Di media sosial sedang ramai disoroti tentang PSS Sleman siap-siap harus kehilangan beberapa pemainnya. Irfan Jaya, yang jadi andalan tim berjuluk Super Elang Jawa dituliskan sudah resmi ke Bali United.Â
Sedangkan Mizwar Saputra, penjaga gawang yang selalu diturunkan menggantikan Ega Rizky yang cidera, bersama Fitrah Ridwan dan Samsul Arifin kemungkinan besar menyusul Arthur Irawan ke Persik Kediri.
Rumor seperti itu, juga terjadi di klub-klub lain, wajar saja mengingat bursa transfer periode kedua BRI Liga 1 2021/2022 akan segera dibuka. Resminya pada 15 Desember 2021 hingga 12 Januari 2022.
Hasil kompetisi hingga seri 3 membuat semua klub sudah mengantongi kelemahan timnya, membuat daftar pemain yang akan direktut sesuai kebutuhan klub, dan pundi-pundinya. Apalagi kontrak pemain umumnya berakhir pada Desember 2021 ini, sehingga tak hanya pemain yang direkrut dalam bursa tranfer tapi juga yang akan dicoret.
Jadi kepindahan seorang pemain ke klub lain mestinya dilihat sebagai sesuatu yang wajar. Pemain pergi karena tidak lagi diperlukan, atau mendapat tawaran lebih baik. Manajemen klub pun mencari gantinya, berbarengan memagari pemain intinya, atau yang dianggap punya prospek bagus di masa depan.
Sedangkan bagi para pemain, yang bekerja sebagai pelaku yang  profesional, mereka tentu berhitung banyak hal, tak sekedar soal gaji semata. Suasana di klub, kesungguhan dan konsistensi manajemen, jam terbang yang didapat, serta lainnya.
Kalau ada suporter mengatakan tak ada  pemain yang lebih besar dari klub, itu tidak salah.Â
Tapi mereka lupa, apakah klub bisa tetap eksis jika tidak ada pemain meski ia bukan putra daerah atau pemain lokal. Tak semudah itu mengurus sebuah klub. Tak semata soal keuangan yang harus tetap kuat dan stabil, dengan kerelaan pemilik saham untuk melakukan talangan dana (dan ini sudah biasa saja terjadi), tapi juga aspek marketing, sponsor yang juga menyurut kemampuannya di tengah krisis ekonomi saat ini, serta hasil di lapangan.
Suporter hanya bisa menuntut ini itu, tanpa pernah tahu bagaimana beratnya mengelola sebuah klub. Apalagi di Indonesia dengan jadwal kompetisi yang tak bisa tepat, dan diterjang pandemi Covid-19 pada tahun 2020 yang membuat hampir semua klub kolaps hingga saat ini.
Bagi klub Liga 1, tak cuma butuh pelatih dan skuat yang bagus tapi juga harus memiliki perangkat yang diwajibkan seperti adanya Akademi, lengkap dengan manajemennya. Biaya yang harus dibayar untuk akademi itu tak kalah besarnya dengan tim utama. Jika digarap secara serius, akademi ini akan menjadi lahan pemain dan bisnis yang luar biasa di masa depan.Â
Saat ini dengan tiadanya kompetisi usia muda jelas merupakan beban berat bagi klub. Akademi harus tetap hidup, biaya latihan dan gaji para pelatih serta staf lainnya juga harus mengalir seperti sebelumnya.Â
Maka, ketika terjadi "bedol deso" tidak elok jika mereka lalu dicap tidak cinta atau bermain dengan hati bagi klubnya. Bermain dengan hati tapi klub tidak menghargai, atau tidak memberikan suasana nyaman, apakah pemain akan terus betah?.Â
Begitu juga dengan suporter yang secara sadar atau tidak sadar menjadi beban tersendiri bagi manajemen dengan tuntutan dan aksinya. Biasanya dengan dasar memiliki, peduli dan sebagainya. Tak lagi "suporter sebatas tribun", slogan yang sering didengungkan suporter manapun.
Justeru itu merupakan instrospeksi bagi sebuah klub :"Kenapa bedol deso, terjadi? Apakah manajemen yang bobrok, penuh intrik atau kencangnya politik di dalamnya, suporter yang terlalu jauh campur tangan?. Â Semua itu, jika benar ada, jelas menimbulkan ketidaknyamanan bagi pemain.
Pada sisi lain juga menjadi cermin bagi suporter. Tidakkah mereka terlalu campur tangun, bahkan sampai menduduki kantor manajemen yang mewadahi klub kesayangannya. Akankah pemaksaan seperti itu terus dijalankan, meski dengan cibiran dari suporter lainnya. Tidakkah terpikirkan aksi seperti itu bisa menjadi role model bagi suporter muda lainnya?.
Semua itu bisa saja terjadi, dan jelas memberi dampak psikologis yang tak terelakkan bagi pemain. Mereka tidak tuli atau memejamkan mata dengan segala perkembangan yang ada. Berbagai kejadian yang terkait dengan klub yang dibelanya pasti memberi dampak psikologis yang menjadi salah satu penyebab penurunan performa saat bertanding.
Maka ketika ada  pemain pergi, bahkan sampai bedol deso, biarkanlah pergi. Mereka telah menjalankan tugasnya sebagai pemain, berlatih keras, bertarung di lapangan untuk meraih kemenangan. Jangan dicaci-maki, disebut tidak memiliki cinta atau bermain dengan hati. Sikap seperti itu justeru akan menuai tidak simpati, ketidakdewasaan.Â
Biarkanlah kepergian menjadi cermin bagi semuanya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H