Seperti penggunaan soblok, alat untuk mengukus, yang kapasitasnya 5 kg hanya menghasilkan 1 kain ukuran 2 meter, atau 4 syal. Selain itu, soblok 5 kg itu memiliki kematangan yang tidak merata, juga kepanasannya tidak maksimal.
Di awal memulai membuat kain Ecoprint, Santi rela menyusuri Kali Mambu di daerah Umbulharjo untuk mencari daun-daun, juga di trotoar-trotoar dan desa-desa yang banyak tumbuhan liar.
Daun Jati, Kelengkeng, Jarak, Jambu, Secang, Jolawe, Mawar, Dollar-dollaran (body) dan Ketepeng jadi bahan baku yang sering dipakainya. Daun-daun segar yang mengandung banyak tanin daun, serta tidak berbulu jadi prioritasnya.
Proses produksi yang lama memang membutuhkan kesabaran. Namun hasil yang diperoleh memberikan kepuasan tersendiri. Satu kain tak pernah sama dengan lainnya. Ini yang membedakan dengan kain hasil printing.
Selain memproduksi kain yang dipasarkannya lewat media sosial seperti Instagram, Santi juga memberikan kursus atau les privat. Peserta yang cukup membayar Rp 400 ribu selain mendapatkan ilmu juga memperoleh bahan kain dan pewarna alam.
Setiap hari Kamis rumahnya ramai oleh anak-anak TK yang belajar melukis. Mereka membayar Rp 10.000,- setiap kali datang, yang dipakai untuk membeli bahan kertas dan krayon.
Tak hanya itu, peserta les privat juga datang dari luar Yogyakarta, seperti pada awal September lalu dari Lampung. Peserta itu sedang berlibur ke Yogya, dan tertarik untuk belajar kain Ecoprint langsung dari Santi.
Santi mematok harga kain proses Ecoprint dengan bahan katun primisima panjang 2 meter, lebar 115 cm dengan harga berkisar Rp 400-500.000. Pembelinya selain dari Yogyakarta juga daerah lain, baik yang memesan atau saat berlibur ke kota gudeg itu.
Ecoprint makin membuat Santi bersemangat untuk melangkah lebih jauh lagi sambil berusaha mewujudkan cita-citanya. Ia ingin membuat galeri atau butik dengan materi Ecoprint dan shibori dalam bentuk fashion. ***