Ia sedang menyusuri jalanan sunyi. Tanpa sorakan, tepuk tangan atau kerubungan penonton. Ia sedang memamah sepi.
Namun ia tak sendirian sebenarnya. Selalu ada yang mengenali, mendatangi dan dengan penuh kagum memintanya untuk berfoto bersama. Ia selalu tersenyum melayani, meski tak bisa menyembunyikan lelah di matanya.
"Ini tahun terbaik, tahun yang luar biasa bagi saya," katanya saat itu, setelah mengantarkan klubnya mencapai final Piala Presiden 2017.
Klubnya kalah 1-0 ketika bertandang ke markas Semen Padang dalam laga semi final Piala Presiden 2017 yang menganut  sistem home and away.
Dalam pertemuan kedua di Stadion Kanjuruhan, Malang, 5 Maret 2017 klubnya tertinggal dua gol. Jadi secara agregat tertinggal 0-3 dan sangat berat karena harus mencetak empat gol jika ingin lolos ke final.
Ia membuat keajaiban. Disarangkannya lima gol, membuat kedudukan menjadi 5-2. Dan keajaiban pun berlanjut, di final ia mencetak hat-trick untuk membawa Arema FC menjadi juara setelah menggebuk Pusamania Borneo FC dengan skor 5-1.
Ia kini sedang melakoni hari-hari yang berat. Saat terberat dalam kariernya di Indonesia selama 15 tahun. Menjadi pemain legenda bagi Persik Kediri dan Arema FC. Kepergiannya dari Malang ditangisi, diantar dengan tepuk tangan dan suasana haru.
Suporter hanya tahu kontraknya habis, dan ia pindah ke Madura United. Tak banyak yang tahu, ia tak ingin pergi tapi klubnya ingin ia pergi.
Meski ada seorang gubernur di luar Jawa yang begitu menginginkan ia memperkuat salah satu klub di sana, tapi ia menghargai keinginan petinggi klub untuk pindah ke Madura United.
Penampilannya langsung memikat kelompok suporter MU. Dalam bahasa Madura, sang pemain pun kini dijuluki Sapeh Toa alias Sapi Tua.
Namun di klub barunya ini ia harus mengalami cobaan terberatnya. Dituduh ini itu, lalu dipinjamkan ke PSS Sleman, dipecat melalui konferensi pers (tanpa surat pemecatan) dan dibatalkan peminjaman itu (juga melalui konperensi pers, sebelum dengan surat resmi ke PSS).
Tak hanya itu, hanya sehari saja setelah pembatalan surat itu, PT Liga Indonesia Baru (LIB) mencoretnya dari Daftar Susunan Pemain ketika hanya 30 menit hendak turun membela PSS di markas Gresik United. Pencoretan yang hanya melalui telepon saja ke manajemen PSS.
Ia hanya diam. Tak berkata satu kata pun di media. Kejadian yang terbilang langka di republik ini seperti terlupakan. Seolah kearoganan yang ada merupakan peristiwa biasa saja.
Namun sejarah masih mencatat debutnya pada 21 November 2010 sebagai anggota timnas sepak bola Indonesia melawan Timor Leste dan langsung mencetak dua gol di debut pertamanya.
Kini ia berpasrah diri bersama istrinya, Eva dan keempat anaknya, menanti bagaimana akhir cobaan yang dialaminya.
"Saya hanya ingin nama saya dibersihkan. Selama ini saya tak punya musuh, berusaha tak menyakiti orang lain. Saya ingin bermain sepak bola lagi, di putaran pertama, bukan putaran kedua Liga 1," ucapnya dengan lirih.
Matanya menerawang. Diminumnya teh kesukaannya, yang dikirim dari negara asalnya Uruguay.
Sang legenda menahan sesak di dadanya. Dada yang pernah tertutup oleh kaos berlambang garuda.
El Loco, sang pembunuh, sedang menyusuri sunyi. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H