Mohon tunggu...
Kavya
Kavya Mohon Tunggu... Penulis - Menulis

Suka sepakbola, puisi dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Istiqomah dan Jalan Senyap Pembinaan Sepak Bola Usia Dini

22 Juni 2022   18:30 Diperbarui: 24 Juni 2022   14:59 2064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebanyakan negara masih menganggap program pengembangan akar rumput sebagai kewajiban,bukan kesempatan

(Tom Byer, tokoh di balik kesuksesan sepakbola Jepang)
Ketika tim nasional Indonesia U-19 dan U-23 menggelar pusat pelatihan (TC) di Korea Selatan pada April 2022 ada yang menjadi sorotan Sports Donga, salah satu media di negeri ginseng itu.

Meski menyandang nama timnas ternyata para pemain masih harus belajar latihan dasar sepakbola. Coach timnas, Shin Tae-yong memberikan pelajaran menyundul, menembak dan passing.

Pemilihan TC di Korsel itu berdasar pada dua hal. Pertama, Shin Tae-yong ingin membentuk mental para pemain agar bisa seperti pemain Korsel. Kedua, cuaca yang sangat dingin dapat membuat fisik yang kuat yakni bisa melawan cuaca.

Pelajaran dasar bagi mereka yang menyandang gelar sebagai pemain timnas terasa ironis. Tapi itu kenyataan yang ada. Kenyataan yang makin membuka mata kita bahwa ada yang salah pada pembinaan usia dini di negara ini.

Kekeliruan yang tak hanya pada sosok pelatih tapi juga banyak faktor seperti kualitas lapangan, pola pikir orangtua pemain dan lainnya. Semuanya merupakan mata rantai yang punya banyak kaitan.

"Untuk melahirkan pemain seperti Son Heung-Min (striker Korea Selatan yang meraih sepatu emas bersama Mo Salah di Liga Premier Inggris) butuh proses panjang. Kita berinvestasi pada pembinaan usia 8, 10 dan 12 tahun, tidak bisa memetik hasil dalam sekejap. Hasilnya akan terlihat 5 tahun ke depan," kata Ketua Askab (Asosiasi Kabupaten) PSSI Sleman, Wahyudi Kurniawan beberapa waktu lalu.

Sambil menikmati jajanan pasar dan kopi, ayah dua anak yang akrab disapa WK  menegaskan bahwa pembinaan sepakbola usia dini bukan hal mudah.

Astara saat bertanding dengan Son Football Academy (Foto : IG Son Football Academy)
Astara saat bertanding dengan Son Football Academy (Foto : IG Son Football Academy)
"Kita harus benar-benar istiqomah. Dibutuhkan keikhlasan, kesabaran karena ada proses yang dilalui, dengan hasil yang tidak instan. Membina pemain muda tak ubahnya menyusuri jalan senyap,"tambah WK.

Pemilik grup Planet Biru, kelompok bisnis yang bergerak di beberapa sektor bisnis itu memberi contoh bagaimana pembinaan usia dini di Korea Selatan. Banyak hal yang dipelajarinya saat mengikuti pertandingan persahabatan dengan tim dari lima negara.

WK bersama Tim Akademi Sepakbola Nusantara (Astara) baru mengikuti pertandingan persahabatan dengan tim U-12 Kota Chuncheon, Provinsi Gangwon, Korea Selatan pada 7-12 Juni 2022.

Astara berlaga mewakili Indonesia di Son Heung Min International U12 Friendship Soccer Competition. Rombongan itu terdiri dari 18 orang terdiri dari 13 pemain dan 5 ofisial.

Sebagai sebuah akademi Astara sudah dikenal di Sleman. Berdiri pada 2012 Astara dihuni oleh para pemain pilihan dari SSB (Sekolah Sepakbola) yang ada di Sleman. Tercatat ada 34 SSB dengan 26 SSB yang sudah terafiliasi. Dari kompetisi beberapa kelompok usia yang diputar secara rutin setiap tahunnya dan diikuti 26 SSB diambil pemain terbaik untuk dibina di Astara.

Para pemain Astara memetik hasil memuaskan di kota Chuncheon. Mereka menang atas Vietnam 6-0, Mongolia (5-1), Son Football Academy (2-1) dan kalah saat menghadapi Singapore (2-4) serta Kolombia (2-3).

"Meski meraih hasil bagus, namun bukan itu tujuan utama mengikuti pertandingan persahabatan di Chuncheon. Di usia 8 hingga 12 tahun merupakan masa pembentukan karakter seorang pemain. Disiplin dan sebagainya dibentuk di jenjang usia itu," jelas WK.

Kesempatan untuk bisa menghadapi tim-tim di Korea Selatan merupakan hal yang sangat berarti bagi para pemain Astara. Peluang ini tak lepas dari hubungan bilateral yang akrab antara Yogyakarta dan Chuncheon, kota tempat Son Heung-Min..

