Mohon tunggu...
Yohanes Nindito Adisuryo
Yohanes Nindito Adisuryo Mohon Tunggu... -

An assistant consultant, a person who learns International Relations, PSM Paragita UI, Komunitas Sabantara, eclectic, tenor, loves writing, loves reading, just loves to write poets & stories, melancholie-sanguine, survivor; loves music, especially classic, a choir singer in tenor; likes sports and travelling and hiking\r\n\r\n"Ubi caritas, ibi claritas"\r\n(Where there's Love, there'll be light)\r\n\r\n"Ego non sine te nec tecum vivere possum"\r\n(That's impossible if I can live without you)

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Indonesia, Malaysia, dan Prinsip ‘Negara Betulan’

11 April 2011   18:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:54 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“My Country, right or wrong” (Carl Schurz, 1829-1906)

Kutipan di atas sering kita dengar dalam versi lain, “Right or wrong is My Country”. Pepatah inilah yang terlintas di benak saya ketika tersiar kabar bahwa ada ‘singgungan’ lagi antara Indonesia dengan Malaysia di garis terdepan Selat Malaka. Saya, usia 21 tahun, Warga Negara Indonesia, sangat terenyuh mendengar kabar yang cukup diangkat menjadi berita di media massa nasional. Disebutkan bahwa Kapal Patroli 001 “Hiu” milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)-RI berhasil menangkap dua kapal nelayan berbendera Malaysia. Dua kapal nelayan beserta 10 Anak Buah Kapal (ABK)-nya tersebut kemudian ditahan di Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal) Belawan, Sumatra Utara. Tuduhan yang dikenakan pada dua kapal tersebut tidak main-main. Kedua kapal tersebut didapati masuk ke dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di sekitar wilayah Selat Malaka. Kedua kapal tersebut juga didapati sedang menangkap ikan di wilayah tersebut. Parahnya lagi, penangkapan (baca: pencurian) ikan tersebut dilakukan dengan trawl (pukat harimau). Jala jenis tersebut merupakan alat tangkap ikan yang secara yuridis dilarang, termasuk oleh hukum negara kita, karena dapat merusak lingkungan. Celah-celah yang sangat rapat pada pukat harimau dapat membuat ikan-ikan yang masih kecil atau masih jauh dari umurnya dapat tertangkap. Hal itu dapat membuat kerusakan ekosistem suatu wilayah perairan, dalam bentuk gangguan pada daur hidup ikan dan ketersediaan jumlah ikan di perairan tersebut.


Tindakan memalukan tersebut lantas seolah tampak berubah menjadi sebuah peristiwa heroik, dengan hadirnya empat helikopter Tentara Diraja Malaysia dari Kesatuan Marinir. Saya, 21 tahun, Warga negara Indonesia, kembali terenyuh menonton peristiwa tersebut, baik dari televisi maupun internet. Helikopter-helikopter tersebut tampak melakukan interception (pencegatan) dari udara, mendekati kapal “Hiu” milik KKP dan berusaha memaksa pihak KKP untuk melepaskan dua kapal berbendera Malaysia tersebut. Kita semua harus mengapresiasi tindakan DKP, yang ternyata tetap menangkap kedua kapal nelayan tersebut untuk menuntut pertanggungjawaban hukum atas tindakan mereka dan mampu mengatasi ‘ancaman’ dari Helikopter Marinir Malaysia.


Semoga kita menjadi bangsa yang tak cepat lupa dengan sejarah. Peristiwa di atas bukan pertama kalinya terjadi. Kasus-kasus serupa pernah terjadi sebelumnya. Tentu belum lepas dari ingatan kita pada beberapa hari sebelum peringatan HUT RI ke-65 tahun lalu. Pada waktu itu, tiga staf KKP dan kapalnya ditahan oleh Kapal Patroli Polisi Diraja Malaysia dengan tuduhan melanggar batas wilayah mereka. Hal itu terjadi hanya beberapa waktu berselang setelah para staf KKP tersebut menangkap nelayan Malaysia yang kedapatan mencuri ikan di Perairan Bintan, Kepri. Seolah-olah, pihak Polisi Diraja Malaysia melakukan reaksi balik setelah didapati kapal nelayan dari negara mereka ada yang tertangkap.


Lepas dari persoalan hukum internasional dalam batas-batas antara Indonesia dan Malaysia yang belum disepakati oleh pemerintah kedua negara, kita tentu tak hanya prihatin seperti yang sering diucapkan elite negeri ini. Kita pasti merasa miris, ketika mendengar perairan kita dimasuki kapal nelayan asing, yang leluasa menangkap ikan serta memakai alat yang ilegal dan merusak lingkungan pula. Namun kita tentu lebih miris melihat tindakan heroik Tentara Diraja Malaysia melakukan pencegatan dan menuntut kapal nelayan berbendera negara mereka untuk dibebaskan. Kita akan lebih miris lagi jika melihat kenyataan bahwa Pemerintah Malaysia sampai mengirim nota protes kepada Pemerintah Indonesia. Bahkan, Menteri Luar Negeri Malaysia sampai mengatakan bahwa Pemerintah Malaysia “tidak habis pikir” dengan tindakan penagkapan tersebut. Lepas dari siapa yang benar dan siapa yang melanggar hukum atau peraturan tertentu, Malaysia untuk kesekian kalinya menohok kita, tentang siapa yang lebih menjadi ‘negara betulan.’ Persoalan benar atau salah, mematuhi atau melanggar, menjadi pertimbangan yang masih di urutan kesekian bagi sebuah negara dan pemerintahnya pada situasi tertentu. Yang nomor satu, tentu saja perlindungan bagi warga negara serta instrumen ataupun aset yang terkait dengannya. Di samping itu, tetap apresiasi bagi para staf KKP terkait yang telah memberi contoh dalam keberanian dan konsistensi penegakkan hukum di wilayah perairan negara kita, di tengah situasi krisis kepemimpinan yang sedang mendera elite pemerintahan di negara kita.


Di tengah maraknya bersinggungannya kembali Indonesia-Malaysia dalam peristiwa di atas, kita tentu tak bisa memalingkan batin kita pada 20 awak kapal Sinar Kudus yang telah disandera hampir sebulan lamanya oleh Perompak Somalia. Sebagai seorang warga negara biasa, saya hanya berharap semoga pemerintah kita dan pihak-pihak yang terkait, dalam hal ini PT Samudera Indonesia berupaya keras untuk mencari solusi pembebasan mereka. Ingat, para awak kapal dan kaptennya yang tengah disandera itu bukan perompak, mereka pahlawan devisa bagi negara kita. Semoga pada persoalan ini pemerintah kita mampu mengupayakan negara kita menjadi ‘negara betulan,’ mengupayakan berbagai kemungkinan yang jitu dan segera demi keselamatan mereka yang disandera, terlepas dari “right,” ”wrong,” serta basa-basi yang hanya merupakan kosmetik belaka. Patut diingat, menurut penuturan Kapten Kapal Slamet Djauhari, kondisi beberapa awak kapal Sinar Kudus berada dalam keadaan sakit, di tengah kondisi logistik yang kian menipis


Sekalipun ungkapan ini terdengar seram, “Right or Wrong is My Country” merupakan motivasi dan pendorong yang begitu kuat bagi sebuah negara dan pemerintahnya, terutama dalam melindungi segenap negara dan warga negaranya.

Y. Nindito Adisuryo – Pemerhati Sosial-Politik

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun