Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, 30 pengarang dongeng terbaik Kemdikbud 2024, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Yakin Masuk Surga?

29 Agustus 2018   18:53 Diperbarui: 29 Agustus 2018   18:54 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: klikislam.com

Sebuah riwayat berkisah tentang zaman kehidupan Nabi Muhammad SAW. Suatu hari, Rasulullah SAW menjumpai sahabat yang begitu tekun beribadah di masjid. Tampak ia begitu khusu' sehingga tidak sadar jika ia sedang diamati oleh nabinya. Setelah sekian lama berdzikir, tak jua ia merampungkan dzikirnya hingga Nabi Muhammad menegurnya.

"Wahai Fulan, apakah keluargamu sudah kauberi makan?" tanya Nabi SAW. "Sudahkah keluargamu kauberi nafkah?"

"Saya pasrahkan semua kepada Allah. Saya yakin Allah menjamin kehidupan mereka" jawab sahabat itu.

"Pulanglah dan berikan nafkah kepada keluargamu" ujar Nabi. Sahabat itu pun pulang tanpa menoleh lagi.

---

Kisah di atas cukup populer di kalangan dunia dakwah. Banyak orang silau dengan tujuan beribadah, tetapi mengebiri hakikat dan cara beribadah. Ibadah itu adalah semua perbuatan yang dituntunkan agama, bukan berdasarkan semaunya. Ibadah merupakan bentuk penghambaan makhluk kepada khalik atau sang Pencipta. Salah satu bentuk penghambaan itu adalah sungguh-sungguh mengemban amanah yang dipegangnya. Sekarang mari kita telisik kebiasaan-kebiasaan buruk yang mungkin sering kita lakukan.

Ketika kita sering mengabaikan keluarga, apakah kita pantas masuk surga, sedangkan perintah agama jelas agar kita menjaga diri dan keluarga dari api neraka? Kita begitu khusu' beribadah, tetapi anak-anak dan istri atau suami di rumah tak terurus dengan baik. Bukankah anak-anak dan istri atau suami adalah amanah atau kepercayaan yang diberikan Allah kepada kita? Mengapa kepercayaan itu diabaikan demi tujuan pribadi?

Ketika kita sering mengabaikan tugas, apakah kita patut masuk surga? Bagi guru, murid adalah amanah. Bagi dosen, mahasiswa adalah amanah. Bagi pegawai atau karyawan, pekerjaan adalah amanah. Kita begitu tekun beribadah, tetapi murid, mahasiswa, dan pekerjaan terbengkalai alias telantar. Apakah kita layak masuk surga, sedangkan kita tak menjaga kepercayaan itu dengan sungguh-sungguh?

Mungkin kita bisa saja khusu' beribadah, tetapi tanpa kita ketahui, ternyata ada anak-anak kita, murid kita, dan mahasiswa kita nakal karena kita tak mengurusnya dengan baik. Apakah kita masuk surga? 

Bisa saja kita terlihat saleh atau salehah di hadapan mereka karena rajin beribadah, tetapi semuanya tak berguna sama sekali akibat kita meninggalkan kewajiban mendidik mereka hingga merugikan banyak pihak. Apakah kita masuk surga?

Ketika kita sering mengabaikan asal usul rezeki, apakah kita sah masuk surga? Surga itu tempat suci yang mustahil ditempati orang-orang kotor. Jika kita begitu rakus terhadap harta hingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya, surga jelas haram bagi orang-orang kotor itu. 

Jelas-jelas kita tahu bahwa harta itu berasal dari korupsi, mengapa kita nekad mengambilnya? Jelas-jelas harta itu bukan milik kita, mengapa kita tetap juga mencurinya? Tentu mustahil surga akan diberikan kepada orang-orang kotor itu meskipun mungkin harta korupsi itu digunakan untuk beribadah. Ingat, seteguk air yang berasal dari harta haram (mungkin hasil korupsi atau mencuri) bisa menjadi penghalang terkabulnya doa.

Ketika kita sering melalaikan anak-anak yatim dan dhuafa, apakah kita patut masuk surga? Jangan kepedean dengan kekayaan dan kesuksesan kita. Pada sebagian harta kita terdapat harta anak yatim dan dhuafa.

Apakah kita sudah menyantuni anak-anak yatim dan dhuafa itu? Kita sering pamer harta, jabatan, dan kesuksesan, tetapi justru sering menelantarkan anak-anak yatim dan dhuafa hingga mereka tak terurus. Karena anak-anak yatim dan dhuafa itu punya hak atas harta kita, cobalah dibayangkan jika mereka menuntut hak itu saat akhirat kelak.

Ketika kita sering menyebarkan fitnah, kebencian, dan permusuhan, apakah kita layak masuk surga? Surga itu tempat suci sehingga diharamkan bagi orang-orang kotor. Fitnah itu sangat kejam dan dosanya sangat besar melebihi besarnya dosa membunuh manusia, mengapa kita suka menyebarkannya? Kebencian itu merusak persaudaraan, mengapa kita sering menyebarkannya, bahkan jadi hobi? 

Permusuhan itu pasti berakibat kerusakan, mengapa kita suka melakukannya? Surga itu tempat yang indah, damai, dan nyaman. Bukan sebuah tempat yang berdarah-darah. Ingat itu...

Maka dari itu, hendaknya kita tidak mengabaikan keluarga, tidak meninggalkan kantor, tidak ceroboh terhadap asal-usul rezeki, tidak melupakan anak-anak yatim dan dhuafa, serta tidak mengumbar fitnah, kebencian, serta permusuhan jika ingin masuk surga. Karena surga merupakan tempat yang suci sehingga haram bagi orang-orang yang meninggalkan kewajiban atas nama egoisme. Kecuali punya kapling surga di surganya sendiri....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun