Hari ini rencana perjalanan berubah. Setelah acara tahbisan calon imam diosesan/praja dan acara ramah tamahnya, rencananya aku dan rombongan tetap tinggal di Nanga Pinoh. Namun, perkenalan dan perbincangan sejenak dengan Uskup Sintang pada acara ramah tamah mengubah susunan rencana perjalanan. Pada malam ini, aku dan rombongan Jakarta diminta untuk berpindah ke Sintang dan bermalam di wisma keuskupan Sintang. Menanggapi hal ini, terus terang aku kaget, ramah benar bapak uskup ini. Hal yang sama juga dirasakan peserta rombongan lainnya.
Sekalipun awalnya sungkan, kami pun menerima ajakan itu. Sehabis acara tahbisan, kami segera mengemas barang-barang dari penginapan susteran Ursulin dan segera menuju Sintang. Perjalanan kurang lebih ditempuh selama sekitar tiga jam dari Nanga Pinoh. Lima belas menit menjelang pukul empat, kami meninggalkan Nanga Pinoh untuk menuju Sintang. Waktu tempuh selama itu tentu juga tak lepas disumbangkan oleh jalan Trans-Kalbar yang mengalami banyak kerusakan. Pukul tujuh malam, barulah rombongan tiba di Keuskupan Sintang. Kami segera diminta segera menempati wisma keuskupan dan berbenah diri, karena waktu makan malam segera tiba.
Waktu makan malam tiba. Wah, jujur, ini baru pengalaman pertamaku makan satu meja dengan seorang uskup. Saat ini juga pertama kalinya diundang makan oleh seorang uskup. Bahkan, dengan Uskup Agung Jakarta saja aku belum pernah terlibat satu acara bersama dan melakukan kontak sampai sedekat ini. Di zaman facebook dan twitter ini, ternyata masih ada pemuka agama yang se-easy going ini! Umm.. menanggapi semua ini, analisisku sederhana saja. Di wilayah Sintang dan sekitarnya, gereja dan kelembagaannya memang sangat mengakar di masyarakatnya. Gereja dan lembaganya ‘membumi’ tumbuh di sisi dan bersama masyarakat, kental mewarnai dinamika sosial dan budayanya. Beda dengan di Jakarta, organisasi agama seperti gereja merupakan satu bagian dalam satu mangkuk besar yang saling tak bercampur, terhimpit di antara kerasnya pembangunan dan kesenjangan sosial, dan tercampur dengan bumbu terkotak-kotaknya elemen-elemen masyarakat yang beragam identitasnya, dari suku, agama, golongan, dsb.
Setelah makan malam selesai disantap, obrolan dengan Sang Uskup Sintang mulai mengalir, sebebas itu mengalir tanpa ada gap bahwa ia jauh lebih tua dan merupakan pemimpin umat, sementara kami hanya orang awam…
Ya, Mgr. Agustinus Agus, Pr.. Mgr ialah singkatan dari Monsigneur, terjemahan harafiahnya “bapaku,” “tuanku,” gelar yang biasa dikenakan untuk Uskup. Pr. Ialah singkatan dari Praja, atau biasa dikenal dengan “diosesan,” (Eng: diocesan) salah satu tarekat imam biarawan Kristen). Beliau telah menjabat sebagai uskup selama 15 tahun lebih. Beliau dilantik menjadi uskup pada akhir tahun 1995. Beliau sendiri merupakan putra asli daerah Sintang, sehingga sangat mengenal daerah Sintang dan sekitarnya. Keuskupan Sintang, yang ia kepalai saat ini, mencakup wilayah di tiga kabupaten, yaitu Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu. Wilayah keuskupan tersebut jika dihitung sampai 65.000 km2! Bahkan itu lebih luas dari Provinsi Jawa Timur yang hanya 46.500 km2! Ada ratusan paroki gereja Katolik yang berada di wilayah administrasinya, dari yang kota hingga yang pelosok-pelosok.
Pembicaraan kian menghangat ketika kuangkat kata kunci “perbatasan” pada ‘obrolan’ dengan beliau. Ya, wilayah keuskupan Sintang memang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Serawak, Malaysia Timur. Wilayah keuskupan Sintang berbatasan darat dengan Serawak di dua kabupaten, yaitu Sintang dan Kapuas Hulu.
Lalu beliau memulai ‘kelakarnya’ tentang salah satu titik perbatasan di Kabupaten Kapuas Hulu, yaitu Badau. Dengan cukup satire, beliau hanya bilang bahwa, tolong, melihat masalah perbatasan jangan dilihat lagi dengan kacamata militer dan sesuatu yang berbau peperangan…
Maksudnya?
Ya, beliau mulai bercerita tentang situasi di sana. Di sana itu, menyedihkan sekali. Infrastruktur yang berperan untuk menunjang kehidupan masyarakat sehari-hari sangat minim, seperti misalnya listrik, air bersih, serta akses jalan. Tetek bengek tersebut pada akhirnya justru didapatkan warga bukan dari negaranya sendiri. Listrik dan air bersih serta sambungan telepon didapatkan warga dari Malaysia (Serawak). Jika masyarakat setempat ingin menjual hasil pertanian dan hasil buminya, mereka menjualnya ke Serawak, sekali lagi saudara-saudaraku, karena akses jalan ke Serawak jauh lebih menunjang daripada ke arah Indonesia (Sintang dan Kapuas Hulu). Oh ya, tak lupa dengan sembako, juga lebih mudah didapatkan di Serawak, karena wilayah yang dimaksud tersebut tidak ada tembusan akses lagi ke wilayah Indonesia, dan tidak ada pasar ke arah sana. Ada jalan memang ke arah Indonesia, namun jalannya rusak dan sangat berdebu. Kalau hujan, jalannya jadi berlumpur dan sangat sulit untuk dilewati. Oleh karena itu, seringkali jika warga setempat mau ke Putussibau (ibukota kabupaten Kapuas Hulu) ataupun ke Sintang, warga di daerah tersebut harus masuk melintas batas ke Serawak, baru pada pintu perbatasan tertentu dengan jalan yang lebih baik, mereka melintas kembali ke Indonesia untuk menuju tempat yang diinginkan. Jadi, berpusing dulu ke Serawak, baru ke Indonesia!
Menanggapi hal tersebut, bapak uskup cuma berujar bahwa beliau adalah ‘orang bodoh’ yang memandang dengan perspektif ‘orang bodoh’ juga. Beliau berkata mudah saja, soal pengelolaan perbatasan, tidak ada generalisasi. Tiap daerah perbatasan punya masalahnya sendiri. Untuk yang terjadi di Badau (dan titik-titik lainnya sepanjang Kapuas Hulu dan Sintang), beliau hanya berujar bahwa serahkan pengelolaan perbatasan pada unit pemerintahan daerah yang bersangkutan, karena mereka sendiri yang tahu masalahnya dan mengalami sendiri ‘kesusahannnya.’ Beliau berujar, silakan saja kalau listrik, air bersih, sambungan telepon, dan berbagai pasokan barang kebutuhan sehari-hari dari Serawak. Hanya saja, pemerintah setempat (misalnya kecamatan atau desa) harus mengatur secara adil, jujur, dan bersih tentunya pada hal-hal yang berkaitan dengan persoalan sewa, pembayaran ataupun biaya-biaya yang terkait dengan pengadaan tersebut. Jangan sampai dimanipulasi apalagi dikorupsi!
Ujar beliau, saat menjelaskan pandangan tersebut, orang-orang, baik dari pemerintah daerah (pemda) dan jajaran dari pusat banyak mengecamnya sebagai tidak nasionalis. Beliau hanya berpikir secara sederhana, nasionalisme itu bisa dipahami kalau rakyat itu bisa menjalani kehidupannya dengan normal dan tercukupi kebutuhan hidupnya yang dasarnya, yaitu sandang, pangan, papan, serta akses (transportasi, komunikasi, dan pendidikan). Beliau malah ‘menantang balik’ orang-orang tersebut, kalau mereka nasionalis, apakah sesuatu dari nasionalisme mereka bisa menjawab dan menyelesaikan persoalan masyarakat di garis-garis perbatasan itu? Nyatanya, tidak ada, bukan?