, didegradasi dan denda Rp 150 juta di Kode Disiplin 2023, namun sanksi dalam Regulasi Liga 1 2023/2024 jauh lebih berat. Bahkan bisa membuat bangkrut klub.

Di Pasal 3 poin 7 f Regulasi, dengan tegas mengatakan : tidak mentoleransi segala bentuk manipulasi (dengan menawarkan atau mencoba menawarkan suap atau mencoba menerima atau mencari suap) atau mepengaruhi hasil atau aspek lain dari pertandingan.

Sedangkan tentang sanksi diatur di Bab II tentang Peserta, Jadwal dan Sistem Kompetisi.

Dalam pasal 7 Pengunduran Diri Setelah Kompetisi Dimulai di poin 1 disebutkan, apabila terdapat klub yang menyatakan mengundurkan diri setelah dimulainya Liga 1, berlaku hal-hal sebagai berikut :

a. Seluruh hasil pertandingan yang sudah dijalani oleh klub yang mengundurkan diri dibatalkan dan dinyatakan tidak sah. Seluruh poin dan gol dari klub tersebut  dan klub lawan tidak akan dihtung dalam menentukan klasemen akhir.

c. Klub yang mengundurkan diri harus membayar biaya kompensasi terhadap kerugian yang timbul dan dialami oleh klub lainnya, PSSI, LIB, sponsor, televisi dan pihak terkait lainnya.

Nilai kompensasi akan ditetapkan oleh LIB.

d. diskualifiksi terhadap klub yang mengundurkan diri dari BRI Liga 1 dan 2 musim berikutnya dan hanya dapat dapat bermain di kompetisi yang akan ditentukan oleh PSSI

e. Klub yang mengundurkan diri dihukum denda sebesar Rp 3 miliar apabila mengundurkan diri pada putara 1 (pekan pertandingan ke-2 hingga ke-17), dan sebesar Rp 5 miliar apabila mengundurkan pada putaran 2 (pekan pertandingan ke-18 hingga ke-34).

f. Klub yang mengundurkan diri akan dilaporkan ke Komite Disiplin PSSI untuk mendapatkan sanksi tambahan.

g. Klub yang mengundurkan diri harus mengembalikan seluruh kontribusi yang telah diterima yang terkait penyelenggaraan Liga 1.

2. Ketentuan Paal 6 dan 7 tidak berlaku untuk keadaan force majeure yang diakui oleh PSSI, LIB dan NKRI.

Lips Service 

Vonis terhadap Vigit Waluyo dan Dewanto seharusnya menjadikan perkara lebih terang benderang karena sudah memiliki landasan hukum dari pengadilan.

Dewanto saat musim 2018 menjadi Asisten Manajer PSS Sleman, mendampingi Sismantoro sebagai manajer. Apakah Dewanto yang adik ipar Seto Nurdiyantoro (pelatih PSS saat itu) bertindak sendiri sebagai pribadi menggelontorkan ratusan juta untuk menyuap wasit melalui Vigit?

Apakah karena kecintaannya yang begitu besar terhadap PSS Sleman hingga ia melakukan hal itu?. Sebagai pengusaha, pemilik apparel Sembada, ia tentu berhitung untung rugi berbagai aspek.

Setelah Dewanto ditahan, Satgas mencokok Antonius Rumadi pada 2 Februari 2024. Kasi Pidum Kejaksaan Negeri (Kejari) Sleman, Agung Wijayanto menjelaskan Rumadi berperan besar dalam pengaturan skor karena memerintahkan untuk mengeluarkan uang suap kepada wasit.

Apakah Rumadi yang pada kompetisi 2018 menjabat sebagai Direktur Operasional PSS bertindak sendirian, mengeluarkan keputusan sendiri, tanpa sepengatahuan Direksi PT Putra Sleman Sembada sebagai induk tim?.

Uang suap yang dikeluarkan untuk melobi wasit tidaklah sedikit. Menurut Kasatgas Antimafia Bola, Asep Edi Suheri dalam keterangannya, 13 Desember 2023, pihak klub sudah mengeluarkan uang Rp 1 miliar.

Sekarang tinggal bagaimana PSSI bersikap. Tanpa adanya sikap, publik akan menilai pernyataan Erick Thohir soal match fixing, sampai membentuk Satgas Antimafia Bola Independen hanyalah lips service semata. Agar publik melihat PSSI serius menangani match fixing.

PSSI punya waktu untuk menentukan sikapnya melalui Komdis, apakah PSS Sleman dibiarkan melenggang meskipun pengadilan sudah menjatuhkan vonis adanya pengaturan hasil pertandingan lewat Dewanto dan Vigit. Waktu yang tidak lama, karena jika PSS Sleman sampai dihukum degradasi tentu membutuhkan persetujuan di kongres yang akan diadakan pada 10 Juni 2024 mendatang.

Jika PSSI lebih memilih membisu, terlena dengan angin semilir, publik akan mecibir. Ternyata semuanya hanya pemanis bibir. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun