Bukan hal yang aneh jika melihat pertandingan di suatu turnamen atau kompetisi usia muda terlihat serunya orangtua mendukung anaknya berlaga dari tribun. Sedangkan di bench pemain pelatih dan ofisial tim juga tak kalah semangatnya memompa semangat para pemain.
Kemenangan dan kekalahan jadi dua sisi mata uang yang tak terelakkan dalam suatu pertandingan. Gembira dan sedih menjadi pemandangan biasa.
Namun, bagaimana dengan para pemain belia itu usai pertandingan?. Apakah mereka tetap tersenyum meski kalah. Menganggap bahwa bukan juara yang jadi target utama?. Ataukah wajah mereka muram, menanggung beban karena kalah?
Mindset (cara pandang) yang mengutamakan kemenangan dan gelar juara sering ditanamkan oleh banyak pelatih di akademi atau sekolah sepakbola (SSB) dalam pembinaan sepakbola usia muda. Padahal esensinya pembinaan usia muda adalah terus mengasih kemampuan fisik, teknik dan mental.
Hal itu bukannya tak disadari oleh pelatih dan pengamat sepakbola usia muda lainnya.
Tentu saja tak cuma itu mindset yang ada. Di pemerintahan pun, yang sebenarnya berperan sangat penting dalam memajukan sepakbola, punya mindset sama. Hanya mereka tak berpikir harus menang dan juara, tapi lebih suka membangun stadion ketimbang lapangan latihan yang layak.
Kenapa terdapat pola pikir tetap (fixed mindset) seperti itu? Tentu bisa ditebak apa alasannya. Karena membangun stadion lebih terlihat, dianggap jadi bukti wujud nyata pembangunan. Kalau lapangan tak terlihat hasilnya senyata stadion.
Sedangkan dalam anak-anak butuh lapangan, yang tak cuma layak tapi juga mudah diakses.
Selain Eladio, nara sumber lainnya adalah Guntur Cahyo Utomo (Kepala Development Center PS Sleman), Rudi Eka Priyambada (CEO Safin Pati Football Academy) dan Mat Halil (pemilik El-Faza FC Surabaya).
Eladio yang fasih berbahasa Indonesia dan Inggris itu memberi contoh kurikulum EDF yang berasal dari LaLiga. Tidak semua program itu bisa direalisasikan di Indonesia karena perbedaan fasilitas, sistem dan budaya. Harus disesuaikan apa saja yang bisa diterapkan di Indonesia.
Ia menyebutkan di LaLiga bukan hasil, atau target juara yang dicari karena itu soal kedua. Tapi yang utama bagaimana pemain bisa mengerti bagaimana bermain bola yang baik seperti yang diinginkan.
Perbedaan lain pada pemenuhan nutrisi yang sangat penting bagi pemain. Ini hal yang sulit untuk dipantau, karena anak makan di rumah. Pelatih hanya bisa menyampaikan apa yang bagus untuk mereka.
Eladio mengatakan, masalah asupan nutrisi ini terkait dengan budaya. Hal itu tentu berbeda saat pemain sudah memasuki sepakbola professional, yang menu makan sudah diatur."Seharusnya tidak makan banyak gorengan, meski itu memang enak," ujarnya sambil tersenyum.
Pendidikan
Untuk memiliki pemain masa depan harus mau menciptakan pemain dari usia dini. Semakin lama hal ini ditunda, usia pemain juga terus bertambah, semakin sulit untuk mengerti saat berkiprah di sepakbola profesional. Jika dimulai dari usia 8 tahun dan seterusnya, akan semakin bagus bagi perkembangan sepakbola suatu negara.
Hal lain yang menarik disimak dari paparan Eladio adalah pentingnya pendidikan bagi anak. Ia memberi contoh pernah menerima keluhan dari orangtua yang anaknya nakal di sekolah. Di EDF LaLiga, misalnya, komunikasi dengan orangtua siswa sangat penting. Bertanya tentang bagaimana nilai siswa di sekolah, kenakalan dan lainnya.
Menghukum anak karena nakal dengan larangan berlatih satu atau dua minggu bisalah dimengerti. Tapi jika melarang berlatih selamanya itu akan memberi dampak psikologis buat anak.
Hal seperti itulah, katanya, yang kurang disadari oleh banyak orangtua. Pendidikan itu sangat penting bagi anak, karena meski punya bakat besar belum tentu akan menjadi pesepakbola profesional.
Saat siswa akademi kembali dari latihan, mereka kembali pada kehidupan yang normal. Bukannya 24 jam bermain bola. Di sinilah pentingnya pendidikan bagi mereka.
Soal postur tubuh, ia mengatakan hal itu bukan merupakan factor penentu kesuksesan seorang pemain. Secara postur pemain Indonesia dan Spanyol tak beda jauh, lain jika dengan mereka yang dari Eropa.
Lionel Messi, David Silva misalnya tidak tinggi, mirip dengan orang Indonesia. Jadi tidak perlu minder dengan postur tubuh.
Menjawab pertanyaan lainnya dalam webinar itu, Eladio menyoroti soal buruknya lapangan dan fenomena pemain muda bermain di beberapa SSB untuk turnamen atau kompetisi.
Pertandingan dalam kompetisi sangat penting bagi pemain, tapi yang sering dijumpai adanya fasilitas lapangan yang buruk. Rumput yang tipis, lebih banyak tanah atau pasir, bahkan berlumpur saat hujan lebat. Sehari bisa dipakai untuk lima pertandingan. "Ini bukan sepakbola,"komentarnya.
"Karena itu di EDF LaLiga Academy dilarang untuk memperkuat akademi atau SSB lain. Di EDF. Di sini menang kalah dengan pemain sendiri, tidak pinjam pemain. Bisa saja di SSB lain yang ia perkuat punya filosofi dan gaya lain, sepeti harus menang serta juara. Beda dengan di EDF. Pemain akan bingung dengan situasi yang berbeda," tegas Eladio.
Perubahan pola pikir dari fixed mindset memegang peran besar dalam pembinaan usia muda. Jika itu terus dipertahankan, akan menular pada pemain yang cenderung menghindari tantangan-tantangan dan fokus berlebihan pada sesuatu yang sudah diketahuinya saja.
Para pelatih, pemilik akademi atau SSB dan juga orangtua pemain muda mestinya memiliki pola pikir yang berkembang (growth mindset).
Carol S.Dweck, Â professor psikologi dari Stanford University dalam bukunya yang terkenal, "Mindset" menuliskan growth mindset adalah pola pikir seseorang yang percaya bahwa kecerdasan dapat dikembangan. Ia akan punya keinginan untuk memperbaiki diri. Jika diberikan tantangan, ia akan coba melaluinya dengan penuh keyakinan.
Potensi seseorang, kata Carol S.Dweck, bukanlah dari kemampuan tapi dari cara pandang akan kemampuan tersebut, dan kepercayaan bahwa sesuatu dapat dikembangkan.
Dari penelusuran profil berbagai tokoh dunia di bidang musik, sains, sastra, olahraga dan bisnis, ditemui bahwa tokoh yang berpola pikir tumbuh lebih mampu mempertahankan kesuksesan, dan kegembiraan hidup.
Hal itu dikarenakan mereka lebih menekankan proses belajar dan peran ikhtiar daripada mengandalkan bakat dan kecerdasan.
Pembinaan sepakbola usia muda, yang bisa diawali dari usia 8 tahun, hendaknya bertumpu pada pola mikir yang terbuka. Sesuatu yang bisa diajarkan secara nyata oleh para pelatih dan pemangku kebijakan di negeri ini.
Dari situ kita bisa berharap regenerasi di sepakbola kita akan berjalan baik, di tengah prestasi tim nasional yang masih saja muram. Semoga. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H