Mohon tunggu...
Kavya
Kavya Mohon Tunggu... Penulis - Menulis

Suka sepakbola, puisi dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Tidak Ada Catatan Pembukuan 2017-2019 yang Jadi Perenungan

14 Mei 2023   06:49 Diperbarui: 14 Mei 2023   07:00 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa media memberi judul beritanya dengan menohok, setidaknya mirip pemilihan kata-katanya: "Kacau! PSSI Periode 2017-2019 Tidak Punya Catatan Pembukuan."

Judul itu mengambil pernyataan PSSI yang menyebutkan bahwa pembukuan pengurus PSSI periode 2017-2019 paling buruk.

Pernyataan itu berdasarkan hasil sementara audit keuangan PSSI, yang di bawah kepemimpinan Erick Thohir menggandeng firma Ernst & Young.

Buruknya, kata anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI periode 2023-2027, Arya Sinulingga menyebut bahwa pada periode 2017-2019 tidak punya catatan pembukuan. Akibatnya, PSSI sekarang harus menyewa pihak lain untuk menelusuri aliran dana yang masuk dan keluar.

Jelas, pernyataan itu sangat mengejutkan. Tidak ada catatan pembukuan adalah hal yang mencengangkan, sekaligus menimbulkan tanda tanya besar.

Organisasi sebesar PSSI, dengan pemberitaan paling banyak dibandingkan federasi atau induk organisasi olahraga lainnya, apakah sebodoh itu tidak punya catatan pembukuan. Seolah PSSI itu organisasi tukang parkir pinggir jalan yang tidak mencatat berapa pemasukan dan pengeluaran.

Publik bisa saja manggut-manggut dengan pernyataan itu, karena disampaikan oleh anggota Exco. Namun, secara logika apakah benar seblunder itu para pengurus PSSI periode 2016-2020 yang saat itu dipimpin oleh Edy Rahmayadi dengan wakil ketua umumnya Joko Driyono dan Iwan Budianto, serta Sekjen Ratu Tisha.

Edy Rahmayadi kemudian menyatakan mundur dari jabatan sebagai Ketua Umum PSSI, yang disampaikannya dalam Kongres PSSI di Hotel Sofitel, Bali, Minggu, 20 Januari 2019. Saat itu ia baru terpilih sebagai Gubernur Sumatra Utara periode 2018-2023.

Dengan mundurnya Edy, pucuk organisasi PSSI untuk sementara dijabat oleh Wakil Ketua Umum PSSI Joko Driyono. Kemudian saat Joko Driyono tersandung masalah hukum, Iwan Budianto menggantikannya.

Sasaran

Kembali pada pernyataan tidak adanya catatan pembukuan pada tahun 2017-2019.

Para anggota PSSI tentu akan mempersoalkan jika tidak adanya laporan keuangan, karena menyangkut jumlah uang yang tidak sedikit. Misalnya, bantuan FIFA setiap tahunnya untuk operasional organiasi, uang denda dari Komisi Disiplin, pemasukan pertandingan internasional dan sebagainya.

Setidaknya, mereka mendapatkan laporan itu saat berlangsung kongres tahunan. Laporan keuangan yang disampaikan pengurus itu selalu ada.

Begitu juga saat kepengurusan berakhir, ada serah terima kepada pengurus baru. Dalam hal ini, kepengurusan saat itu yang dipimpin oleh Iwan Budianto sebagai Plt. Ketua Umum ke pengurusan baru yang dipimpin Mochammad Iriawan yang akrab dipanggil Iwan Bule (periode 2019-2023).

Jika memang tidak ada catatan atau pembukuan selama 2017-2019 kenapa kepengurusan Iwan Bule diam saja, tidak mempersoalkan hal itu?. Apa sistem manajemen keuangan di periode 2019-2013 memang  amburadul?.

Menurut anggota Exco PSSI periode Edy Rahmayadi, yang tak mau disebut namanya, dalam kepengurusan yang diwarnai dengan pengunduran diri Edy serta adanya dua Plt Ketua Umum itu, tak hanya hutang-hutang PSSI yang sudah dilunasi, tapi juga meninggalkan saldo di kas organisasi yang didirikan oleh Soeratin itu.

Jika ada yang tidak percaya atau bersikap sinis terhadap klaim itu, sah-sah saja, karena hanya anggota PSSI yang tahu kebenarannya, terutama para voter yang mendengar dan melihat paparan laporan keuangan saat kongres.

