Selain mengubah statuta dengan ketentuan larangan rangkap jabatan politik bagi Ketua Umum, PSSI juga bisa mengganti ketentuan tentang keharusan aktif di sepakbola selama 5 (lima) tahun. Ketentuan itu menutup peluang mereka yang mampu dan ikhlas mengurusi organisasi tapi belum pernah mengurusi klub, seperti pengusaha atau mantan pejabat misalnya.
Apakah sulit bagi PSSI melakukan hal-hal seperti itu? Jelas tidak. Jadwal liga saja bisa dibikin molor dengan ajaib, klub yang jadi juara karena hadiah nilai, atau lahir dan ikut kompetisi tanpa melewati level paling rendah, juga lahirnya sanksi yang terkesan tebang pilih.
Belum lagi janji kosong soal pengusutan kematian suporter Persita Tangerang yang diucapkan di depan publik untuk diusut tuntas. Tapi sampai sekarang tinggal pernyataan ampas.
Kalau PSSI masih juga ragu dan ingin belajar dari organisasi lainnya soal rangkap jabatan itu, tak usah jauh-jauh melakukan studi banding ke luar negeri. Selain mubazir, dan nantinya dianggap jalan-jalan saja bawa keluarga atau selingkuhan, bisa sowan ke PB Nadathul Ulama soal itu.
Kebetulan NU sedang terkena soal rangkap jabatan juga, setelah Rais Aam NU, KH Ma'ruf Amin dijadikan calon Wakil Presiden-nya Jokowi untuk Pemilu 2019 nanti. Sesuai aturan organisasi NU, pencalonan itu membuat KH Ma'ruf Amin harus mundur sebagai Rais Aam NU.
Di Anggaran Rumah Tangga NU jelas disebutkan dalam pasal 51 ayat 4 yang menyatakan apabila ada pengurus yang mencalonkan diri atau dicalonkan dalam pemilihan jabatan politik maka harus mengundurkan diri.
Dalam pasal yang sama, di ayat 5 bahkan dengan terinci disebutkan : "Yang disebut dengan Jabatan Politik dalam Anggaran Rumah Tangga ini adalah Jabatan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, Wakil Walikota, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota."
Tak ada salahnya, patut saja, tak usah malu belajar dari NU soal itu. Belajar sambil mendengarkan petuah dari para kyai tentu lebih adem. Tentunya kyai NU juga tak perlu dicurigai akan mencaplok kursi nomer satu PSSI itu.
Namun, sebelum sowan, patut dibaca dan dihayati apa yang dikatakan oleh  KH Ahmad Mustofa Bisri atau yang biasa disapa Gus Mus soal jabatan rangkap Ma'ruf Amin : "Dia itu Rais Aam, sekarang etikanya ya, saya tidak tahu aturannya seperti apa, dia kalau sudah menjabat sebagai wakil presiden, masak dia mau ngrangkep tiga, ketua MUI, Rais Aam PBNU, wakil Presiden. Ya itu nggak pantes. Mundurnya, ya saya nggak tahu, biar nanti dibicarakan sama PBNU."
PSSI harus bergegas. Jangan menunggu masyarakat yang dikenal kreatif akan menyitir ucapan itu menjadi: "Masak dia mau ngrangkep tiga, Ketua Umum PSSI, pemilik klub PSMS Medan dan Gubernur Sumut. Ya itu nggak pantes."
Tapi jika hal itu juga tetap tidak mempan, maka kita mengamini saja doa dari Achsanul Qosasi setelah himbauannya itu menabrak tembok. "Mari kita berdoa semoga dimudahkan dan PSSI bisa diurus dari Medan melalui WA, email, dan telepon." ***