Mohon tunggu...
Johannes Saragih
Johannes Saragih Mohon Tunggu... -

Saya suka menulis khususnya puisi, spritualitas,teologia dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Yesus Sikap-Nya Dalam Aksi Sosial

19 Agustus 2013   20:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:06 1084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

‘PEMBERONTAKAN TANPA KEKERASAN MELAWAN KEJAHATAN BUKANLAH METODE ORANG-ORANG PENGECUT, MELAINKAN ADALAH JALAN DARI ORANG-ORANG KUAT (Marthin Luther King)

“Kekerasan fisik sering diawali dengan kekerasan kata-kata”

Martin Luther King memilki mimpi bahwa  suatu hari nanti tidak akan ada lagi kekerasan, ironisnya beliau tewas karena kekerasan. Gandhi berjuang dengan prinsip Ahimsa namun hidupnya berakhir dengan kekerasan. John Lennon, penyanyi Inggris, yang terkenal dengan lagunya “Imagine” yang liriknya mendambakan suatu dunia utopis penuh damai ternyata secara tragis tewas diujung pistol penggemarnya yang fanatic. Dietrich Bonhoefer, teolog pejuang anti Hitler, mati di kamp konsentrasi oleh kekejaman Hitler. Munir, tokoh “Kontras”  anti kekerasan Indonesia mati karena diracun. Masih banyak lagi fakta-fakta tentang tokoh-tokoh agama dan aktivis-aktivis humanis yang berjuang membela kebenaran, protes terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan hidupnya berakhir tragis di ujung jurang kekerasan. Sejarah membuktikan bahwa pemimpin-pemimpin dengan prinsip anti kekerasan walaupun mengalami berbagai macam penderitaan (Nelson Mandela, dipenjara bertahun-tahun karena menentang apartheid) bahkan resiko mati sekalipun, mereka tetap muncul dan memberikan kontribusi yang signifikan bagi perdamaian dunia.

Kekristenan menawarkan model kepemimpinan “Yesus yang lemah lembut” yang terbentuk dari jejak-jejak kaki-Nya yang ditinggalkan di bukit Golgota 2013 tahun yang lalu. Dari otobiografi para tokoh-tokoh pemimpin banyak ditemukan bahwa mereka telah belajar tentang kehidupan Yesus yang dicatat di Injil. Misalnya yang popular kotbah Yesus di bukit yang mengajarkan “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka “atau “Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu” serta tidak kalah radikalnya “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”. Semua ajaran etis yang ideal ini ternyata digenapi dalam hidup-Nya dan terbukti integritas-Nya ketika Yesus mengatakan di kayu salib dalam keadaan sekarat ”Bapa ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan”. Etika idealis “Kotbah di bukit” ini masih merupakan ajaran moral yang universal dan selalu segar disegala musim jaman apapun.

Teladan Yesus sebagai seorang pemimpin terutama kepada duabelas murid-Nya dan juga banyak orang yang mengikuti-Nya, yaitu ditengah-tengah konflik dengan orang Farisi dan para Ahli Taurat, posisi Yesus adalah sebagai korban dan teraniaya. Namun Yesus menunjukkan bahwa respon yang paling potensial guna menghadapi penderitaan dan ketidakadilan adalah bukan dengan pembalasan dendam ysng radikal dan militant namun adalah kesaksian yang yakin teguh dan tenang akan kebenaran tanpa peduli resikonya atau konsekuensi mati sekalipun.

Ini bertolak belakang dengan budaya kekerasan saat ini, yang membenarkan tindak kekerasan karena alasan ketidakadilan , kesengsaraan, bahkan lebih parah lagi dibungkus dalam pembenaran ayat-ayat suci kitab agama (terorisme,fundamentalisme,anarkisme).

Masih relevankah “Model Yesus yang lemah lembut” sebagai paradigma kepemimpinan “non-violance,” dalam konteks konflik social yang pluralistic saat ini? Orang-orang humanis sekuler atheistis mungkin setuju saja dengan ajaran etika anti kekerasan dari Yesus walaupun persepsi mereka Yesus hanyalah seorang guru moral semata. Saudara-saudara dari Muslim mungkin juga tidak keberatan dengan “etika moral” dari ajaran Yesus, apalagi kaum Muslim mengakui kenabian Yesus ( Isa As). Juga umat Hindu, diwakili dari kesaksian Gandhi yang terkesan dengan ajaran Yesus, pasti bisa menerima etika moral ajaran Yesus yang universal. Memang keyakinan Kristen yang tertinggi dan terdalam adalah Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat manusia.

Berikut ini 5 aspek dari Yesus dalam menghadapi ketidakadilan dan penderitaan, Aspek-aspek ini dikategorikan sebagai aksi social menurut menurut paradigma Yesus. Inilah seharusnya yang membentuk (format) paradigma para pengikut-Nya dalam menghadapi ketidakadilan dan penderitaan dalam konflik social agama dan budaya :

1.Yesus tidak melakukan dosa dan kesalahan moral

Perdebatan Kristologi tentang ketidakberdosaan Yesus pada umumnya sepakat bahwa Yesus tidak berbuat dosa bukan tidak bisa berbuat dosa. Ini adalah ciri kepemimpinan humanis sejati. Ketidakadilan dan penderitaan tidaklah membuat siapapun berhak untuk melakukan kekerasan.

2.Yesus bersikap jujur, “tidak ada dusta pada bibir-Nya”.

Yesus tidak mengkompromikan kebenaran hanya untuk menghindari ketidakadilan atau untuk meringankan penderitaan-Nya.

3.Yesus bersikap tenang.

Ketika Dia dicaci maki, Dia tidak membalas mencaci maki. “Kekerasan fisik sering diawali kekerasan kata-kata.” Pada saat diperlakukan tidak adil dan sengsara, kata-kata kekerasan bisa keluar tanpa kendali. Padahal dengan bersikap tenang bisa membawa kepada dinamika misteri dari penderitaan.

4.Yesus bersikap mengampuni

Budaya mengampuni di Indonesia kita tahu identik dengan hari raya umat Muslim “ Idul Fitri”, dengan ucapan “mohon maaf lahir batin”, budaya saling memaafkan ini akan sangat membantu dalam mengeliminir budaya kekerasan dendam kesumat bila diterapkan setiap saat tidak hanya seremonial setahun sekali. Yesus mengajarkan untuk mengampuni orang yang bersalah kepada kita dengan tidak terbatas dan setiap saat. Niscaya Indonesia akan menjadi negeri yang damai dan tentram jika budaya memaafkan dan mengampuni menjadi gaya hidup sehari-hari.

5.Yesus bersikap percaya teguh

Apakah rasionalisme atheistic, humanisme sekuler era modern bisa menjawab konflik social kekerasan tanpa perspektif ilahi yang transcendental?

Memang kekerasan bisa timbul karena fanatisme agama yang sempit dan ekstrim, namun bisa juga karena tidak adanya kesadaran ketuhanan atau iman percaya bahwa ada Allah Maha Adil yang akan menghakimi dengan adil atas ketidakadilan dan kesengsaraan yang dialami.

Paradigma kepemimpinan Yesus yang “non-violance”,model “Yesus yang lemah lembut” ini sifatnya universal dalam arti nilai-nilai moralnya juga terkandung baik secara implicit atau eksplisit dalam kitab-kitab agama lain. Paralelisitas ini kiranya bisa menjadi  model atau acuan guna pengembangan visi kepemimpinan ditengah situasi koflik social pluralistic dalam rangka menyaksikan Injil kasih dan rekonsiliasi di negeri yang tercinta ini.

GOD LOVES INDONESIA

Sungailiat, 9-8-13

Johannes Saragih

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun