Karena dengan rasa untuk menikmatinya, saat lagu rohani seperti 'Bapa Kami" yang dibawakan oleh Paduan Suara Burung Manyar dan diiringi siter langsung hadir suasana yang berbeda.
"Saya bertanya kepada Romo Yudi bagaimana beberapa lagu rohani diiringi oleh siter. Beliau berkata sae...sae (bagus..bagus). Ini jelas merupakan angin segar bagi perkembangan siter," tambahnya.
Bagi pak Tri, siter yang berasal dari Bahasa Belanda citer juga mempunyai falsafah kehidupan yang mendalam. Ada 24 senar yang terbagi dalam dua nada, yaitu 11 nada disetel nada slendro dan 13 nada lainnya di setel nada pelog.
Ada senar lurus dari bawah ke atas, yang melambangkan perjalanan hidup sekaligus tuntutan hidup bahwa manusia harus melihat suatu masalah atau hal tak hanya dengan otak tapi juga hati.
Begitu juga fungsi jari jemari yang memetik senar-senar itu. Ibu jari memegang peran vital untuk menghasilkan nada-nada yang diinginkan. Sedangkan jari lainnya berfungsi untuk menahan getaran ketika senar lain dipetik.
Jari kedua tangan dipakai sebagai menahan, jari tangan kanan di bawah senar sedangkan jari tangan kiri di atas senar.
Di siter juga ada 4 kaki untuk menyanggah alat musik saat dimainkan. Kaki-kaki itu melambangkan keseimbangan hidup. Setiap orang pasti berbeda keseimbangan hidupnya, tentu dalam hal yang positif.
Sedangkan adanya lobang di tengah siter adalah perlambang keberadaan hidup manusia, ada pusar.
"Siter itu menggambarkan keberadaan kita di dunia. Seperti istilah "Kakang Kawah Adi Ari-ari" tentang lahirnya manusia yang didahului dengan air ketuban dan adanya ari-ari," ujar pak Tri.
Falsafah itu, yang harus terus diajarkan, ditambah sulitnya memainkan siter yang bisa menjadi penyebab jarang dimainkan, bahkan terancama punah.
"Padahal siter memiliki suara yang tak kalah menarik jika dibandingkan dengan guzheng (Cina) atau sitar (India)," kata pak Tri dengan nada pelan.