Bel pulang sekolah telah berbunyi. Nona langsung pamit dari sahabat-sahabatnya, setelah doa dan ucapan selamat siang untuk pak Niko. Nona berjalan tergesa-gesa, kadang berlari diatas trotoar. Tak terasa, kakinya sudah tiba di rumah. Nona mencari Sherly di kamar, dan mendapati Sherly sedang bermain diatas tempat tidur. Tangan Sherly melepaskan kartu bergambar Frozen, dan menatap Nona yang sedang mengatakan sebuah ide kepadanya.Â
"Augh! Beta tidak mau menggunting rambut." Sherly, mengusap rambutnya yang keribo. "Biar rambut beta keribo, tapi bisa dikuncir. Juga, bisa berayun kalau digoyang-goyang."
Nona, tersenyum gemes bercampul kesal. Adik perempuannya, belum mengerti idenya. Nona sudah memahami permasalahan orang tuanya. Spertinya, mama Bata kurang percaya diri dan selalu cemburu kepada papa Fredrick. Maka, Nona mencoba mencari solusi untuk menolong orang tuanya. Yaitu, mengajak mama Bata menggunting rambut. Dan, Sherly mempunyai jurus jitu agar mama Bata menurut. "Ose harus gunting rambut juga, sedikit saja. Ose gunting poni, kah?! Atau, potong ujung rambut sedikit saja. Terus, ose minta mama gunting rambut juga!"
Kartu bergambar Marsha And Bear, terjatuh diatas tempat tidur. Sherly, menggulung-gulung kuncir rambutnya. "Mama menggunting rambut, jadi mama punya rambut baru. Penampilan mama jadi berubah. Begitu, kah?!"
"Yup!" Nona, menganggukan kepalanya. "Papa akan memperhatikan mama, sedikit memuji..., banyak pun tak mengapa. Bukankah, suami-isteri juga memerlukan hal tersebut." Nona, mengangkat bahunya. "Kemudian, mama akan percaya diri. Ose mengerti, kan?!"
Sherly, menggelengkan kepalanya. "Percaya diri itu apa, kakak Nona?!"
"Percaya diri itu, bersyukur atas apa yang Tuhan berikan kepada kita. Termasuk, kelebihan dan kekurangan kita." Nona, tersenyum menatap adiknya , yang masih menatapnya. Saatnya, menggoda adiknya. "Contohnya, seperti ini. Coba ose berdiri!"
Sherly, menurut. Nona menaruh sebuah buku diatas kepala Sherly. "Sekarang, ose berjalan. Bahu tetap tegap, serta tetap menatap lurus kedepan. Awas! Bukunya tidak boleh jatuh!"
Sherly berjalan perlahan dengan buku tetap diatas kepalanya, berusaha keras agar buku tidak terjatuh. Terdengar, suara Sherly yang bertanya. Apakah ini contoh latihan percaya diri. Apakah mama Bata juga harus berlatih percaya diri, seperti ini. Nona, hanya tertawa renyah mendengarnya.
***
"Pokoknya, usie Imah harus tetap sabar. Saat, usie Imah bertemu dengan bung Rojali nanti." Ibu Shinta, mengelus bahu ibu Imah. "Usie Imah sudah berani bertemu dengan perempuan, selingkuhan bung Rojali. Usie Imah juga harus menerima kenyataan. Jika, sekarang. Bung Rojali yang ingin bertemu dengan usie Imah."
Pesan masuk dari Pak Rojali, masih tersimpan ditelepon selular ibu Imah. Singkat, dan jelas. "Ose sudah bertemu dengan dia?! Ose mau apa, sekarang?! Beta akan datang ke rumah dokter Kristo. Beta mau bicara dengan ose." Ibu Imah menaruh telepon selularnya, dan berkata kepada ibu Shinta. "Sebenarnya, usie. Beta sudah siap bercerai dengan Rojali. Beta tidak mau dipoligami oleh Rojali. Mungkin, ini jalan yang terbaik. Supaya, beta punya status jadi jelas. Beta tidak mau penuhi pikiran dan perasaan, untuk menangis setiap saat dan bertanya. Rojali ada bikin apa dengan perempuan selingkuhannya." Air mata  menetes begitu saja, merebak dipipi ibu Imah. Namun, sekali ini. Ibu Shinta memilih, untuk mendengar curahan hati ibu Imah. "Beta tidak mau menyusahi pikiran sendiri, dan membuat perasaan beta menderita sendiri. Semoga Allah saja yang memberi kekuatan bagi beta, untuk menjalani hidup bersama anak-anak. Meski, tanpa Rojali."
Ibu Shinta membiarkan ibu Imah, menangis dibahunya. Lama, tersedu-sedu. Sehingga, ibu Shinta pun ikut menetes air mata. "Usie, mau dengar beta?!"
Ibu Imah, mengangkat kepala dan menatap ibu Shinta. "Apa itu, usie?!"
"Nanti, bicara baik-baik dengan bung Rojali. Dan, diakhir pembicaraan usie dan bung Rojali. Apapun keputusannya, bahkan jika perpisahan adalah keputusannya. Tolong, usie berikan tanda perpisahan yang terbaik bagi bung Rojali. Sehingga, bung Rojali tidak dapat melupakannya."
"Apa itu, usie Shinta?!"
"Usie Imah yang paling tahu, dan kenal bung Rojali selama ini. Usie Imah pasti tahu, apa yang paling disukai bung Rojali."
Suasana tenang, seketika. Adakah sesuatu hal yang paling disukai, dapat membatalkan sebuah perpisahan. Atau, sekedar membuat sebuah akhir yang indah diujung pertemuan. Entalah. Bumi dan langit begitu jauh jaraknya, meskipun dapat saling memandang. Seperti, ada diantara kita pernah melihat atau mengalami sendiri. Ketika pernikahan terjadi, ditengah perjalanan mengarungi bahtera rumah tangga pun dapat terjadi perselingkuhan. Sebab itu, kita tak pernah menyangkal betapa berartinya sebuah kata maaf. Seperti, betapa berartinya sebuah kata kasih. Sayang. Cinta. Secara, horisontal maupun vertikal.
***
Anak-anak baru saja menyelesaikan pekerjaan rumah. Nona, Mia, Berty dan John berpamitan kepada keluarga Samuel. Nona tertawa dan menggoda Fauziah, berkejaran sebentar di teras rumah. Pak Kristo bertanya kepada Mia, tentang pengobatan fisioterapi papa Anis. Mia menjelaskan, sejak mengikuti pengobatan fisioterapi. Papa Anis sudah mulai berjalan cukup jauh, dan cukup lama. Namun, kaki papa Anis cepat lelah dan tiba-tiba menekuk.Â
"Iya, Nona. Latihan berjalan setelah penyembuhan tulang yang patah atau retak, adalah sebuah proses." Pak Kristo, berkata kepada Mia. "Apakah papa juga minum susu, yang mengandung kalsium untuk tulang?!"
"Susu apa itu, papa Kristo?!"
Pak Kristo menyebut beberapa merek susu, yang mengandung kalsium untuk tulang. Juga, memberikan obat gosok atau salep untuk papa Anis, yang berfungsi untuk merenggangkan otot-otot yang kelelahan. Mia menerima obat tersebut dan mengucapkan terima kasih. Anak-anak yang lain pun mengucapkan terima kasih, dan mengucapkan salam perpisahan.Â
"Sampai besok di sekolah ya!" Samuel, melambaikan tangannya.
"Jangan lupa, kita piket besok." John, mengingatkan.
"Oke." Samuel dan Ahmad, menyahut serempak. Suara bersahutan, masih terdengar. Kemudian, senyap. Samuel dan Ahmad masuk ke rumah, dan berkumpul bersama anggota keluarga yang lain. Sementara, malam pun beranjak kian larut. Diantara, lelah dan lelap. Diantara, mimpi dan harapan. Esok, tetap datang.
***
(Writer : Johanna Ririmasse)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H