Hampir 100 persen yang terkait dengan akomodasi dibiayai oleh Pemda Yogyakarta melalui Dinas Investasi dan Penanaman Modal DIY.

Berpolitik

Bagi WK yang sejak remaja bermain sepakbola dan suka seni grafis perjalanan ke kota Chuncheon banyak membawa hikmah. Tak hanya bagi dirinya pribadi sebagai pelaku sepakbola, para pemain Astara tapi juga pengembangan pembinaan usia dini.

Di kota itu, yang ia yakin juga dilakukan di kota-kota lainnya di Korea Selatan, infrastruktur menjadi concern eksekutif dan legislatif. Ini seperti ciri khas bagi negara yang memiliki budaya sepakbola kuat.

Walikota dan legislatif membiayai semua kegiatan pembangunan infrastruktur, selain tak henti memberikan menanamkan makna sportifitas pada masyarakat. Ini yang belum ada di Indonesia.

Sinergi itu menunjukkan optimalisasi kerjasama dengan dinas-dinas terkait.tentang bagaimana melakukan pembinaan sepakbola.

"Kita tidak bisa berjalan sendiri, baik soal infrastruktur, sumber daya manusia dan aspek-aspek lain. Termasuk juga menggelar kompetisi usia dini secara rutin untuk menghasilkan pemain-pemain terbaik yang dipilih pada jenjang kompetisi lainnya,"tambahnya.

Keseriusan menggarap infrastruktur dalam pembinaan usia dini juga harus diikuti oleh pembinaan di daerah. Hasil di daerah ini yang menjadi awal dari prestasi timnas.

Ini sangat penting, tambahnya, karena ini penerapan secara nyata di daerah merupakan implementasi Inpres No 3 tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Sepak Bola Nasional. Tidak sekedar jadi jargon "siap...siap" di media massa semata.

Peran pemerintah daerah sangat besar untuk ikut mendukung perkembangan sepakbola. Itu bisa dilakukan dengan melakukan pendampingan Bersama federasi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

"Bukannya melakukan kegiatan politik melalui sepakbola yang cuma bertujuan untuk tebar pesona. Berpolitik boleh saja tapi jangan mengesampingkan pembinaan sepakbola di daerah," tegas WK.


Pola Pikir

Hal lain yang menarik perhatian saat mengamati perkembangan sepakbola di Chuncheon adalah bagaimana pola pikir dari orangtua pemain yang sudah matang. Mereka tidak lagi memaksakan kehendak ke anaknya untuk menang dan menang, menyabet gelar juara.

Saat memberikan dukungan, mereka datang, ke tempat parkir kendaraan lalu masuk ke tribun penonton. Di sana juga tak hanya keluarga pemain tapi juga masyarakat lain yang ingin menyaksikan aksi pemain muda di lapangan.

"Mereka sudah lepas tangan, menyerahkan semua tanggungjawab ke pelatih. Beda di sini, masih ada orangtua yang masih melakukan intervensi agar anaknya terpilih dalam tim," tutur WK.

Sumber: Instagram @sonacademy
Sumber: Instagram @sonacademy
Apa yang disampaikan oleh WK itu tak salah. Bukan rahasia lagi jika ada orangtua yang memberikan tekanan, atau melakukan pendekatan ke pelatih agar anaknya terpilih dalam tim inti. Ditambah lagi obsesi menjadi pemenang, menjadi juara.

Sedangkan aspek lain yang tampak pada penampilan pemain muda Son Football Academy adalah diterapkannya sport science. Misalnya pada gizi, psikologi, pemakaian GPS saat pertandingan. Tak heran jika dari segi postur terlihat perbedaan, lebih tinggi, meski dari segi skill individu pemain Astara tidak kalah.

Sisi lain yang juga perlu dibenahi adalah jalur pembinaan yang saat ini berjalan yakni berbasis pada regional (regional base) dan klub (club base).

Apakah anak-anak itu dibina mau ke EPA (Elite Pro Academy), Porda, Popda atau PON?

"Ini harus disinkronkan semua jalurnya, misalnya pembinaan club base untuk usia ganjil sedangkan regional base usia genap. Namun ini juga tak mudah karena dalam realisasinya tetap bertabrakan, termasuk juga tanggungjawb regional base di bawah usia 16 tahun," jelasnya.

Belum lagi berbicara soal data base, yang ironisnya belum juga tergarap baik hingga saat ini. Sesuatu yang sudah digembor-gemborkan sejak lama. Akibatnya, pelatih timnas berbagai kelompok usia sering bingung untuk mencari pemain.

"Bagaimanapun kendala yang ada kita tak boleh menyerah. Tetap berusaha memperbaiki berbagai kekurangan yang ada. Banyak potensi di daerah-daerah. Pembinaan di daerah harus tetap berjalan meski masih kurang dilirik. Ada tanggungjawab besar di situ bagi kemajuan sepakbola Indonesia," tegas Wahyudi Kurniawan. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun