Ketika Timnas Sepak Bola Wanita Indonesia dibikin babak belur oleh Thailand dengan skor 0-13 dalam pertandingan persahabatan di Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring, 27 Mei 2018 malam. Hasil kurang memuaskan tersebut tak sedikit yang mencibirnya.
Bahkan sebuah media online memberi judul dengan kalimat yang menohok, seolah kekalahan itu memalukan. Penulisnya seperti tidak mau tahu (atau tidak tahu) bagaimana sepak bola wanita tertidur selama tiga tahun. Bagaimana tak ada kompetisi seperti halnya Liga 1, 2 dan 3.
Ketika tertidur itu, sepak bola pria terus berkompetisi dalam Indonesia Super League (ISL), yang kemudian terhenti setelah Indonesia dibekukan FIFA, kemudian berlanjut dengan Liga 1 sebagai pengganti ISL, serta Liga 2 dan 3 untuk menggantikan nama bagi Divisi Utama dan Liga Nusantara.
Keterpurukan sepak bola wanita, hingga tak memiliki peringkat di dunia, tak lepas dari ketidakpedulian PSSI sebagai induk organisasi sepak bola dan pemerintah. Apalagi PSSI sendiri mengalami gonjang-ganjing sejak tahun 2010 hingga dibekukan pada 2015.
Baru setelah kepengurusan baru terpilih untuk periode 2016-2020 terlihat perhatian PSSI terhadap sepak bola wanita ini. Selain dibentuknya Asosiasi Sepak Bola Wanita Indonesia (ASBWI) pada awal Desember 2017, juga diadakan Pertiwi Cup untuk menjaring pemain.
PSSI juga menyiapkan timnas U-16 yang sudah mengikuti babak penyisihan Grup B Piala AFF U-16 Girls Championship 2018 di Palembang, awal Mei 2018 lalu. Timnas U-16 tersisih di Grup B.
Geliat sepak bola wanita saat ini barulah awal, seperti orang baru bangun tidur dan terbelalak ketika melihat kenyataan yang ada di luar rumahnya. PSSI harus lebih berani lagi menindaklanjuti langkah strategisnya untuk membangkitkan sepak bola wanita ini.
Seperti permintaan PSSI kepada klub-klub peserta Liga 1 untuk segera memiliki tim putri pada tahun depan. Tim ini nantinya akan digabungkan dengan tim-tim putri yang ada di daerah untuk berlaga di Liga Wanita tahun 2019.
Permintaan itu seharusnya dijadikan sebagai kewajiban bagi klub Liga 1 untuk membentuk tim putri. Jika tidak diharuskan, keinginan mengadakan Liga Wanita yang menampilkan pertandingan bermutu akan sulit tercapai. Jangan sampai kompetisi sepak bola wanita yang dinanti-nantikan setelah matinya Galanita itu menjadi semacam turnamen saja.
Jika PSSI di musim kompetisi Liga 1 2017 lalu berani mewajibkan klub memainkan pemain U-23, meski akhirnya dibatalkan saturan yang dibikinnya sendiri, kenapa tidak berani mewajibkan soal pembentukan tim putri?
Apa yang bisa dilakukan oleh PSSI untuk mewajibkan klub-klub Liga 1 itu? Banyak jalan sebenarnya, misalnya melalui skema subsidi yang diberikan kepada klub dalam mengarungi kompetisi.
Seperti pada Liga 1 tahun 2018 ini, subsidi yang diberikan kepada 18 klub peserta sebesar Rp 7,5 miliar mengalami perubahan skemanya. Uang sejumlah Rp 5 miliar diberikan langsung, sisanya yang Rp 2,5 miliar akan diberikan jika klub memiliki aktivitas pembinaan usia muda. Klub-klub diwajibkan mengajukan proposal terkait kegiatan pembinaan itu, karena terkait masalah untuk lisensi.
PSSI bisa memberlakukan skema serupa kepada klub, meski mungkin muncul tuntutan penambahan dana subsidi, dengan mewajibkan klub membentuk tim putri. Artinya, tim putri bentukan klub itu mendapatkan sebagian subsidi sebagai peserta Liga 1 2019 mendatang.
Setelah PSSI bergerak, kita hanya perlu menantikan sejauh mana pemerintah menunjukkan kepeduliannya akan pengembangan sepak bola wanita ini?
Hingga saat ini, rasanya pemerintah belum menunjukkan kepeduliannya, setidaknya melalui pernyataan Menpora yang lebih suka pada even turnamen seperti Piala Presiden atau kekisruhan di Liga 1.
Even bergengsi Piala Piala AFF U-16 Girls Championship 2018 di Palembang yang sepi penonton itu tak tampak satu pun pejabat pemerintah yang hadir. Padahal even itu tak hanya merupakan kehormatan bagi Indonesia sebagai penyelenggara, tapi juga momen untuk lebih memasyarakatkan sepak bola wanita.
Kini sepak bola wanita telah dibangunkan dari tidurnya, Jangan dibiarkan tertidur lagi setelah membuka harapan itu.
PSSI dan pemeritah harus bergandeng tangan mengembangkannya dari dasar. Bersama-sama mengubah pola pikir masyarakat tentang sepak bola wanita sebagai hobi semata.
Mungkin mereka harus mendengarkan ucapan salah satu  pemain timnas wanita di bawah ini, setelah dikalahkan Thailand dengan skor 13-0 (sedikit editing tanpa mengubah satu kata pun *penulis)
"Kami tidak malu... yang malu adalah mereka yg mencaci maki hasil akhir ini karena semua berusaha dan mereka tahu bahwa timnas kita tidak tidur di lapangan. Memang lawan Thailand bukanlah level kita karena mereka sudah level Piala Dunia. Tapi tidak apa-apa 3 tahun tak ada kompetisi dan tidak ada timnas...
Belajarlah dan belajar jangan putus asa... buat teman-teman sosmed tolong berikan masukan yang positif buat pemain, jangan mencaci-maki karena timnas kita juga berjuang buat bangsa." ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H