Mohon tunggu...
Kavya
Kavya Mohon Tunggu... Penulis - Menulis

Suka sepakbola, puisi dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Boleh Bertanding dengan Swab Test, PSSI Pilih Rapid Test

30 Juni 2020   19:27 Diperbarui: 30 Juni 2020   19:34 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Persebaya Surabaya saat menghadapi Bhayangkara FC. (foto : dok Persebaya)

Salah satu beban klub untuk melanjutkan kompetisi Liga 1 teratasi. Itu setelah PSSI memastikan akan menanggung biaya rapid test semua tim.

"Kami dan PT LIB (Liga Indonesia Baru) akan berdiskusi terlebih dahulu. Seharusnya memang, PSSI menanggung biaya rapid test dari semua tim," tutur Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan.

Biaya rapid test di Indonesia saat ini berkisar berkisar Rp 250.000-350.000 untuk satu orang. Sedangkan biaya untuk melakukan swab test di Indonesia saat ini berkisar Rp 1,5-2 juta untuk satu orang. Hal itu tentu lebih berat apalagi pemasukan klub juga akan berkurang karena Liga 1 kemungkinan akan dilanjutkan tanpa penonton.

Meski begitu, rapid test dikenal punya tingkat akurasi yang rendah dalam mendeteksi virus corona. Beberapa kejadian menunjukkan hasil dari rapid test salah dan dianulir setelah seorang pasien melanjutkan pemeriksaan ke swab test.

Kasus asisten pelatih Timnas Indonesia, Gong Oh-kyun misalnya yang pernah divonis positif terkena Corvid-19 pada April 2020 lalu. Ketika tiga hari kemudian Gong Oh-Kyun menjalani swab test, hasilnya menjadi negative.

Dokter Persib Bandung, Rafi Ghani juga tidak setuju dengan pemeriksaan rapid test. Ia berpendapat, dengan pemeriksaan rapid test berartai setiap orang yang boleh masuk ke lapangan sudah lolos pemeriksaan rapid test yang non-reaktif.

Rapid test itu, kata Rafi, tidak bisa tidak bisa dijadikan acuan untuk mengetahui apakah pemain yang diperiksa terbebas dari virus atau tidak. Selain itu rapid test dinilai hanya untuk mendeteksi anti body pada tubuh seseorang.

Ia memberi contoh, jika salah seseorang pernah terpapar virus Corvid-19 dan sembuh, maka . dipastikan akan positif jika kembali diperiksa melalui metode rapid tes. Pasalnya, anti body orang yang pernah terpapar sudah terbentuk, seperti Wander Luiz misalnya.

Meski begitu, apakah pengurangan beban itu membuat klub Liga 1 benar-benar siap untuk mengikuti lanjutan kompetisi?.

Beberapa hal disodorkan PSSI dalam lanjutan kompetisi pada Oktober 2020 mendatang ini. Pertama, tidak adanya degradasi di Liga 1 (sedang di Liga 2 ada promosi untuk 2 klub), kedua subsidi yang ditingkatkan dari Rp 520 Juta menjadi Rp 800 juta dan ketiga diberlakukannya protokol ksehatan secara ketat.

Namun pada dasarnya dilanjutkannya kompetisi ini merupakan beban berat bagi klub. Pandemi Corvid-19 telah membuat klub megap-megap dengan terhentinya kompetisi sejak Maret 2020 lalu. Tak heran setelah kompetisi terhenti, banyak klub menginginkan tak dilanjutkan lagi karena tak adanya pemasukan dana.

Meski PSSI sudah mengeluarkan kebijakan untuk meringankan beban klub, mengijinkan membayar gaji pemain maksimal 25% untuk April-Juni, namun banyak klub yang tetap terengah-engah membayarnya. Bahkan Persita Tangerang hanya bisa membayar 10% dari nilai gaji pemainnya.

Subsidi dari PT LIB sebagai operator kompetisi turut seret, terakhir diterima pada minggu ketiga Mei 2020. Bagi klub, subsidi itu hanya numpang lewat, karena langsung digunakan untuk membayar gaji pemain dan karyawan perusahaan, serta kewajiban ke pihak lain.

Dalam prakteknya tak hanya pemain yang menerima pemotongan gaji, karyawan pun terkena sejak gaji bulan April (yang diterima Mei).

Terengah-engahnya klub terlihat pada Juni 2020 ini, meski tak bisa digeneralisir karena ada yang kuat secara finansial. Ada yang belum membayar gaji pemain dan karyawannya. Apakah ini terkait dengan tidak adanya subsidi dari PT LIB, bisa jadi karena subsidi itu bersama sponsor dan pemasukan tiket jadi income utama klub.

Memang belum semuanya mampu memaksimalkan penjualan merchandise. Bahkan ada yang tidak punya store. Padahal sepakbola sudah merupakan industri yang punya prospek bagus asal dengan pengelolaan yang profesional.

Meski PSSI sudah menyatakan komitmennya soal pembiayaan rapid test, namun bisa dipertanyakan apakah pemilihan jenis tes Corvid-19 itu sudah disetujui Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19?

Belum lagi pertandingan sepakbola termasuk jenis kegiatan yang masih dilarang oleh Gugus Tugas tersebut. Seperti dikemukakan oleh Kepala Gugus Tugas, Letjen TNI Doni Monardo saat melakukan rapat dengan Komisi X DPR, 17 Juni 2020 lalu, pihaknya masih melarang kegiatan olahraga yang sifatnya kerumunan dan sarat kontak fisik, termasuk sepakbola.

Andai pun bisa digelar, maka setiap pelaku kompetisi harus dicek kesehatan menggunakan swab test, bukan rapid test seperti yang dicanangkan PSSI.

Ketidaksinkronan itu harus dibereskan, agar tidak menjadi preseden. Cabang olahraga lainnya bisa meniru PSSI, tidak mempedulikan Gugus Tugas jika tetap kompetisi dijalankan dengan penonton dan hanya melakukan rapid test.

Jangan karena PSSI mau ngirit dan lancar menggulirkan lanjutan kompetisi lalu menabrak aturan yang ada. Atau memang berani cuek saja, seperti halnya menabrak Statu sendiri dengan meniadakan degradasi di Liga 1 tanpa melalui kongres?. Hanya PSSI yang tahu hal itu.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun