Hanya dua hari saja Cucu Somantri, Dirut PT Liga Indonesia Baru (LIB) langsung memberikan tanggapan terhadap isu nepotisme yang menimpa PT Liga Indonesia Baru (LIB). Ia menegaskan, bahwa puteranya yakni Pradana Aditya Wicaksana tak akan menjabat apapun di PT LIB.
Cucu menegaskan dalam penjelasannya 24 April 2020,"Saya pastikan anak saya tidak akan di LIB. Kemudian saya akan menghadap Ketua Umum PSSI untuk menjelaskan hal ini agar tidak terjadi kisruh."
Menurut Cucu yang juga Wakil Ketua Umum PSSI, struktur organisasi yang beredar di media massa merupakan paket restrukturisasi yang diajukan kepadanya. Di dalam draft stuktur itu terdapat jabatan GM. Namun struktur tersebut belum resmi karena harus dibahas dengan direktur dan komisaris LIB.
Isu nepotisme itu muncul lewat penjelasan Direktur Bisnis LIB, Rudy Kangdra di media massa.
"Benar, Pak Pradana Aditya menjadi GM PT LIB. Pak Cucu sendiri yang menunjuk langsung dia sebagai GM PT LIB," ujar Rudy Kangdra. Ia juga membeberkan bahwa posisi Pradana sangat kuat, melebihi posisi direktur.
Menurut Rudy, karyawan LIB sudah menerima surat edaran struktur perusahaan PT LIB pada 3 Maret 2020. Di situ terdapat nama Pradana sebagai GM, dan surat itu ditandatangani oleh Cucu Somantri.
Swasta
Bagi saya, yang menarik dari kasus itu bukan soal isu nepotisme, meski bukan berarti sepaham bahwa itu boleh saja. Beberapa hal bisa ditelaah untuk jadi bahan renungan tentang LIB dan mencuatnya isu tersebut.
PT LIB seperti dikenal luas merupaka operator liga yang ditunjuk oleh PSSI untuk memutar roda kompetisi dengan segala regulasi, perangkat pertandingan dan sebagainya. Sebagai sebuah Perseroan Terbatas tentu melekat kuat sisi swasta, serta otonomi yang ada di dalamnya. Termasuk di situ bagaimana sebagai PT ia harus mampu merangkul sponsor, official broadcaster dan sebagainya.
Namun meski begitu, jika terkait dengan sepakbola tentu akan beda memandang keberadaan PT LIB yang memang swasta murni. Ada ekspetasi tinggi padanya agar sebagai operator ia dapat memutar roda kompetisi dengan baik, diisi oleh sosok yang profesional dan tidak terjadi nepotisme.
Apakah hal itu berlebihan? Bisa dijawab iya dan tidak. Kita berkaca pada klub saja. Meski klub itu berada di payung perusahaan yang berbentuk tapi ikatan emosional suporter kadang berlebihan. Mereka sepertinya ingin PT yang menaungi klub kesayangannya itu segera menghasilkan prestasi yang membanggakan. Tanpa melihat ada proses, ada kendala sumber daya manusia dan keuangan dsb.