Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Zonasi yang Berkeadilan

21 September 2018   18:58 Diperbarui: 21 September 2018   19:08 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertengahan Juli 2018, dunia pendidikan dibuat gempar. Bagaimana tidak, ada sebanyak 78.406 siswa di Jawa Tengah yang terbukti menggunakan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) asli tetapi palsu. Mereka pun akhirnya terdepak dari Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA/ SMK negeri di Jawa Tengah. Mereka dicoret atau didiskualifikasi dari PPDB SMA/ SMK negeri sehingga hanya memiliki kesempatan mendaftar ke SMA/ SMK swasta.

Informasi di atas merupakan akumulasi dari titik nadzir kecurangan yang dilakukan oleh orang tua. Kita bisa menengok kejadian di Brebres. Ada anak yang mendaftar ke sekolah negeri dengan menggunakan SKTM, tetapi ternyata ia berasal dari keluarga kaya. Para orang tua berkeinginan kuat untuk bisa menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri, tetapi menanggalkan perilaku jujur. Mereka paham bahwa SKTM sangat mudah diperoleh karena rerata perangkat desa sungkan kepadanya.

Ini jelas bertentangan dengan tujuan pendidikan, yakni membentuk pribadi anak yang bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berperilaku jujur, cerdas, santun, dan memiliki kecakapan. Sayangnya, justru orang tua malah mengajari anaknya untuk berbuat curang seraya mengakali mudahnya mendapatkan SKTM.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan 14 kriteria keluarga yang bisa disebut miskin, yakni luas rumah kurang dari 8 meter persegi, berlantai tanah/ kayu murahan, dinding rumah dari bambu/ kayu murahan/ tembok tanpa plester, tidak memiliki WC, penerangan bukan listrik, air minum dari sumur terbuka, bahan bakar memasak dengan kayu, makan daging hanya sekali seminggu, bisa membeli pakaian baru hanya setahun sekali.

Hanya bisa makan 1-2 kali sehari, tidak sanggup membayar pengobatan ke puskesmas/ poliklinik, profesinya petani/ buruh dengan penghasilan di bawah Rp600 ribu per bulan, pendidikan tertinggi SD, serta tidak memiliki tabungan atau harta yang nilainya di bawah Rp500 ribu. Jika ada 9 dari 14 kriteria terpenuhi, keluarga itu bisa dikategorikan miskin. Pertanyaannya, apakah masih ada keluarga yang demikian?

Zonasi yang Berkeadilan

Penerapan sistem zonasi PPDB SMP dan SMA/ SMK negeri perlu dievaluasi. Ada lima cara yang dapat dipilih guna menciptakan PPDB yang berkeadilan. Satu, ubah prosentase SKTM. Di jenjang SMA/ SMK negeri, kuota anak miskin "minimal" 30%. Artinya, satu sekolah bisa terdiri atas anak miskin semua. Ini jelas tidak adil dan mengebiri anak-anak pintar yang sarat prestasi.

Bandingkan dengan jenjang SMP yang hanya memberikan kuota "maksimal" 20% sehingga sekolah masih berkesempatan melakukan seleksi. Oleh karena itu, kebijakan kuota PPDB SMP dan SMA/ SMK negeri harus diubah.

Dua, menunjukkan bukti kemiskinan. Setiap keluarga miskin tentu memiliki identitas kemiskinannya, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), Jamkesmas, KK Miskin, Kartu Keluarga Harapan dan lain-lain. Identitas ini dikeluarkan oleh pemerintah sehingga datanya lebih akurat dibandingkan SKTM. Artinya, SKTM tidak perlu digunakan karena keluarga miskin sudah terdata di pusat data statistik kependudukan.

Tiga, ubah sistem zonasi. Sistem zonasi bertujuan salah satunya adalah penerapan azas keadilan. Sistem zonasi saat ini hanya diterapkan berdasarkan domisili tempat tinggal, bukan asal sekolah. Kebijakan ini jelas merugikan anak-anak yang memiliki motivasi tinggi untuk bisa duduk di bangku sekolah tujuannya. Sedari SD atau SMP, anak-anak itu sudah bercita-cita untuk melanjutkan ke SMP atau SMA idamannya.

Mereka rela berkorban dengan menempuh jarak puluhan kilometer setiap hari. Bahkan, ada di antara mereka kos di dekat sekolahnya. Sayangnya, pengorbanan dan motivasi tinggi sedari dini itu sirna karena justru zonasi menggunakan kriteria domisili atau tempat tinggal, bukan asal sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun