Diskusi demi diskusi, rapat demi rapat. Itu yang dilakukan klub-klub Shopee Liga 1 2020 dan Liga 2 2020 belakangan ini. Tak lain untuk mendapatkan titik temu tentang pembayaran gaji pemain, pelatih dan ofisial tim, juga karyawan terkait terhentinya kompetisinya hingga 29 Mei 2020.
Masalah gaji jadi krusial saat PSSI menetapkan bahwa bulan Maret, April, Mei dan Juni 2020 sebagai Status Keadaan Kahar (Force Majeure). Dalam surat tertanggal 27 Juli 2020 itu ditegaskan, kompetisi ditunda hingga 29 Mei 2020 . Jka situasi darurat nasional tidak diperpanjang, maka kompetisi bisa dilanjutkan setelah tangal 1 Juli 2020.
Force Majeure itu membolehkan klub peserta kompetisi membayar gaji pelatih dan pemain maksimal 25 persen untuk Maret, April, Mei, dan Juni 2020.
Istilah ini mengingatkan kita pada tahun 2015 ketika kompetisi yang saat itu bernama QNB League dihentikan dengan alasan force majeure. Saat itu PSSI menghentikan kompetisi setelah pemerintah melalui Menteri Pemuda dan Olahraga tidak mengakui kepengurusan PSSI dari hasil Kongres PSSI di Surabaya.
Berdasarkan Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ("UUK") Force majeure biasanya merupakan alasan yang dipakai oleh sebuah perusahaan (ps.164 (1)) untuk mengadakan PHK.
Force majeure adalah kejadian atau keadaan yang terjadi diluar kuasa dari para pihak yang bersangkutan, dalam hal ini perusahaan dan pekerja/buruh. Istilah yang digunakan dalam UUK untuk force majeur adalah keadaan memaksa.
Persoalan menjadi "rumit" ketika berbicara tentang gaji bulan Maret. Banyak pemain dan pelatih yang menginginkan gaji Maret tetap dibayar penuh, karena mereka sudah melakoni pertandingan dan latihan sebelum kompetisi dinyatakan ditunda sementara.
Bagi tim yang pundi-pundi uangnya cukup mereka bisa menetapkan segera untuk gaji Maret, sambil menanti perkembangan bagaimana gaji April, Mei dan Juni. Seperti dilakukan oleh Persib yang dengan tegas menyatakan gaji Maret akan diberikan penuh. Langkah serupa dilakukan oleh beberapa klub lainnya seperti Persiraja Banda Aceh dan Persita Tangerang, dua pendatang baru di Liga 1.
Hal itu wajar saja. Gaji 25% setiap bulannya jelas merupakan berita yang tidak menyenangkan bagi pemain, meski mereka bisa menerimanya karena keadaan. Memaklumi kondisi klub yang tidak mendapatkan pemasukan dari sponsor dan lainnya akibat kompetisi ditunda sementara.
Dalam kaitan itu, masalah gaji bulan Maret mestinya tidak diputuskan oleh PSSI begitu saja tanpa adanya kesempatan berunding antara pemain dan klub,. Karena, seperti ditulis di atas, para pemain sudah melaksanakan tugasnya denga bermain dan berlatih pada Maret sebelum PSSI melakukan penundaan kompetisi. Para pemain pun berlatih mandiri di rumah.
Force Majeure itu pun akan berdampak pada karyawan perusahaan yang non pemain atau ofisial tim. Banyak yang menginginkan gaji mereka yang kecil tak ikut terpangkas, apalagi sampai seperempatnya seperti pemain.
Kita ambil saja rata-rata gaji pemain di Shopee Liga 1 2020 yang Rp 30 Juta per bulan. Jika dipangkas seperempatnya mereka masih menerima Rp 7,5 Juta. Sedangkan karyawan dengan gaji Rp 3 Juta hanya menikmati Rp 750.000,- untuk biaya hidup sebulan.
Bukankah mereka di rumah saja, tak keluar ongkos? Benar, tapi bagaimana dengan SPP anak, belanja sehari-hari, bayar pulsa atau langganan internet setiap bulannya?.
Wajah Lain
Kondisi klub dengan Force Majeure juga memunculkan sisi lain dari semua tim yang berlaga di Liga 1 2020 yakni belum imbangnya keuangan klub saat menghadapi "bencana" seperti saat ini. Dari 18 tim peserta Shopee Liga 1 2020 hanya bisa dihitung dengan jari yang benar-benar sehat dan kuat segi finansialnya, sebut saja Persib Bandung misalnya.
Keadaan seperti itu semestinya menjadi pemicu bagi klub-klub untuk meningkatkan pendapatannya pada musim 2020 ini, dan musim-musim berikutnya. Inovasi dan kreativitas harus ditingkatkan, seiring dengan sumber daya manusia yang ada.
Sebuah klub dengan hanya memiliki 2-3 sponsor yang terpampang di dada pemain tentu tidaklah ideal karena jauh dari mencukupi untuk biaya mengarungi kompetisi, meski sudah ditambah dengan pemasukan dari tiket saat laga kandang. Pemasukan tiket diperkirakan maksimal 20% saja memberi masukan bagi kebutuhan tim. Bisa dipertanyakan, sejauh mana tenaga marketing klub itu telah bekerja secara maksimal dengan perolehan logo sponsor seperti itu.
Ceruk bisnis lainnya yang perlu ditingkatkan juga tak kalah pentingnya untuk dievaluasi. Jersey dan atribut lain misalnya, terutama bagi klub dengan basis fans yang besar, bisa menjadi pendapatan klub yang tidak kecil. Perlu dilihat seperti apa system produksi dan penjualannya. Jika perusahaan yang menaungi klub melihat aspek keuntungan besar dengan memproduksi sendiri, kenapa tidak dilakukan hal itu?.
Semoga virus Covid-19 segera berlalu, kompeti pun kembali bergulir, seperti halnya roda kehidupan yang lain. Ada yang hilang, kehilangan yang cukup besar dengan tiadanya kompetisi di tanah air (juga di belahan dunia lain). Sebagian diri kita yang hilang dengan tekel mematikan Covid-19 ini. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H