Tak hanya itu, pengunjung pun bisa mencoba ramalan tarot yang diberikan oleh Theo, lelaki tuna netra yang hadir setiap Jumat dan Sabtu dari  puul 16.00 hingga tutupnya kafe.
"Respon yang didapat terbilang bagus. Di sekitar kafe ada perkantoran, klinik dan sekolah, mereka rutin makan siang di sini. Sedangkan untuk keluarga ada paket  khusus yang terjangkau, dan biasanya ramai di hari Sabtu dan Minggu," jelas Ison yang mendirikan KBE bersama isterinya, Fransiska Nuke.
Jam operasional pun dimajukan menjadi jam 11.00, tutup pada 21.00 WIB. Langkah yang terbilang berani, mengingat kafe itu pada tahun lalu, di tengah menguatnya pandemic baru buka pukul 14.00 WIB.
"Ya, kafe, angkringan dan usaha kuliner lainnya memang harus berani obah,"kata Gonang Susatyo, wartawan senior yang sedang mencicipi menu makan siang di KBE.
Bagi Ison yang alumni Universitas Gajah Mada, di tengah beratnya kondisi yang ada, para pelaku usaha kuliner harus saling menyemangati, menambah silaturahmi. Kebersamaan yang bisa menguatkan untuk tak menyerah pada keadaan.
Setidaknya, kata Ison, di tengah kabar baik dan buruk yang sering berdatangan, beriringan seperti arakan awan di tengah pandemi ada dan banyak yang bergerak. Tidak tertunduk pasrah.
Obah itu terasa di sudut-sudut KBE, di tengah gerimis yang mencumbu dedaunan dan rerumputan sore itu. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H