Mohon tunggu...
Johan Wahyudi
Johan Wahyudi Mohon Tunggu... Guru - Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pernah meraih Juara 1 Nasional Lomba Menulis Buku 2009 Kemdiknas, pernah meraih Juara 2 Nasional Lomba Esai Perpustakaan Nasional 2020, pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Pena, mengelola jurnal ilmiah, dan aktif menulis artikel di berbagai media. Dikenal pula sebagai penyunting naskah dan ghost writer. CP WA: 0858-6714-5612 dan Email: jwah1972@gmail.com..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Anomali Nilai Ambang Batas Terendah Ujian Siswa

21 Desember 2017   15:49 Diperbarui: 21 Desember 2017   23:56 5991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Akhir pekan ini, sekolah akan membagikan Laporan Hasil Belajar (LHB) semester gasal. Ada beberapa sekolah yang sudah membagikannya sehingga saat ini anak-anak sudah berlibur. 

LHB merupakan pertanggungjawaban guru kepada orang tua yang telah menitipkan anaknya ke sekolah untuk dididik. Jadi, bisa dikatakan, LHB wajib disampaikan kepada orang tua siswa.

Dalam penilaian pencapaian kompetensi, telah ditetapkan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). KKM adalah kriteria paling rendah untuk menyatakan peserta didik mencapai ketuntasan. 

KKM harus ditetapkan di awal tahun ajaran oleh satuan pendidikan berdasarkan hasil musyawarah guru mata pelajaran di satuan pendidikan atau beberapa satuan pendidikan yang memiliki karakteristik yang hampir sama. Pertimbangan pendidik atau forum KKG secara akademis menjadi pertimbangan utama penetapan KKM.

Ada 5 fungsi KKM, yaitu sebagai acuan bagi seorang guru untuk menilai kompetensi peserta didik sesuai dengan Kompetensi Dasar (KD) suatu mata pelajaran atau Standar Kompetensi (SK), sebagai acuan bagi peserta didik untuk mempersiapkan diri dalam mengikuti pembelajaran, sebagai target pencapaian penguasaan materi sesuai dengan SK/KD--nya, sebagai salah satu instrumen dalam melakukan evaluasi pembelajaran, dan sebagai "kontrak" pedagogik antara pendidik, peserta didik, dan masyarakat (khususnya orang tua dan wali murid).

Ada tiga faktor yang dijadikan dasar penentuan KKM, yaitu intake siswa, kompleksitas, dan daya dukung. Intake siswa merupakan tingkat kemampuan rata-rata siswa. Intaks bisa didasarkan pada hasil/ nilai penerimaan siswa baru dan nilai yang dicapai siswa pada kelas sebelumnya. 

Saat mendaftarkan diri ke sekolah yang lebih tinggi, tentunya calon siswa itu telah membawa bukti lulus (baca: ijazah) dan Surat Keterangan Hasil Ujian (SKHU). Dari nilai itulah, kita dapat mengetahui tingkat kecerdasan mereka. Rentang nilai yang bisa digunakan adalah tinggi (81-100), intake sedang (65-80), dan intake rendah (50-64).

Kompleksitas merupakan tingkat kesulitan materi pada tiap indikator kompetensi dasar maupun standar kompetensi. Semakin tinggi tingkat kompleksitas semakin kecil skor yang dipakai. Rentang nilai yang digunakan misalnya kompleksitas tinggi dengan rentang nilai 50-64, kompleksitas sedang (64-80), dan kompleksitas rendah (81-100).

Faktor daya dukung lebih ditujukan pada ketersedian sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sekolah dalam menunjang kegiatan belajar siswa. Sekolah yang memiliki daya dukung tinggi dapat menggunakan skor tinggi. Pada aspek daya dukung, rentang nilai yang digunakan sangat fleksibel sesuai dengan kondisi sekolah. Sebagai contoh, daya dukung tinggi dapat menggunakan rentang nilai (81-100), daya dukung sedang (65-80), dan daya dukung rendah (50-64).

Pada perjalanannya, KKM sangat membelenggu guru. Adanya ketentuan bahwa sekolah dengan akreditasi A harus menerapkan KKM minimal 75 untuk minimal 3 mata pelajaran jelas mengebiri kemampuan anak-anak. Guru mata pelajaran tertentu wajib memberikan nilai minimal 75 meskipun kemampuan anak-anak jauh di bawah rata-rata.

Ketika anak-anak ternyata belum mendapatkan hasil minimal KKM, guru harus mengadakan remidi atau perbaikan. Jika guru sudah mengadakan remidi, tetapi hasilnya belum mencapai KKM, apakah gurunya tidak profesional? 

Sepandai-pandainya profesor pasti tak bisa mengubah singkong jadi emas. Sedemikian halnya guru yang mustahil bisa mengubah kemampuan anak karena memang kemampuan anak sangat terbatas. Sayangnya, guru yang sudah melakukan tahapan itu masih saja dianggap sebagai guru yang tidak profesional, tak becus mengajar, dan bahkan tak layak menjadi guru.

KKM Itu Racun

Di jenjang SD, SMP, dan SMA/ SMK, rerata KKM adalah 70-75. Jika KKM ditentukan 71, berarti nilai anak terbagi menjadi 3 dengan rentang nilai A (100 -91), B (90-81), dan C (80-71). Makin kecil KKM-nya makin besar intervalnya. Maksudnya, KKM makin rendah akan membuat jarak antarnilai semakin besar. Semisal KKM-nya 61, berarti nilainya berasal dari pembagian (100-61)/3. 

Dengan demikian, nilai A untuk rentang nilai 100 -- 87, nilai B untuk rentang nilai 86 -- 74, dan nilai C untuk rentang nilai 73 -- 60. Fantastis sekali, bukan?

Bandingkan dengan skala nilai di perguruan tinggi. Nilai di perguruan tinggi masih menggunakan skala 4, bahkan 5. Artinya, mahasiswa bisa mendapatkan nilai A, B, C, D, bahkan E. Artinya, mahasiswa masih bisa dinyatakan lulus meskipun ada nilai D karena bobot nilai D adalah 1. Mahasiswa baru diwajibkan mengulang mata kuliahnya di semester berikutnya jika ada nilai E karena bobotnya 0 (baca: nol).

Dari sini terlihat sangat jelas, ternyata nilai di jenjang pendidikan dasar dan menengah jauh lebih sulit dicapai dibandingkan mahasiswa. Jika mahasiswa saja masih diberikan toleransi nilai D, mengapa anak-anak sekolah malah disuruh berjuang agar mendapatkan nilai minimal C, bahkan ada yang diwajibkan minimal B. 

Jika mahasiswa saja boleh mengulang mata kuliah yang nilainya kurang pada semester berikutnya, mengapa anak sekolah dipaksa untuk mendapatkan remidi dari gurunya saat itu juga?

Akibatnya fatal. Guru-guru berlomba-lomba memberikan nilai yang superfantastis. Jelas-jelas anak-anak itu belum lancar baca-tulis, tetapi nilai rapotnya sangat memukau karena tak ada satu pun nilai C. Bukan cuma anak SD yang belum lancar calistung, bahkan masih ada anak SMP dan SMA yang belum lancar membaca, menulis, dan berhitung. 

Guru terpaksa memberikan nilai tinggi karena ada tekanan dari pimpinan, ada intimidasi dari orang tua siswa, dan guru enggan melakukan remidi berulang-ulang karena harus mengurusi anak-anak yang lain. Inilah yang menyebabkan semakin mundurnya kualitas pendidikan. Guru tak lagi diberikan kemerdekaan untuk menilai anak-anak apa adanya.

Karena itulah, saya berharap agar pemerintah meninjau ketentuan KKM itu. Jika memungkinkan, hapus saja KKM itu karena sangat membatasi kebebasan guru ketika akan menilai anak didik. 

Jika KKM tetap diterapkan, berikanlah keleluasaan guru untuk menentukan besarannya, bebaskan dan merdekakan guru memberikan nilai, dan jangan jadikan KKM sebagai instrumen akreditasi sekolah. Cobalah berkaca kepada sejarah masa lalu kita semasa masih bersekolah seusia anak-anak saat ini.

Zaman old, kita-kita ini begitu susahnya berjuang hanya demi mendapatkan nilai 60. Kita harus mengerjakan soal yang diberikan guru di ruang guru atau perpustakaan. Tak boleh bermain bersama teman-teman. 

Kadang kita masih juga diberikan PR untuk dikerjakan di rumah. Bahkan, kita disuruh merangkum buku, menghafalkan isinya, dan membuat laporan. Semata-mata karena kita takut dan malu jika diberikan nilai merah. Sekarang, mana ada nilai merah di rapot anak-anak?

Jadi, Anda jangan heran ketika mengambil rapot anak Anda Sabtu nanti. Saya jamin tak ada satu pun nilai anak Anda di bawah KKM meskipun kemampuan anak Anda di bawah rata-rata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun