Minimnya modal itu membuat Kartiko dan isterinya harus berinovasi. Ia ingat untuk menempelkan aluminium menggunakan setrika. Sedangkan untuk plastic shrink memakai ceret. Dengan cara seperti itu satu botol memakan waktu 5 menit.
Saat pertama kali mulai memasarkan sambal itu banyak hambatan didapat. Saat itu bagi masyarakat Magelang sambal dalam kemasan itu sesuatu yang tidak lazim. Tak heran jika harga satu botol yang Rp 10 ribu dianggap mahal, sehingga sering ditawar Rp 3 ribu.
Kartiko tak putus asa. Ia terus berusaha membuka pasar, antara lain ke teman-temannya. "Mereka membeli karena kasihan sama saya yang kesana kemari masih menggunakan tongkat,"kenang Kartiko sambil tersenyum pahit.
Membuka jalan di awal perjalanan bisnisnya memang tidak mudah. Dalam 6 bulan hanya terjual 100 botol sambal. Kartiko tak putus asa. Ia mencoba jualan online, lumayan laku hingga ke Papua. Ini membesarkan hatinya.
Ia juga makin yakin dengan pilihannya menjual sambal setelah mendapatkan sertifikat halal pada September 2018. Ditambah juga dengan dorongan dari Depkes dan Deperindag setempat. Penjualan pun makin meningkat.
Sambal pertama yang diproduksi adalah rasa iwak wader. Pemilihan iwak wader ini bukan tanpa tujuan, karena  merupakan sambal khas Magelang. Sambal basah ini merupakan yang pertama kali di Magelang.
Butuh waktu lebih dari setengah tahun untuk membuat masyarakat aware. "Ternyata ada sambal Magelang,".
Kini, Kartiko memetik kerja keras dan keuletannya. "Omzet setiap bulan pada tahun 2019 sudah melewati gaji sebulan di kapal pesiar,"kata Kartiko dengan mata berbinar.
Lebaran 2019 omzetnya meningkat dua kali lipat, mampu menembus Rp 20 juta. Sedang Lebaran 2020 ini bisa Rp 30 juta setiap bulannya. Dalam kondisi normal bisa Rp 15 juta, tambahnya.
Ia pun tak lagi menggunakan ceret atau setrika untuk berproduksi, dengan mesin induksi sealer cukup dua detik saja satu botol sudah dikemas dengan rapi.