Namun, sungguh tidak masuk akal jika dalam tiga tahun (2017-2019) tidak ada pencatatan kas keluar dan masuk sama sekali. Kongres tahunan saja, tidakkah dicatat pengeluarannya untuk sewa ruangan kongres, akomodasi dan lainnya?.

Maka pertanyaan usil yang muncul dari dipublikasikannya tidak ada pencatatan keuangan di era Edy Rahmayadi : Sebenarnya apa tujuan disampaikan hal itu?. Apakah menyasar pada seluruh pengurus PSSI periode 2016-2020 atau perorangan?.

Bukankah mudah menelusuri keuangan PSSI pada 2017-2019 yang disebut paling buruk itu. Jika tak ada catatannya, seperti pernyataan anggota Exco tersebut, bisa ditanyakan pada pihak yang mengaudit saat itu. Tidak mungkin tak memiliki file-nya.

Kalau tidak, bukankah bisa ditanyakan kepada Ratu Tisha yang saat ini menjadi Wakil Ketua Umum II PSSI?. Peran seorang Sekjen sangat krusial, ia seharusnya mengetahui arus keuangan PSSI yang dinilai hilang selama periode 2017-2019.

Sebagai Sekjen, Tisha tentu tahu kemana saja uang itu digunakan, dipakai untuk kepentingan organisasi.

Jika sasaran pernyataan itu adalah kepengurusan Edy Rahmayadi, tidak sulit bagi Erick Thohir meminta keterangan dari anggota Exco, Sekjen dan pihak lainnya di era kepengurusan Edy Rahmayadi.

Hanya menyoroti kurun waktu 2017-2019 bisa menimbulkan persepsi bahwa kepemimpinan PSSI di periode 2016-2020 memang bobrok, sampai tidak punya catatan keuangan. Sedangkan di era Iwan Bule lebih baik soal pencatatan keuangannya.

Petarung

Perkara pernyataan itu harus dibuat terang benderang, karena sekali lagi merupakan tindakan yang sulit diterima akal sehat  jika tidak ada catatan keuangan dalam periode 2017-2019. Ini menyangkut nama baik mereka yang pernah duduk di era kepengurusan Edy Rahmayadi.

Rentetan pertanyaan juga bisa bermunculan jika didiamkan saja. Semisal, catatan keuangan itu bukannya tidak dibuat, memang ada tapi hilang setelah serah terima kepada pengurus baru. Bila ini yang terjadi, sekali lagi, mudah melacaknya. Seperti disebutkan di atas, penelusurannya bisa ke lembaga audit yang ditunjuk pada periode 2017-2019, atau ke Ratu Tisha sebagai Sekjen saat itu.

Tisha sendiri yang merupakan Sekjen PSSI perempuan pertama mundur dari jabatan pada 13 April 2020.

Perempuan lajang yang menduduki jabatan Sekjen PSSI pada Maret 2017 punya gelar master FIFA, dan pengalaman menangani turnamen. Sebelum menjadi Sekjen ia adalah Direktur Kompetisi Indonesia Soccer Championship (ISC) 2016. Ajang itu merupakan kompetisi pengganti selama carut-marut sepak bola Indonesia buntut pembekuan FIFA pada 2015.

Ia juga pernah melewati situasi berat ketika di awal 2019 berususan dengan Satgas Anti Mafia Bola. Tisha diperiksa sebagai saksi terkait kasus dugaan pengaturan skor PSS Sleman vs Madura FC di Liga 2, dan aman dari jeratan perkara itu.

Di pertengahan 2019 permintaan Tisha mundur dari posisi Sekjen PSSI kembali mencuat. Kali ini terkait kontroversi penundaan pertandingan leg kedua final Piala Presiden 2019 antara PSM Makassar vs Persija Jakarta di Stadion Andi Matalatta, Minggu (28/7).

Tentu dengan segudang pengalaman yang ada, tak hanya menjadikan ia sosok yang mengerti bagaimana mengelola organisasi, tapi juga petarung dengan mental kuat. Setelah mundur sebagai Sekjen ia comeback ke PSSI dengan terpilih sebagai Wakil Ketua Umum.

Kini, dengan kasus catatan keuangan 2017-2019 menarik dinanti apakah ia petarung atau hanya diam saja menyaksikan kegaduhan tuduhan kepengurusan Edy Rahmayadi paling buruk soal organisasi?. Dimana dalam periode itu ia memegan peran vital. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun