Ibu Shinta dan Ibu Imah sedang berada di kamar. Mereka sedang mendiskusikan hal yang serius. Ibu Imah menceritakan, secara kronologis tentang perselingkuhan suaminya. Bahkan, dia sudah mengetahui tempat kos mereka, dari sumber yang dapat dipercaya. Tetapi, ibu Imah sudah memilih restauran sebagai tempat pertemuan. Untuk, berbicara dari hati ke hati. Empat mata.
"Oke. Beta mengerti apa yang menjadi tujuan, usie Imah."
"Danke, usie Shinta. Bagaimana pendapat usie Shinta tentang beta punya penampilan? Apakah beta tidak cantik dan menarik sampai Rojali selingkuh?!"
Ibu Shinta menatap Ibu Imah, yang mengusap air mata dipipinya. Sebenarnya, cantik dan menarik itu adalah permasalahan sudut pandang. Teristimewa, ketika memilih pasangan hidup. Bahkan, disebuah kontes kecantikan nasional dan internasional. Kriteria kecantikan, tidak berfokus pada penampilan fisik. Namun, karakter dan kecerdasan berperan penting. Sehingga, ada istilah inner beauty.Â
"Menurut beta, usie Imah juga manis dan menarik. Usie Imah, harus percaya diri..." Ibu Shinta, melanjutkan. "Jangan terlalu cengeng dan terlihat rapuh, menghadapi masalah ini..."
"Maksud, usie Shinta?" Ibu Imah, terkejut. Separuh perasaan sedihnya hilang, berganti dengan rasa tidak mengerti. Mengapa Ibu Shinta tega berkata seperti itu?!
"Usie Imah, mau bertemu perempuan itu kan?! Perempuan yang berselingkuah dengan suami usie Imah?!" Ibu Shinta, bangun dari tempat tidur. Kemudian, berdiri di depan Ibu Imah yang duduk bersandar di tempat tidur. "Perempuan yang kuat dan dan tabah, adalah perempuan yang mampu menghadapi masalahnya dengan bijaksana. Perempuan yang bijaksana, menaruh doa sebagai dasar kekuatan dan hikmat sebagai jalan keluar. Jadi, berdoa dan minta Tuhan memberikan hikmat kepada usie Imah..."
"Insya, Allah. Danke, usie Shinta..."
***
Suasana hati, memang tidak bergantung cuaca. Tetapi, percampuran antara cara berpikir, perasaan sikap dan perilaku. Jadi, meskipun hujan baru saja berhenti. Namun, keadaan di rumah Nona sedang panas. Mama Bata membanting pintu kamar. Papa Fredrick menyusul, masuk ke kamar. Sementara, Nona dan Sherly ikut berdiri di depan pintu kamar. Nona menaruh telunjuk dibibir, agar Sherly diam.
"Beta sudah bilang buat ose, beta tidak mabok hari ini."
"Oh, iya. Ose tidak mabok hari ini. Soalnya, ose baru habis antar perempuan kah?"
"Apa?! Ose bicara apa?" Suara papa Fredrick, terdengar meninggi. Nona, merapatkan telinga ke pintu. Sherly, ikut berjongkok di samping Nona.
"Beta dengar cerita, kalau ose sudah berapa hari ini antar perempuan."
"Beta tanya ose, siapa yang cerita?! Terus, beta antar perempuan siapa?!"
"Ose tidak perlu tahu, siapa yang cerita. Katanya, ada perempuan cantik selalu naik ose punya oto!"
Buk! Suara pintu terdengar ditinju. Nona dan Sherly, merapat kembali ke daun pintu. "Nah! Ini yang beta tidak suka dari ose. Sejak dulu, dari masih pacaran. Ose ada lihat sesuatu, atau ose dengar orang punya cerita. Ose langsung menyimpulkan dan tidak pernah mau tanya beta. Ose langsung cemburu seperti ini. Beta cuma mau bilang ose, stop dengan ose punya cemburu yang tidak jelas."
"Cemburu kan berarti cinta..."
Sherly menutup mulut, menahan tawa. Nona juga tersenyum mendengar perkataan mama Bata. Seperti, air yang menyiram panas hati sendiri. Suara papa Mathew, terdengar kembali. "Ose sudah tahu dan kenal beta sejak masih pacaran. Sekarang, beta sudah pilih ose buat jadi isteri. Jangan ose hancurkan rumah tangga yang sudah dibangun, dengan panas hati dan cemburu yang tidak jelas."
"Jadi, perempuan itu siapa?"
"Yeah, dia itu penumpang yang naik angkot. Beta juga tidak bisa larang. Kecuali, beta bawa oto seperti busway. Jadi, bisa tulis oto. Dilarang wanita cantik naik oto ini." Suara papa Fredrick, terdengar berdehem dan merendah. "Kalau beta sopir busway, ose mau jadi kondektur busway, sayang?!"
"Iya, sayang. Ose kasih ide buat pemerintah kota ambon jua. Biar, pemerintah bangun jalur busway di jembatan merah putih yang sudah mau jadi tuh."
Sherly berbisik kepada Nona. "Hih, kakak Nona. Papa dan mama, mau jadi sopir dan kondektur busway."
***
Sore ini, Mama Aya meminta Papa Mathew untuk bercerita kepada anak-anak. Papa Mathew duduk di lantai, bersandar di sofa. Ann duduk diatas pangkuan papa Mathew. Anak-anak duduk disekitar papa Mathew. Papa Mathew membacakan ceritanya. "Kedua anak lelaki tersebut pun bertengkar. Anak lelaki yang pertama melihat sebuah kacang, berkata kalau kacang itu miliknya. Tetapi, sahabatnya berkata, aku yang pertama ingin mengambil kacang tersebut." Papa Mathew, berdehem sebentar. "Seorang anak lelaki bertubuh tinggi, melewati jalan tersebut. Dia melihat pertengkaran tersebut..."
"Terus, dia menolong mereka, papa Mathew."
"Hih, Queen. Tunggu saja papa Mathew cerita." Aura, protes.
Papa Mathew, hanya tersenyum. Dan, menyingkat cerita. Sebelum, konsentrasi Ann pecah. "Dia berkata kepada kedua sahabat yang bertengkar. Aku akan memberikan solusi, agar kalian tidak bertengkar. Dia membagikan kulit kacang menjadi dua. Sebelah kulit kacang diberikan kepada lelaki, yang pertama melihat kulit kacang ditanah. Kemudian, kulit kacang sebelah diberikan kepada lelaki yang pertama ingin mengambil kulit kacang. Sedangkan, isi kacang tersebut dimakan olehnya. Demikian, dia menyelesaikan pertengakaran antara dua anak lelaki tersebut."
"Papa Mathew, jadi kedua anak lelaki yang bersahabat dan bermain bersama. Mereka hanya mendapat kulit kacang ya?!"
Papa Mathew, mengangguk ke arah Mita. "Benar, Mita."
"Makanya, jangan bertengkar ya, papa Mathew?" Sherly, menyimpulkan cerita papa Mathew.
"Papa, jangan bertengkar ya. Sherly, jangan bertengkar ya. Aura, jangan bertengkar ya. Queen, jangan bertengkar ya. Mita, jangan bertengkar ya..." Ann, mengikuti ucapan Sherly. Kemudian, anak-anak pun sepakat untuk tidak bertengkar. Kemudian, bernyanyi bersama Biji-Biji Kecil.
***
(Writer : Johanna Ririmasse)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H