Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Zonasi yang Berkeadilan

21 September 2018   18:58 Diperbarui: 21 September 2018   19:08 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Empat, PPDB dilakukan serentak. Ada dua kementerian yang menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah formal, yakni Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Saat ini, PPDB di madrasah yang dinaungi Kemenag selalu bisa dilakukan lebih awal daripada sekolah di bawah Kemendikbud. Akibatnya, ada madrasah ibtidaiyah (MI) dan madrasah tsanawiyah (MTs) yang membeludak pesertanya.

Di sisi lain, banyak SD dan SMP di bawah Kemendikbud kekurangan siswa. Karena sama-sama menyelenggarakan pendidikan formal, alangkah baiknya PPDB Kemenag dan Kemendikbud dilakukan bersama-sama karena Ujian Nasional (UN) pun bisa dilakukan bersama-sama.

Lima, prioritaskan anak berprestasi. Adil tidak harus sama, tetapi perlu diberlakukan secara proporsional. Banyak anak SD dan SMP memiliki prestasi tinggi dan ini harus diapresiasi. Anak-anak yang sarat prestasi ini perlu diberikan kebebasan untuk memilih sekolah lanjutan idamannya.

Adanya minat yang tinggi tentu akan melahirkan semangat belajar yang tinggi pula sehingga kelak bisa meraih prestasi yang bisa membawa nama baik diri, sekolah, dan daerahnya. Sebaliknya, minat belajar tinggi itu bisa pupus jika sistem zonasi memupus harapan mereka.

Sistem zonasi memang dilematis. Di sisi lain, sistem ini bertujuan untuk menciptakan keadilan karena tidak lagi terjadi pengotak-ngotakan sekolah favorit dan bukan favorit. Sekolah perkotaan yang sering menerima anak pintar akan mendapatkan anak-anak dengan kemampuan pas-pasan sehingga gurunya bisa merasakan repotnya mendidik anak itu.

Sebaliknya, sekolah pinggiran bisa memiliki kesempatan untuk mendapatkan anak-anak pintar karena zonasi membatasi pilihan sekolahnya. Perlu dicamkan semua pihak bahwa tidak ada sekolah yang tidak favorit. Semua sekolah adalah favorit karena gurunya pasti mendidik mereka penuh kesungguhan. Semangat berkeadilanlah yang perlu dibangun dan ditumbuhsuburkan.

NB:
Artikel di atas dimuat Majalah Derap Guru PGRI Jawa Tengah edisi September 2018.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun